Home Sastra Mangael
0

Mangael

0
Fadriah Syuaib.
Fadriah Syuaib.

 

Senja berlalu di balik bayangan capilong. Perlahan berubah garis-garis siluet memerah langit berlalu hingga gelap. Tapi, desiran ombak tidak pernah berhenti menyisir bibir-bibir pantai di antara batu, pasir, dan pelepah kayu-kayu capilong. Ada buahnya bulat sebesar sambungan ibu jari dan telunjuk yang juga berhamburan tertelan pasir. Daunnya yang lebar dan bundar panjang itu seakan jatuh kemana-mana, lalu pelan-pelan terbawa arus menyebar entah kemana. Tidak lama tampak cahaya bintang-bintang menyerupai titik-titik putih, berkedap kedip seakan bercerita sesuatu yang berlalu dua belas jam tadi. Bulan tampak bulat, putih, dan terang, sebab malam ini tepat malam ke lima belas hijriyah (itu angka dalam hitungan Arab).

Harga ikan pasti mahal di pasar. Cumi menjadi santapan lezat, bercampur dalam sayur, kuah dan goreng kering saja. Tapi, Mihir tidak suka, karena memasak cumi beda dengan memasak ikan. Cumi punya kantung tinta yang selalu mengotori baju dan air. Lalu bagaimana dengan Ubuganda? Cumi itu kesukaannya.

Pandang malam di dapur panggung seakan melihat cahaya langit samar-samar. Tapi, warna air tidak pernah diam. Meskipun menangkap cahaya bulan, pohon capilong masih terlihat buram. Perahu-perahu sudah mulai bersiap melaju. Mereka akan menyebar dodeso kemana-mana. Lalu, ikan kecil, besar, panjang, pendek, lebar, tebal dan tipis akan terperangkap di dalam jaringan. Tapi, tetap saja mereka masih mahal di pasaran. Apalagi tuna, cakalang, tude, goropa, dan skuda berebutan seperti selebriti. Jika pun ada, hanyalah sorihi, dolosi, dan komo yang mengerti dengan keadaan bulan terang putih itu.

Mihir suka memasak, tapi tidak suka berdandan. Lewat jari-jari ajaibnya semua jenis ikan bisa diubah menjadi sedap. Tetapi, mengapa Ubuganda masih saja suka main perempuan? Mihir mengerti kebutuhan Ubuganda, tetapi Ubuganda bilang dia masih saja lapar. Jika dabu-dabu manta yang ditabur pada komo itu masih belum pedas, ia bisa mengunyah rica gofu lagi. Justru itu, Mihir sering menyajikan rica gofudi dalam piring kecil. Lalu, ia terus mengunyah dari dua sampai enam buah, setelah itu kepala komo dipelintir hingga tipis dan kecil-kecil, menjadi jatah ikan-ikan di bawah dapur yang gembira menyantap gratis sisa kepala komo.

Keadaan ikan yang mahal, Ubuganda malah malas mangael. Mencari ikan dengan kondisi terang bulan memang jarang dilakukannya. Ia lebih memilih gara cumi di Tanjung Dufa dari pada menyetir katintingnya hingga ke Pulau Panjang. Tapi Mihir suka curiga. Ubuganda yang sering bersiasat itu selalu suka gara-gara, bukan hanya pada cumi, si Sumi, janda yang jualan aer guraka dan pisang goreng sering dia gara. Gara ini berarti menggoda. Pada anak-anak lain begitu pula. Tapi, sejak mendengar kabar itu, Mihir suka marah-marah. Ubuganda hanya bisa makan tanpa ada yang memasak.

Memang Mihir belum pernah lihat apakah benar Ubuganda sering cari gara-gara atau tidak. Tetapi, Mihir hanya menduga-duga. Aku pernah bilang dugaannya sering salah. Meskipun ia mengaku sering mimpi setiap pada malam ganjil.

“Yaaah, bagaimana saya tidak curiga? Saya perhatikan setiap bulan purnama, ia tidak pernah mau pergi mangael, tetapi suka sekali gara cumi di Tanjung Dufa saja,” cerita Mihir suatu pagi.

Saat mendengar ceritanya, aku tidak berkomentar banyak. Kedua tanganku lebih suka menyeduh daun teh kering ke dalam air panas. Setelah kami menyantap ikan bakar sisa semalam dan menghabiskan nasi dingin di belanga, lalu kami beradu dengan dabu-dabu lemon yang campurannya sederhana; hanya lima buah rica gofu, sedikit garam, lemon, dan satu sendok minyak kelapa. Mihir suka meleburi rica gofu merah sampai tercampur rata dengan garam, minyak dan lemon. Rasa asam, asin, pedas, sembari menyeruput teh hangat, terasa menjalar ke rongga mulut.

