Berbilang Jalan Pulang ke Hukum Adat

“Hukum adat kita semestinya menjadi ibu dari hukum negara ini. Sayangnya, dia dibunuh oleh anak kandungnya sendiri dengan menggunakan pisau hukum kolonial!”
Kalimat dari lelaki berambut putih itu pun membuat ruangan tak lagi menjadi dingin. Dia berperawakan kecil saja, namun keras kalimatnya mampu menegakkan kepala-kepala yang tengah dibuai kantuk siang itu.
Andreas Lagimpu. Demikianlah nama dari pemilik kalimat tersebut. Beberapa media menyebut Andreas sebagai tokoh adat Kulawi, Sulawesi Tengah. Ada nada takzim dari suara sang moderator ketika mempersilakan dirinya berbicara. Kepada forum, dia diperkenalkan sebagai ‘Bapak Hakim Peradilan Adat dari Sulawesi Tengah’.
Forum itu sendiri adalah sebuah diskusi panel bertajuk “Penguatan Peradilan dan Kelembagaan Hukum Adat”. Diskusi panel ini merupakan salah satu mata acara dari rangkaian kegiatan Dialog Nasional Hutan Adat yang digelar oleh Perkumpulan Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa) dan tiga belas mitranya di Jakarta, Kamis, (2/10). Dalam kesempatan ini, hadir masyarakat dari banyak negeri, seperti Aceh Barat dan Pidie (Aceh Darussalam), Merangin (Jambi), Lebong (Bengkulu), Tanah Datar dan Pasaman (Sumatera Barat), Lebak (Banten), Sekadau (Kalimantan Barat), Paser (Kalimantan Timur), Bulukumba dan Luwu Utara (Sulawesi Selatan), serta Sigi dan Morowali (Sulawesi Tengah).
Diskusi panel ini bermaksud untuk merundingkan kondisi faktual kelembagaan hukum adat dan baku tukar saran untuk upaya penguatannya. Dalam diskusi ini, Andreas pun kemudian menceritakan perkembangan yang terjadi di tanahnya.
“Enam puluh enam persen komunitas lokal di Sulawesi Tengah kini telah mulai kembali memilih peradilan adat sebagai penyelesaian sengketa. Mengapa? Karena mereka lebih merasa mendapatkan keadilan di sana daripada di peradilan negara. Di mata hukum formal, boleh saja hukum adat tak punya tempat. Tapi, dia sangat diakui di masyarakat,” ungkapnya.
Tiga tahun yang lalu, ketika dilaksanakan Simulasi Peradilan Adat di Desa Topos, Bengkulu, seorang tokoh kelembagaan hukum adat Rejang, Salim Senawar, sempat menyampaikan sebuah analogi mengenai limbungnya posisi hukum adat ini.
“Hukum adat itu seperti kapal yang kehilangan dermaga. Tidak ada tempat untuk melempar sauh, lalu diayun-ayun oleh gelombang. Dia tidak akan tengelam, tapi ia dapat hancur dan berkeping-keping. Sebagian kandas di karang dan sebagian lagi di pantai,” ujar Salim.
Apa yang disampaikan Salim ini berhulu pada kondisi historis sejak awal mula sentralisme hukum yang berlaku di pulau-pulau bekas India Belanda ini. Undang-Undang Darurat Nomor 1/1951 dan Undang-Undang Nomor 19/1964 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dahulu memang menghapus pengadilan swapraja (zelfbesturrrechtspraak), pengadilan adat (inheemsche rechtspraak), dan pengadilan desa (dorpjustitie).
Sejak diberlakukannya dua undang-undang tersebut oleh Orde Lama, maka yang diwarisi dalam sistem peradilan Indonesia hanyalah dua pengadilan, yakni pengadilan gubernemen atau gubernemen-rechtspraak (yang kemudian menjadi pengadilan negeri) dan pengadilan agama atau godsdientige rechtspraak. Tak cukup sampai di sana, pengaturan penghapusan pengadilan swapraja, pengadilan adat, dan pengadilan desa kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 14/1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14/1970 disebutkan bahwa semua peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan melalui undang-undang.
Sejak saat itulah hukum adat melemah dan tertinggal dari wacana pembangunan hukum nasional. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 5/1979 tentang pemerintahan desa yang kian diseragamkan oleh Orde Baru kian menyempurnakan mati surinya peradilan adat dalam sistem pemerintahan dan sistem peradilan masyarakat.
Namun, ada yang tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas. Telah menjadi hukum alam bahwa akar yang tertanam kuat selalu punya cara untuk menghidupkan dirinya kembali. Dalam diskusi panel ini, terungkap bagaimana sistem peradilan adat kini mulai kembali menjadi rumah yang dirindukan oleh para pencari keadilan.

“Di tempat kami, mekanisme penyelesaian sengketa, baik itu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan atau segi kehidupan lainnya, lebih banyak diselesaikan dengan musyawarah. Untuk penyelesaian sengketa, ada perangkat hukum adat yang disebut ‘pangiwa’. Dialah yang menjaga agar aturan tetap berjalan,” tutur Abdul Rozak, peneliti asal Lebak, Banten.
Rozak kemudian menceritakan bagaimana kini telah timbul kesadaran di masyarakat untuk menyampaikan laporan jika menemukan pelanggaran-pelanggaran adat. Kepada pangiwa-lah seluruh laporan itu disampaikan untuk kemudian ditentukan penyelesaiannya sesuai aturan adat. Namun, ini hanya berlaku untuk warga tempatan atau bumiputera. Jika pelaku pelanggaran itu adalah pendatang, maka yang digunakan tetap hukum yang lain, yakni hukum negara.
“Yang dilakukan masyarakat saat ini adalah mencoba mendokumentasikan aturan-aturan adat. Ini demi mengantisipasi kerentanan dari berjalannya aturan ini, mengingat yang dilakukan pemerintah daerah sekarang baru mengakui SK (surat keputusan-red) mengenai kelembagaan adatnya saja. Semestinya ke depan nanti aturan adat ini dapat didorong menjadi setingkat perdes (peraturan desa-red),” harap Rozak.
Lain lubuk lain ikannya, lain Lebak lain pula Lebong. Kabupaten Lebong dikenal sebagai daerah tempat lahirnya adat Rejang melalui kesepakatan antar kepala Suku Rejang yang tertuang dalam sumpah adatnya yang dikenal dengan “Supaeak Semoayo Bejanjai Setia”.
Erwin Basrin, Direktur Yayasan Akar Bengkulu, dalam diskusi ini mengisahkan kondisi peradilan adat di timur Bengkulu itu. Pada paparannya, Erwin menceritakan sekilas soal hukum adat Suku Rejang atau lebih kerap disebut sebagai hukum adat Jang.
“Selengan-lengan dendo adeba iben desaghen sebenek-benek dendo adeba bangun mayo. Denda paling ringan adalah sekapur sirih dan denda paling berat adalah bangun mayo; denda menghilangkan nyawa orang.”
Itulah bunyi dari prinsip dasar dari hukum Jang. Masyarakat hukum adat Jang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral (susur galur keturunan hanya kepada satu pihak saja) dengan prinsip garis patrilineal (dari pihak laki-laki). Satuan sosial dalam masyarakat hukum adat Jang disebut ‘kutai’ yang terdiri dari jurai-jurai atau suku-suku. Sementara, hukum adat Jang-nya sendiri sering disebut dengan ‘adat beak nyoa pinang’.
Dalam praktek hukum adat beak nyoa pinang ini, aturan tertulis bertajuk “Kelpiak Ukum Adat” dipakai sebagai acuan beracara dan berdelik. Isinya merupakan kompilasi dokumen tentang tata aturan penyelesaian sengketa adat termasuk sanksi dan denda atas perkara yang terjadi di satu kesatuan wilayah hukum adat Jang. Eksekutor pada praktek hukum adat Jang ini, yakni lembaga Hakim Adat atau ‘Jenang Kutai’, berjumlah enam orang. Mereka terdiri dari empat orang perwakilan ketua suku, satu orang ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) tingkat desa dan satu orang kepala desa sebagai kepala adat di tingkat desa atau kutai.
Jenang ini adalah istilah Melayu yang bermakna ‘wakil’ pembesar. Biasanya ia berada di bawah penghulu atau batin. Kedudukannya sama dengan kepala kampung. Di Bugis, ia disebut Jannang, yang bermakna pengawas dalam pengertian wakil raja. Dalam Lontara Gowa, ia disebut “Jannang to Bala”. To Bala adalah kerabat atau wakil raja yang diangkat oleh Kerajaan Gowa untuk mengawasi tanah jajahannya, Kerajaan Bone.
“Bengkulu ini memang agak bagus polanya. Kepala desa merangkap juga sebagai kepala adat. Jadi kalau memang kepala desa ini individunya kuat di pemahaman soal adat, itu menguntungkan. Yayasan Akar sudah mencoba evaluasi setiap tahun tentang praktik peradilan adat di kampung-kampung di Bengkulu. Setiap kampung punya hasil berbeda. Misalnya, karena pada suatu desa basis sekolah kutainya agak tinggi, maka praktik peradilannya berbeda,” papar Erwin.
Dalam perkembangan upaya penguatan hukum adat, pada 2013, Badan Musyawarah Adat Kabupaten Lebong melalui Pemerintah Kabupaten Lebong pun telah mengajukan tiga buah rancangan Peraturan Daerah, yakni mengenai Lembaga Adat, Tulisan Adat, dan Hukum Adat.
“Namun, dari ketiganya, hanya soal tulisan adat yang disahkan. Katanya ada banyak hal yang perlu dikuatkan dalam kompilasi dokumen,” ujar Erwin.
Comments with Facebook