Home Sastra Sajak-Sajak Setiadi R. Saleh
0

Sajak-Sajak Setiadi R. Saleh

0
Setiadi R. Saleh
Setiadi R. Saleh

 

Firasat Kematian 69 Tahun Silam

69 tahun silam
kematian terasa begitu dekat
sedang masa lalu begitu jauh untuk direngkuh.

Ketika aku mencari jalan lurus,
orang-orang menertawakan takdirku
mereka berpikir aku berubah karena aku benar,
sekali-kali tidaklah demikian
Allah-lah yang menembuskan bayan hidayah ke dalam jantungku.
Tuhan menyuruhku menjalankan keadilan
mereka menyuruhku berbuat keji dengan mendustakan kebenaran.

Hari itu,
kebaikan-kebaikan yang kulakukan seperti debu berterbangan
kabut putih
langit pecah
aku disesatkan begitu jauh.

Tanyakanlah
sebab apa, aku tidak takut akan mati
mengharapkan satu kebinasaan dengan membinasakan aku
aku sudah melihat surga setiap pagi
sinar mentari menerobos di antara awan
angin berpilin mengurapi rerumputan di perbukitan
dan biji-biji embun yang basah berubah menjadi air
dan daun-daun hijau tumbuh dengan cepat
dan burung-burung cawi kecil bernyanyi di batang kayu
dan desir-desir air menerpa batu di sungai
dan aku merasakan kenikmatan yang besar
dan aku tau hari kematian akan menyambutku

Firasat kematian sudah kuterima dari Tuhan setiap harinya
tetapi apalah artinya mati, saat ini, di sini, dan kini
bila suatu hari nanti aku akan dihidupkan lagi.

 

Fitnah Kaum Beriman

Fitnah sudah menjalar, aku terkapar

Apakah engkau mengira
aku sedang menjalankan syair-syair sihir dari orang kafir?

Mereka bukan setan, tetapi mereka musuhku
mereka bukan kafir, tetapi mereka musuhku
dan mereka sembahyang, berpuasa, beriman, menyembah Tuhan yang Esa sebagaimana aku, tetapi mereka menjadi musuhku.

 

Selesai

Aku termangu di sebalik sunyi
terjaga dari mimpi
kupandangi dinding-dinding rumahku seperti penjara batu
seakan-akan yang lemah dan palsu akan berkumpul menjadi satu
perselisihan dan pertikaian bercampur dengan kesombongan

Esok tiada kulihat lagi kamboja putih rapuh di halaman pagar
atau bunga jarum yang merahnya merah madu dibalut belukar
atau jejak-jejak lumpur yang bertumbur dengan kotoran kelelawar
aduhai jiwa yang teduh
seandainya aku mati
kematian ini tidak menyusahkanku

Aku takut tetapi gagal menyusun doa
Tuhan mendengar, tetapi enggan berbicara
membiarkan waktu terbawa arus
aku mengedepankan kebenaran di atas kebaikan
maka timbul perselisihan.

Betapa indahnya suasana alam hari ini,
mensucikan kamu dengan hujan
tetapi kamu diganggu setan
dan merasa memiliki hukum dunia
penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari
wahai saudaraku ikutilah agama wahyu, bukan nafsu

Dan reruntuhan waktu berbelok
kamu melempar aku
perjanjian di antara hatiku dan hatimu sudah keras membatu
dan aku sudah selesai dan kamu belum.

 

Medan, 2 Maret 2015
dalam kenangan atas mereka yang gugur terbunuh, yang darahnya tumpah membasahi bumi Sumatera Timur, 1946.

 

Setiadi R. Saleh Setiadi R. Saleh adalah penyair asal Langsa (Aceh Timur) dan kemudian menetap di Medan (Sumatera Utara). Usai menamatkan kuliah dan bekerja di Bandung (Jawa Barat), kini ia kembali berdomisili di Medan. Karya-karya sastra dan esainya dimuat di sejumlah media massa di Medan, Jakarta, dan Bandung.

Comments with Facebook

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *