Home Featured Pemilu Presiden 2014 dan Garis Samar yang Mulai Muncul

Pemilu Presiden 2014 dan Garis Samar yang Mulai Muncul

0
Taufik Abdullah.
Taufik Abdullah.

Sejarah mencatat adanya dua arus pemikiran yang mengalir dan membentuk dua kontur kebudayaan yang berbeda pula. Arus itu datang dari dua arah berbeda; timur dan barat.

Pendidikan masyarakat yang mendiami wilayah East India atau Oost Indies (India Timur) yang kini bernama Indonesia pada awalnya diinisiasi oleh tatanan masyarakat yang kemudian berpegang, atau saling memegang, dengan norma agama. Dalam konsep kedaulatan, tatanan itu pada umumnya berbentuk kesultanan-kesultanan Islam yang melahirkan banyak pusat-pusat pendidikan di kepulauan ini. Kelak, nilai dalam tatanan semacam inilah yang diidentifikasi sebagai konservatif.

Pada zamannya, apa yang hari ini disebut konservatif adalah modern. Sebab, dengan Islamlah masyarakat Melayu mulai berpakaian utuh dan menjadi terakselarasi peradaban intelektualnya. Dengan aksara Arab-Melayu, misalnya, banyak cerdik pandai yang kemudian menghasilkan karya sastra (seperti pantun, syair, hikayat, atau gurindam), ilmu tasawuf, ilmu perbintangan, ilmu kesehatan, kitab fiqih, dan ilmu-ilmu lainnya. Dalam perkembangannya, terjadi mutualisme, dimana orang Melayu menambahkan lima huruf baru yang tak ada dalam fonologi orang Arab. Lima huruf tersebut adalah ‘ca’ (چ), ‘nga’ (غ), ‘pa’ (ف), ‘ga’ (ک), dan ‘nya’ (ن) (Islampos.com, 1 Januari 2014). Sebelumnya, Islamlah yang memperkaya khazanah bahasa Melayu, seperti ‘adab’, ‘ilmu’, ‘akhlak’, ‘adil’, ‘insan’, ‘alam’, ‘wujud’, atau ‘makhluk’. Dan pada gilirannya, melalui bahasa Melayulah konsepsi ketuhanan yang pelik dan rumit dapat diantarkan dan dijelaskan.

Namun, di kemudian hari hadir pula prinsip baru dari hasil pendidikan pemerintahan kolonial barat yang membawa nilai-nilai liberal, yakni nilai dengan norma yang diasumsikan (juga) bersifat universal (dikenal sebagai universalitas Barat). Baratlah yang mengenalkan aksara latin, kesusastraan Eropa, corak berpakaian tertentu, atau beragam ilmu-ilmu mutakhir. Dua aliran ini kemudian mengental dalam pembentukan nilai dari sebuah entitas politik baru bernama Indonesia.

Sutan Takdir Alisjahbana, asal Minangkabau, pada tahun 1935 dengan tegas menyebutkan, “Ke baratlah, Indonesia harus melihat dan belajar jika ingin maju.” Dia menegaskan pemikirannya ini dalam tulisan “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia” (Pujangga baru, 2 Agustus 1935). Sutan mengkhayalkan tentang “… lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambungan dari generasi sambungan Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin atau Sunda. Karenanya tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat.”

Tulisan ini mendapat tanggapan dari Sanusi Pane asal Mandailing dan Poerbatjaraka asal Surakarta. Dalam tulisannya yang berjudul “Persatuan Indonesia” (Suara Umum, 4 September 1935), Sanusi Pane menyatakan, “Timur adalah arah kemajuan budaya yang harus dipertahankan Indonesia mendatang.” Sementara, Poerbatjaraka dalam tulisannya yang berjudul “Sambungan Zaman” mengatakan, “Yang manfaat buat tanah dan bangsa kita ini, ialah mengetahui jalan sejarah dari dulu-dulu sampai sekarang ini. Dengan pengetahuan ini kita seboleh-bolehnya berusahakan mengatur hari yang akan datang… Dengan pendek kata, janganlah mabuk kebudayaan kuno tetapi jangan mabuk kebaratan juga; ketahuilah dua-duanya itu supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam hari yang akan datang kelak.”

Perdebatan tajam atas polarisasi ini kemudian lebih dikenal dengan nama ‘Polemik Kebudayaan’. Meski kedua tokoh ini telah tutup usia, namun perdebatan mereka hingga kini masih bernyawa.

Akan tetapi, sejarawan Taufik Abdullah berpendapat bahwa polarisasi barat dan timur ini sebenarnya tidak dapat disebut sebagai akar dari adanya kubu konservatif dan liberal.

“Nilai-nilai konservatif dan liberal adalah sebuah nilai yang muncul dalam iklim negara modern. Dalam kehendak membentuk negara modern, semestinya barat dan timur tidak lagi menjadi relevan,” ujar Taufik pada LenteraTimur.com, Rabu (2/7), di Jakarta.

Memasuki masa pemilihan umum presiden (pilpres) Republik Indonesia periode 2014-2019, masyarakat seluruh Indonesia untuk pertama kalinya dihadapkan hanya pada dua pilihan kandidat, yakni pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta), serta pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Kedua pilihan ini pun secara niscaya melahirkan dua kubu.

Fahri Hamzah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Nusa Tenggara Barat, memberikan pendapatnya mengenai hal ini. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera yang juga tergabung dalam tim pemenangan Prabowo-Hatta ini, kecenderungan politik mulai meruncing dalam dua kutub.

“Polarisasi identitas dalam pilpres ini ada. Saya melihat kubu sana (Jokowi-JK,-red) itu bisa disebut sebagai kubu liberal. Sementara kubu Prabowo saya sebut sebagai kubu konservatif atau republican. Masyarakat kemudian mengasosiasikan pilihannya kepada dua hal ini,” tukas Fahri, Selasa (1/7), di Jakarta.

Klasifikasi yang dilakukannya didasarkan pada pembacaannya terhadap ciri kaum liberal dan konservatif yang ada pada pendukung kedua calon presiden.

“Kalau orang liberal, pikiran tidak ada batasnya. Sementara, konservatif masih mengenal batas norma. Itu konfigurasinya. Prabowo kita anggap nasionalis. Dia kalau ngomong selalu mengutip pasal 33 (Undang-Undang Dasar,-red). Nah, tapi dalam koalisinya juga ada empat partai Islam; PKS, PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PBB (Partai Bulan Bintang), PAN (Partai Amanat Nasional). Jadi kalau kita gabung namanya apa ini? Republikanlah kira-kira ini. Sementara, di kubu sana, kalau kita lihat juga polanya, approach-nya, dan sebagainya, pemikiran politiknya bergerak bebas sekali. Mereka mau menghapus kolom agama di KTP (Kartu Tanda Penduduk,-red), misalnya. Bisa bayangkan agama mau dihapus di kampung?” ujar Fahri.

Pernyataan Fahri ini merujuk pada pernyataan seorang anggota tim ahli Jokowi-JK, Musdah Mulia, pada sebuah diskusi bertajuk “Masa Depan Kebebasan Beragama dan Kelompok Minoritas di Indonesia”, Rabu (18/6), di Jakarta. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Freedom Institute, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), dan Friedrich Naumann Foundation, Musdah menyatakan bahwa pihaknya akan menghapus kolom agama di KTP jika memenangkan pemilu presiden.

Sementara, Kastorius Sinaga sebagai wakil dari kubu Prabowo yang hadir pada diskusi tersebut, menyatakan ketidaksetujuannya.

“Sebagai seorang sosiolog, saya memandang itu tidak bisa dilakukan di Indonesia,” ujar Kastorius.

Menurut Musdah, kolom agama di KTP dapat disalahgunakan, antara lain, ketika konflik terjadi di suatu wilayah atau diskriminasi lainnya. Dia menyampaikan bahwa informasi agama yang dianut penduduk cukup dicatat dalam pusat data kependudukan pemerintah. Musdah mengklaim bahwa dalam sejumlah diskusi dengan Jokowi, usulan itu juga disetujui.

“Saya setuju kalau kolom agama dihapuskan saja di KTP, dan Jokowi sudah mengatakan kepada saya bahwa dia setuju kalau memang itu untuk kesejahteraan rakyat,” kata Musdah saat diskusi tersebut.