Dia semakin marah kalau cerita dan aku semakin suka menikmati teh manis buah-buah itu.

***

Dodeso banyak yang hilang. Nelayan malas mencari ikan, tapi Ubuganda membuat dodeso besar. Ia berencana pergi ke Pulau Panjang membuat perangkap di sana. Ini bukan malam bulan terang lagi. Harga ikan pun sudah tidak mahal lagi. Tetapi, cuaca laut buruk sekali. Angin darat mengancam dan pasti badai datang lagi.

Aku sedikit khawatir, Mihir apalagi. Tapi, Ubuganda tidak mau peduli. Malam ini dodeso besar menjadi perangkap tuan-tuan ikan. Bukan yang biasa, tetapi lebih sejajar dengan para bangsawan ikan. Mihir memaksa aku menemani Ubuganda, tetapi ia tidak mau kutumpangi katintingnya. Sampai suara Mihir melengking, ia pun menyuruh siapkan peralatan.

Kami melaju di atas katinting. Mesin penggerak membobol muka laut hingga membiarkan busa buih putih. Langit menghitam tanpa cahaya bulan bulat putih, tapi ada kedap kedip bintang. Meskipun harus naik turun dan angin kuat menerjang, Ubuganda tidak pernah lepas kendali.

Semakin larut, ikan-ikan semakin mabuk. Mereka sepertinya sedang merayakan pesta para tuan-tuan yang bertandang dalam perjamuan. Di depan mereka ada beberapa yang sedang memimpin perjamuan itu. Goropa dan Bubara terlihat angkuh meminum anggur-anggur yang tersaji dalam cawan perak. Skuda tidak peduli, jika nanti ada tawaran untuk memilih siapa di antara yang akan dia kencani, mungkin dia hanya melirik pada dolosi ekor kuning. Memang sekumpulan dolosi-dolosi itu suka menebar pesona. Jika menjadi anggur, mereka akan menjadi anggur yang paling enak di jagat laut ini.

Ternyata, gairah skuda tidak bisa tersalurkan, dolosi kuning itu tidak tertarik padanya. Mereka yang berkelompok menyebar menghilangkan jejak. Skuda semakin kewalahan. Kelincahan mereka terlalu gesit dan agresif; melejit lalu bersembunyi di balik tirai-tirai gusungi. Skuda terjebak, membuat goropa, dan Bubara menahan tawa. Sirna gairah-gairah mereka. Tidak ada mangsa yang bisa memenuhi hasrat itu. Mereka pulang dengan membawa cawan kosong yang tertinggal bekas-bekas gairah semu.

Semua masuk perangkap. Dodeso sudah menaklukan mereka sejak mabuk tadi. Masih mau lagi Ubuganda menyisir ke laut lain, sedangkan ombak pukul sana-sini. Kami pun sudah di depan Moti. Ini pulau, katanya, tapi kubilang ini bukit. Jika pulau itu ada gunung, bukit juga bisa seperti gunung. Banyak ikan yang suka mabuk di sini kah? Katanya tidak, di sini ikan suka makan.

Waktu kulihat kelompok-kelompok tude sedang membuat pesta, ngafi begitu berhati-hati. Mereka menderita saat terjerat masuk perangkap, sebab ini bukan malam yang tepat untuk mengubah plankton menjadi santapan. Aku tidak peduli. Dodeso sudah menjerat semua jenis dari bangsawan, tapi masih ada yang terlepas. Biar saja, anggap mereka membawa kisah pada lainnya.

Kami sudah di pinggiran Moti. Sebentar lagi akan sampai di Makeang, tetapi semakin jauh dari Ternate dan Tidore. Itu gunung dan ini bukit. Pantai dan laut tidak habis termakan. Asalkan dodeso banyak, mangael tetap menyebar. Meskipun mata Ubuganda terlihat sembab, ia masih bisa bilang doseso tambah banyak, bisa sorihi atau ngafi.

Katinting kami sudah berat, dua benang putih di ufuk timur menebar fajar yang cerah. Baikole dan parkici menyambut dengan riak, tapi kami masih di laut, belum juga sampai.

 

Mei, 2014

Fadriah Syuaib Fadriah Syuaib adalah seorang seniman. Dia berdomisli di Ternate, Maluku Utara.

Comments with Facebook

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *