Danau Moat Siapa Punya?
Danau Moat terletak sekitar 17 kilometer sebelah selatan Kota Kotamobagu. Dengan ketingggian sekitar seribu meter di atas permukaan laut, ia berada di dalam kawasan Cagar Alam Gunung Ambang, salah satu gunung berapi yang terdapat di Bolaang Mongondow. Sekitar 1,5 kilometer dari danau ini, terdapat pula danau kecil bernama Danau Tondok.
Panorama Danau Moat juga menjadikannya sebagai salah satu tempat wisata yang sangat diminati di Bolaang Mongondow. Dengan luas 617 hektar, ia juga menjadi habitat ikan Sidat langka, yang dalam bahasa setempat disebut “sogili”. Yang membedakan ikan ini dengan jenis-jenis ikan sidat lain merujuk pada dadanya yang berwarna kuning. Jenis ikan macam ini hanya bisa dijumpai di Danau Poso dan Danau Moat. Dengan potensi yang dikandungnya, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kawasan Danau Moat sebagai Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Dan Danau Moat pun menjadi kebanggaan sekaligus ikon dari Bolaang Mongondow.
Akan tetapi, di balik pesona danau ini, tersimpan cerita sengketa perbatasan yang melibatkan dua wilayah bertetangga: Bolaang Mongondow dan Minahasa, dimana keduanya saat ini berada di dalam provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Bagi masyarakat Bolaang Mongondow, Danau Moat merupakan miliknya secara utuh. Sementara bagi Minahasa, danau ini diyakini telah dibagi dua oleh Residen Manado Van Rhyn pada 1938.
ML Maukar, SH., seorang penulis asal Minahasa yang juga mantan Hukum Besar/Kewedanan Motoling, mengatakan bahwa konflik antara Bolaang Mongondow dan Minahasa terkait status Danau Moat adalah kisah lama yang sempat mencuat kembali pada 1968.
Menurut penulis buku penyusun Sejarah Kecamatan Modoinding ini, Danau Moat telah dibagi dua dengan persetujuan Raja Bolaang Mongondow. Pembagian itu dimulai dari hulu sungai Poigar, ditarik garis lurus ke tengah danau, sampai di seberang pada titik yang ditandai dengan tumpukan-tumpukan batu yang ditancapkan tiang besi.
Kemudian, dengan perintah Gubernur Sulawesi Utara pada 9-12 Maret 1968, kedua belah pihak, yakni pemerintah Minahasa dan Bolaang Mongondow, duduk semeja di Desa Guaan Kecamatan Modayag. Tujuannya untuk merundingkan tapal batas antara kedua kabupaten.
Berdasarkan hal tersebut, hingga saat ini sebagian Danau Moat termasuk dalam wilayah Minahasa. Ini dapat dilihat dari peta batas administratif antara kedua wilayah pada 2011.

Akan tetapi, jika dikatakan Danau Moat telah dibagi dua pada 1938 atas persetujuan Raja Bolaang Mongondow, hal tersebut justru bertolak belakang dengan peta 1938. Di peta tahun tersebut, Danau Moat sepenuhnya masuk ke dalam wilayah teritori Kerajaan Bolaang Mongondow.
Sumardi Arahbani, salah satu sejarawan yang saat ini sedang mendalami studi tentang sejarah lingkungan Bolaang Mongondow, menemukan foto Bolaang Mongondow tahun 1938.

Menurut Sumardi Arahbani, peta tersebut adalah peta pertama tentang Bolaang Mongondow yang menggunakan kaidah ilmu topografi, setelah Lembaga Kartografi India Belanda dibentuk pada 1810-an. Dari sebuah peta, sebenarnya bisa dilihat sejauh mana wilayah dikuasai oleh Pemerintah India Belanda. Semakin sempurna peta sebuah wilayah, berarti semakin dalam pengaruh asing.
Belum sempurnanya pembuatan peta tersebut disebabkan pengetahuan kartografi tentang Bolaang Mongondow pada waktu itu masih dalam tahap permulaan atau penjajagan. Kemungkinan besar pembuatan peta dilakukan dalam rangka perluasan kepentingan ekonomi dan politik India Belanda.
Sedangkan peta dengan toponimi yang hampir sempurna tentang Minahasa sudah muncul pada 1830. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa kartografi Bolaang Mongondow masih tertinggal jauh dari Minahasa. Sebagai catatan, Belanda menguasai secara utuh Bolaang Mongondow kelak pada 1901, jauh setelah mereka menguasai Minahasa pada 1677.
Sumardi Arahbani mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan dari peta tersebut adalah tentang garis batas Bolaang Mongondow – Minahasa yang dibuat sederhana, hanya memakai garis putus-putus hampir lurus, tanpa keterangan toponimi yang detail. Hal ini kemudian ditafsirkan bahwa perbatasan Bolaang Mongondow di pedalaman merupakan sesuatu yang cair, tidak ada batas pasti. Menurutnya, sejumlah walak Minahasa di abad ke-19 masih menunjukkan kepatuhannya pada Raja Bolaang Mongondow, meskipun ketika Perusahaan Belanda untuk India Timur (VOC) berkuasa telah mengikat perjanjian tentang batas Bolaang Mongondow – Minahasa, yakni berupa perbatasan mulut Sungai Poigar dan Sungai Buyat.

Pada peta tahun 1900 tersebut, Danau Iloloi dan Danau Moat berada sepenuhnya di wilayah kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow. Letaknya cukup jauh dari garis batas wilayah.

Pada peta tahun 1921 ini, Danau Moat berada sepenuhnya di wilayah kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow. Letaknya di tepi garis batas wilayah.

Pada peta ini, Danau Moat masih tetap berada sepenuhnya di wilayah administrasi Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow. Dengan letak di tepi garis batas wilayah.
Sebagai sebuah penegasan mengenai batas wilayah Bolaang Mongondow – Minahasa, ada sebuah arsip tentang surat terbuka dari Ingenieur Oemar Mokoginta kepada Gubernur Sulawesi Utara. Dalam arsip tersebut dijelaskan bahwa Danau Moat sepenuhnya milik Bolaang Mongondow. Di dalam surat terbuka tersebut, Oemar Mokoginta menyebut pengambilan sebagian wilayah Bolaang Mongondow ini oleh Minahasa sebagai “Expansionisme Brutal”.

Kisah konflik atau sengketa perbatasan memang bukan hal baru di dunia. Masing-masing faksi selalu berusaha menegaskan batas teritorialnya di tengah tumpang tindih wilayah berdasarkan klaim peta. Referensi sejarah yang otentik pun diperlukan untuk dijadikan landasan dalam penyelesaian sengketa.
Dokumen-dokumen sejarah ini penting bukan untuk membuka kembali tabir-tabir kelam di masa lalu, tetapi upaya untuk kembali menjelaskan dan melampirkan beberapa arsip tetang Danau Moat yang belum sempat tertulis. Arsip-arsip seperti ini bisa digunakan untuk membuka kembali diskusi sejarah terkait sengketa status kepemilikan Danau Moat ini. Dan arsip-arsip otentik perlu dikedepankan agar bentrokan fisik yang pernah terjadi antar warga kedua wilayah pada 1960-an tidak pernah terjadi lagi.
Comments with Facebook
Untuk itu kita sebagai rakyat bolmong menekan agar pemerintah,bersatu membentuk provinsi untuk memperkuat toritorial daerah kita..dgn terbentuk prov ekonomi kita pasti akan meningkat,coba tengok tetangga kita Gorontalo bupati2,walikota dan pejabat2 pemerintahan bersatu agar bisa membentuk povinsi dan lepas dari sulut.LIHAT PERKEMBANGAN GORONTALO SEKARANG…NYATA perekonomian maju dan cepat
tidak ada nama moat dari arti suku bahasa minahasa ,,,,
Apakah ada bukit/gunung untuk terbang layang di sekitar lokasi danau moat
kebanyakan wilayah/tempat yang awalnya rimba kemudian dirubah menjadi sorga seringkali meninggalkan konflik, bahkan dapat berujung pada pertumpahan darah.
dewasa ini di wilayah sulut umunya, serta bolmong raya & minahasa raya khususnya seperti sedang memperebutkan harta qarun yang terkubur jauh di dlm tanah kemudian muncul keatas permukaan bumi.
sya anak bolmong campuran minahasa merasa seperti ada pertempuran hebat layaknya perang dunia dimna blok barat dan blok timur tengah unjuk kebolehan alat perang yang canggih mereka.
wilayah sulut yang masih menyimpan kekayaan alam sangat tak etis ketika hanya mempeributkan 1 tempat yang digenangi air sejak ribuan tahun lalu itu. saya rasa masih ada tempat yang tak kalah menarik dan dpt mngktkan apbd baik di pihak bolmong dan minahasa. asalkan perintah daerah mau dan bersungguh-sungguh untuk memajukan daerahnya masing-masing. kita belajar dari negara tetangga kita singapure, keterbatasan wilayah serta aset negra tersebut tdk membuat singapure mnjadi negara miskin, dan dipandang sebelah mata oleh dunia,
akan tetapi mengapa qt orang sulut, yang saya katakan sekali lagi, bukan daera miskin, terperangkap dlm 1 konflik mmprebutkan sebuah danau,
pada hakikatnya, siapapun yang nntinya menjadi pmilik wilayah d.moat baik sepenuhnya milik bolmong atwpun dibagi 2 dg minahasa, tetp orang mngenal d.moat milik SULUT.
itu saja