Namun, belakangan pernyataan itu diralat sendiri oleh Musdah. Menurutnya hal itu merupakan pandangan murni pribadinya dan belum didiskusikan dengan Jokowi.

“Saya tak sempat ngobrol dengan Jokowi,” kata Musdah, seperti dikutip oleh Tempo.co, Kamis (19/6).

Ide penghapusan kolom agama pada kartu identitas orang itulah yang salah satunya membuat Fahri berpikir adanya sebuah pola pikir liberal yang terkandung di dalamnya.

“Di Indonesia, ada prosesi sosial yang tidak bisa dihindari, dimana agama itu masih dianggap penting. Jadi jangan coba dihapus. Justru harusnya kejelasan identitas ini jadi modal kita untuk membentuk suatu masyarakat toleran yang saling menghargai. Soal identitas kita harus terbuka. Jangan ditutupi. Jangan dihapus,” tegas Fahri.

Sementara itu, Taufik Abdullah mengamini, bahwa meski tak secara nyaring dinamakan, masyarakat di Indonesia memang tengah mencoba-coba untuk mengasosiasikan nilai liberal dan konservatif pada dua kutub ini. Namun, dia juga mencermati bahwa dalam kultur politik demokrasi Indonesia yang masih berusia amat muda, kecenderungan untuk membelah diri pada dua kubu ini belum disertai dengan pemahaman yang matang. Menurutnya, watak konservatif dan liberal ini tak pernah benar-benar menegas dalam politik Indonesia.

“Kita ini korban represi, baik dari zaman Soekarno hingga Soeharto. Selama puluhan tahun kita tak bisa apa-apa. Jadi sampai sekarang ini kita pun sebenarnya sama sekali belum mengerti demokrasi itu apa, membentuk negara modern itu harus seperti apa. Jika di dalam pilpres ini ada polarisasi, tentu saja itu tak terhindarkan karena memang calonnya cuma dua. Namun, saya memandang, pelabelan konservatif dan liberal untuk kedua kubu ini masih sebatas cap-cap saja. Tapi isinya, sama saja. Kita masih meraba kita mau jadi apa,” jelas Taufik.

Merespon upaya keduanya untuk membentuk sebuah identitas nasional, Taufik pun menilai bahwa keduanya tak mampu belajar dari sejarah.

“Jangan pernah coba-coba membentuk sebuah identitas nasional. Jangan mengulangi apa yang dilakukan oleh the greedy state (negara yang serakah,-red) yang coba diciptakan Soekarno dan Soeharto. Negara tidak boleh lagi rakus mendominasi kesadaran warganya,” papar Taufik.

Taufik kemudian menyayangkan abainya perhatian kedua kandidat pada fakta sejarah. Dalam hal melekatkan diri pada figus Soekarno, Taufik memandang kedua kandidat tak memiliki pemahaman sejarah yang baik.

“Prabowo dan Jokowi sama-sama memandang Soekarno sebagai teks. Hanya jargon-jargon Soekarnolah yang digembar-gemborkan. Namun, mereka lupa memandang Soekarno sebagai fakta sejarah yang juga melakukan kejahatan represi,” tukas Taufik.

Taufik lebih lanjut menyebutkan bahwa kedua kubu juga masih suka mencampuradukkan pandangan akan Indonesia sebagai ide dengan pandangan akan Indonesia sebagai wujud negara.

“Sebagai ide, Indonesia ini puisi. Dia bebas ditafsirkan sesukanya. Namun, sebagai wujud negara, Indonesia adalah prosa. Dalam berprosa, kita harus tau mana titik koma, mana paragraf, dan kita harus taat ejaan. Jokowi dan Prabowo masih suka mencampur-campur ini, hingga ini terbaca sebagai sesuatu yang tak jelas, absurd,” ungkap Taufik.

 

Ken Miryam Vivekananda Fadlil Ken Miryam Vivekananda Fadlil adalah mantan pengajar di Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Kebudayaan Universitas Indonesia. Kini, pemerhati kearifan lokal untuk pendidikan anak usia dini ini menjadi staf redaksi LenteraTimur.com di Jakarta sekaligus ketua divisi pendidikan Perkumpulan Lentera Timur.

Comments with Facebook

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *