
“Jangan kasih tunduk kalian punya kepala!”
“Maluku. Kata ini bukan cuma nama tempat. Kata itu ajar katong samua dari mana katong berasal, par apa katong bajuang.”
“Beta Maluku! Bukan Passo! Bukan Tulehu! Bukan Islam! Bukan Kristen!”
Kalimat-kalimat itu muncul dari Sani Tawainela (diperankan oleh Chicco Jericho) dalam film “Cahaya dari Timur – Beta Maluku”. Film yang tayang perdana pada 19 Juni 2014 ini membicarakan perihal keteguhan cita-cita melalui persatuan Maluku dalam kerangka sepak bola setelah sebelumnya terkoyak dalam konflik komunal. Dan Sani adalah pelatih sepak bola tim Maluku yang berkompetisi dalam skala Indonesia.
Bagi Sani, bukanlah hal mudah untuk mendapatkan persatuan Maluku sebagai satu tim sepak bola. Anggota timnya terseret dalam sejarah pertikaian antar faksi yang ada di Maluku, yakni Tulehu yang bersendikan Islam dan Passo yang bersenyawakan Kristen. Pemain satu pukul pemain lain. Baku hantam terjadi dimana-mana, tak saja di saat latihan, tetapi juga saat pertandingan.
Ketika Maluku menderita kekalahan pada bagian penyisihan awal di Jakarta, keributan kembali terjadi. Satu sama lain saling menuding sebagai biang kekalahan. Ketika adu mulut terjadi, seorang pemain andalan bernama Salim (diperankan oleh Salim Ohorella), biasa dipanggil Salembe, asal Tulehu, bahkan mencetuskan supaya tim terdiri dari Tulehu saja.
Apa yang diucapkan Salim bukan datang begitu saja. Salim sudah kerap terlibat baku pukul dengan pemain lain. Sebelumnya, dalam satu latihan sepak bola, dia menghantam dengan keras kaki lawan asal Passo. Ketika ditegur oleh Sani, Salim melawan. Bagi Sani, tindakannya adalah patut mengingat lawan yang dihantam adalah anak seorang polisi. Dan ayah Salim tewas ditembak polisi.
Namun, kekalahan Maluku saat penyisihan itu tak hanya menyisakan ketegangan di kalangan tim. Istri Sani di Maluku, yang kambingnya dijual diam-diam oleh Sani untuk pendanaan tim, keluar dari rumah mereka dan pulang ke rumah orangtuanya. Kambing itu sudah dipersiapkan istrinya untuk biaya anak mereka sekolah. Dan sebelumnya memang sudah sering terjadi pertengkaran antara Sani dan istrinya perihal sepak bola ini. Sani dituding lebih mementingkan sepak bola ketimbang keluarganya.
Segala kecamuk ini membuat Sani hilang asa. Dia melemah, menangis, dan menyatakan diri pulang ke Maluku. Beruntung dia bisa ditahan oleh rekan-rekannya. Sebab, kompetisi memang belum usai. Maluku masih punya kesempatan. Dengan segala langkah persuasif melalui dialog-dialog yang memikat, semangat mereka kembali timbul hingga satu demi satu lawan dapat ditumbangkan. Di ujung, final, mereka berlaga dengan Jakarta.
Pada babak pertama pertandingan melawan Jakarta itu, Maluku kalah. Wasit dituding tak adil, dan anak-anak latihnya kembali bikin keributan. Namun Sani tak peduli. Dia kembali memilih untuk membangkitkan semangat tim. Saat waktu istirahat di ruang pemain, dia mengucapkan kata-kata bertenaga sebagaimana tertera pada awal tulisan ini.
Bahasa
Film “Cahaya dari Timur – Beta Maluku” adalah salah satu film yang mempertahankan bahasa atau logat asli wilayahnya. Karenanya, saat menonton di hari pertama, di Jakarta, saya mendapati keriangan anak-anak muda Maluku di dalam bioskop. Mereka senang bahasa dan logat mereka ada di film. Dan sempat juga satu dua kali ada celetukan “Ee, ini kenapa jadi Manado?”. Atau, “Ee, ini Papua sudah…”.
Namun, apakah nama bahasa yang digunakan oleh film ini? Bagi saya, itu adalah bahasa Melayu dialek Maluku. Dan upaya menerjemahkan bahasa Melayu dialek Maluku menjadi bahasa Melayu dialek Indonesia dalam film ini menjadi menarik. Sekilas contoh, saya menemukan frase ‘kurang hati’ yang diterjemahkan menjadi ‘kecil hati’.
Hal serupa juga muncul pada ‘parlente’ yang diartikan sebagai ‘penipu’. Di wilayah lain, perlente bermakna gagah, rapi, atau necis. Saya juga tertarik dengan penggunaan kata ‘beta’ dalam film ini. Di Maluku, kata ‘beta’ digunakan oleh siapa saja. Ia sepadan dengan kata ‘saya’. Namun, di alam Melayu lain, utamanya Sumatera, Semenanjung, dan Borneo, barangkali, kata “beta” hanya digunakan oleh sultan.
Begitu juga penggunaan kata ‘negeri’. Dia betul-betul serupa dengan wilayah-wilayah lain yang juga menggunakan istilah ‘negeri’, bukan ‘daerah’. Dengan mudah kita menemukan slogan-slogan macam ‘negeri berbilang kaum’, ‘negeri pantun’, ‘negeri bertuah’, ‘tuah negeri seiya sekata’, atau ‘tanah bertuah negeri beradat’.
Membangun Haru
Film yang disutradarai Angga Sasongko ini dibangun dengan sosok Sani sebagai tukang ojek sepeda motor yang sedang mengantar barang ke Ambon dari Tulehu. Di Ambon, Sani tiba-tiba terjebak dalam kerusuhan yang melibatkan dua kubu. Beruntung dia selamat.
Oleh tentara, Sani dan sepeda motornya, juga beberapa orang lain, diangkut ke atas truk untuk dievakuasi dari zona konflik. Di atas truk dia bercakap dengan seorang tua.
“Beta pu anak laki-laki su mati” (saya punya anak laki-laki sudah mati), ujar orang tua itu lemas. Adapun istrinya tak diketahui ada dimana. “Katong tapisah” (kita terpisah).
Dalam percakapan itu, suasana konflik tergambar dengan baik. Pasar-pasar sepi, perahu-perahu nelayan kosong dan terapung begitu saja di dermaga.
Namun, saat kembali, Sani mendapati konflik serupa juga mulai terjadi di kampungnya. Ada Tulehu/Islam di satu sisi dan ada Passo/Kristen di sisi lain. Satu kubu menggunakan ikat kepala putih, yang lain menggunakan ikat kepala merah. Orang-orang berlarian ke perbatasan, membantu pertahanan kala diserang orang lain.
Satu waktu, saat Sani pergi ke pantai, dia menjumpai anak-anak kecil bermain bola. Dia sempat memperagakan kebolehannya memainkan bola, dan membuat anak-anak berdecak kagum. Dalam beberapa perjumpaan, Sani pun mulai melatih mereka bermain bola.

Sani memang bekas pemain bola tim Nasional (Timnas) Indonesia Usia 15 di Piala Pelajar Asia tahun 1996. Dan film ini memang berangkat dari kisah nyata Sani. Bakatnya bermain bola sempat dia lupakan, tersimpan bersama sepatu sepak bola dan bolanya yang lusuh di kolong tempat tidur. Namun, situasi konflik ternyata justru memanggilnya untuk kembali bersetia pada cita-cita. Demi menjaga anak-anak negeri Tulehu, dia kembali melatih bola.
“… biar anak-anak tak ke perbatasan nonton kerusuhan terus… ” demikian niat Sani.
Namun, keceriaan ini tak berlangsung lama. Selalu saja ia dipecahkan oleh bunyi pukulan tiang listrik. Bunyi itu adalah tanda bahaya, tanda adanya penyerangan dari kubu lain terhadap kampung mereka. Dalam kondisi penyerangan terhadap kampungnya yang berkali-kali itu, Sani tak berniat ikut. Dia lebih menampilkan raut muka khawatir ketimbang marah.
Suatu hari, saat mereka sedang bermain bola di pantai, tiang listrik kembali dipukul bertalu-talu. Anak-anak spontan berlarian ke arah perbatasan yang menjadi arena pertempuran. Tapi Sani cukup gesit mengejar anak-anak itu. Kepada mereka, dia kasih perintah untuk kembali ke pantai.
Tak hanya di pantai, Sani juga melatih anak-anak Tulehu di lapangan bola Matawaru. Bersama beberapa ekor sapi dan ayam yang berkeliaran serta batok-batok kelapa tua dan batang-batang ubi di lapangan, dia melatih mereka bermain bola tiap sore pukul lima. Tanpa terasa, seragam putih merah anak-anak itu pun telah berganti ke seragam putih abu-abu.
Akan tetapi, apa yang dilakukan Sani bukannya tanpa hambatan. Ada sindiran dari satu dua warga yang mempertanyakan Sani melatih bola, bukan membela Tulehu dari penyerangan. Namun, hal terberat datang dari istri Sani sendiri, Hapsa. Penghasilan keluarga menurun drastis sejak Sani melatih bola. Sebab, Sani memang jadi tak melayani antar jemput orang atau barang di atas jam lima sore.
“Niat baik harus juga pakai akal sehat!” keluh Hapsa.
Comments with Facebook