Demi Hemat Anggaran, Pemilu Presiden Satu Putaran Abaikan Kemajemukan
“Suara orang Papua, Maluku, NTT, katakanlah sepuluh provinsi di Indonesia Timur ini, pastilah akan selalu kalah dengan suara orang-orang di Pulau Jawa sana. Jadi untuk apa seorang capres capek-capek ke Papua, ke Maluku, ke Indonesia Timur, berkampanye untuk mendulang suara? Bayangkan, cukup capres itu pagi-pagi berangkat dari Jakarta ke Jawa Timur. Dia kampanye sehari, selesai. Lalu cukup dia putar-putar di Pulau Jawa saja, dia akan dapat 50 persen suara itu, kemudian dia dapat menang. Orang goblok mana mau pergi susah-susah kelilingi Indonesia yang sebesar ini?”
Margarito, pakar hukum tata negara dan dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara, menyatakan kekecewaannya atas keputusan Mahkamah Konstitusi terkait mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden, Kamis (3/7), kepada LenteraTimur.com.
Pada Kamis, 3 Juli 2014, Mahkamah Konstitusi telah membuat keputusan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 cukup digelar satu putaran berdasarkan suara terbanyak. Tak pelak hal ini membuat aturan main yang sebelumnya mensyaratkan kemenangan presiden dan wakil presiden juga harus di lebih dari separuh jumlah provinsi menjadi tak berlaku. Mahkamah menyatakan hal ini dalam keputusan No. 50/PUU-XII/2014 atas pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelfa, Mahkamah menyatakan bahwa pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang pasal dan ayat tersebut tak diberlakukan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden yang hanya memiliki dua pasang kandidat.
Pada saat yang sama, Mahkamah juga menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang pasal 159 ayat (1) dari undang-undang tersebut tidak diberlakukan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang hanya memiliki dua pasang kandidat.
Keputusan ini lahir setelah 15 nama yang tergabung dalam Forum Pengacara Konstitusi, pada 10 Juni 2014 lalu, mengajukan permohonan ke Mahkamah untuk meninjau pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Dasar Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dari aspek finansial dan sosiologi, mereka menyatakan hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan.
“Ketidakjelasan tafsir pasal 159 ayat (1) UU 42/2008 akan menimbulkan kerugian konstitusional kepada para pemohon, yaitu penggunaan keuangan negara yang berasal dari pembayar pajak, termasuk para pemohon, menjadi berlebihan yang seharusnya dapat dicegah sepanjang Mahkamah konstitusi tidak memberlakukan Pasal 159 ayat (1) pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 yang hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden,” demikian paparan pemohon sebagaimana termuat dalam putusan sidang.
Para pemohon berargumen bahwa pasal 159 ayat (1) dari undang-undang tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan berapa jumlah pasangan calon. Sementara, realitas politik pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014 hanya ada dua pasangan calon. Mereka juga menekankan bahwa jika pasal ini diberlakukan, maka akan ada “Pemborosan keuangan negara, ketidakstabilan politik, dan bahkan mungkin akan menimbulkan gesekan sangat keras dan berdarah di kalangan akar rumput pada masing-masing pendukung”.
Adapun bunyi dari pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah: “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.

Namun, Margarito menyatakan bahwa semestinya syarat kemenangan 20 persen di separuh provinsi (17 provinsi) di Indonesia adalah mutlak harus dipenuhi. Ketentuan itu tidak hanya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja, melainkan juga ketentuan dari pasal 6a ayat 3 dan 4 Undang-undang Dasar tahun 1945.
Bunyi pasal 6a ayat (3) dan (4) Undang-Undang Dasar tahun 1945 adalah sebagai berikut:
(3) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Menurut Margarito, syarat persebaran suara yang diberlakukan bagi pasangan capres dan cawapres terpilih sudah jelas tersebut.

“Misalnya pada putaran pertama tidak ada yang memenuhi syarat persebaran suara, baru diberlakukan pasal 3 dan 4, tidak bisa langsung lompat. Aturan ini dibuat supaya seluruh manusia dari Sabang sampai Merauke itu merasa berada di satu rumah yang namanya Indonesia. Hakekat konstitusi adalah seperti itu,” tegas Margarito.
Margarito menyatakan, norma konstitusi soal sebaran suara untuk menentukan pemenang pilpres semestinya harus tetap ditaati. Artinya, seharusnya tidak masalah pemilu berlangsung dua putaran dengan peserta yang sama.
“Persebaran suara minimal 20% di tiap provinisi ini adalah upaya konstitusi untuk memekarkan rasa keindonesiaan kita. Dia semestinya bisa menguatkan kita, membuat indah rasa persatuan kita sebagai satu bangsa. Itulah hakikatnya. Dengan begini, kekitaan kita menjadi amburadul. Rasa memiliki kita sebagai orang Indonesia diacak-acak,” jelas Margarito.

Margarito memandang betapa berbahayanya jika pemenang pemilu ditentukan hanya dengan suara terbanyak namun tidak mewakili seluruh teritorial Indonesia. Dia pun membandingkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Maluku Utara yang berjumlah 700 ribu, sementara jumlah DPT di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, sudah berjumlah jutaan.
“Ketentuan undang-undang tersebut dirancang untuk kepentingan representasi seluruh teritori. Persyaratan sebaran itu mengharuskan pasangan capres tidak hanya berkampanye di daerah-daerah padat penduduk, tetapi juga ke provinsi-provinsi lain yang jarang penduduk. Dengan demikian semua orang harus punya rasa bahwa ini bangsanya. Ini negaranya,” ungkap Margarito.
Selanggam dengan Margarito, Yusril Ihza Mahendra, guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia, Jakarta, juga mengherankan keputusan Mahkamah Konstitusi ini.

“Bunyi pasal UU (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) dengan UUD 45 sama, bagaimana bisa dibilang bertentangan, kecuali diberi makna tertentu seperti dirumuskan MK,” kicau Yusril dalam akun twitter-nya, Kamis (3/7).
Akan tetapi, syarat sebaran itu rupanya sudah diantisipasi oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah menyatakan bahwa prinsip representasi seluruh daerah di Indonesia sudah ada pada tahap pencalonan calon presiden dan wakil presiden oleh gabungan beberapa partai politik.
“Tahap pencalonan pasanan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh gabungan beberapa partai politik yang bersifat nasional, menurut MK pada tahap pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia,” demikian tertulis dalam putusan Mahkamah.
Pandangan Mahmakah didasarkan pada argumen bahwa calon presiden sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional. Dan gabungan partai politik nasional sudah merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, tujuan kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasikan seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi.

Hanya saja, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, dua hakim konstitusi, yaitu Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Patrialis Akbar berpendapat bahwa pemilu tetap cukup satu putaran, namun cara menghitung hasil perolehan suaranya yang harus dua tahap. Dengan demikian Patrialis menyimpulkan bahwa pemohon seharusnya diputus “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional).
Sementara, Wahiduddin Adams berpendapat lain.
“Permohonan para pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya,” demikian simpul Wahiduddin.

Wahiduddin menganggap bahwa penghematan anggaran dan perlunya upaya preventif terhadap potensi terjadinya instabilitas politik sebagaimana yang didalilkan para pemohon merupakan penalaran hukum ala utilitarian yang dimaknai secara sempit.
“Padahal, prinsip pelaksanaan pemilu (termasuk pilpres) di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Sehingga prinsip sederhana, cepat, dan murah/biaya ringan sama sekali bukanlah prinsip yang harus ada dalam penyelenggaraan pilpres,” demikian pendapat Wahiduddin.
Lebih lanjut Wahiduddin menyebutkan bahwa jika sekadar berorientasi pada “biaya murah” (penghematan anggaran) maka jauh lebih baik agar capres/cawapres cukup dipilih oleh MPR saja sebagaimana ketentuan dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) daripada dipilih langsung oleh rakyat.
“Tidak menutup kemungkinan bahwa di kemudian hari (pilpres tahun 2019 dan seterusnya) akan lahir presiden/wakil presiden yang memenangkan pilpres hanya dengan berfokus pada kemenangan di daerah-daerah strategis saja (Pulau Jawa dan beberapa provinsi yang pemilihnya besar) sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis, namun jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority yang tentunya justru bertolak belakang dengan suasana batin (situation gebundheit) pada saat lahirnya Pasal 6a UUD 1945,” ungkap Wahiduddin sebagaimana tertulis dalam lembar putusan.

Sementara itu, Yusril berpendapat bahwa kali ini Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah membuat penafsiran atau bahkan telah merumuskan norma baru undang-undang, bahkan Undang-Undang Dasar, dalam putusan uji materil. Padahal, kewenangan merumuskan norma undang-undang adalah kewenangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, dan merumuskan norma Undang-Undang Dasar adalah kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
“Saya berpendapat cara MK mengatasi kevakuman hukum Pilpres dua pasangan ini keliru prosedur. Namun, ya ‘apa boleh buat’, putusan itu final,” pungkas Yusril.
Margarito kemudian memaparkan implikasi serius dari putusan Mahkamah Konstitusi ini.
“Saya hanya bisa bilang, orang-orang di Mahkamah Konstitusi ini malas berpikir. Mereka ini hanya berpikir praktis saja, bahwa kalau satu putaran ongkos pemilu jadi lebih sedikit. Ini berbahaya. Kita ini sedang mencari presiden Indonesia, bukan presiden orang Jawa. Keputusan ini akan melahirkan perasaan bahwa kita yang di luar Pulau Jawa ini dinomor-duakan. Suara kita tidak dianggap. Dengan begini, MK tidak hanya menimbulkan potensi konflik. Dengan begini, Mahkamah Konstitusi menyemai upaya disintegrasi,” pungkasnya.
Comments with Facebook