Home Featured “Televisi Seperti Ngomong Sendiri”
4

“Televisi Seperti Ngomong Sendiri”

4
Penetrasi perusahaan-perusahaan stasiun televisi di daerah Jakarta ke daerah-daerah lain. Gambar: Redaksi.

September 2012 adalah waktu yang barangkali takkan dilupakan orang. Itulah masa dimana perusahaan-perusahaan televisi di Jakarta menampakkan keangkuhannya secara ekstrem. Di masa itu, seluruh konsentrasi perusahaan-perusahaan dicurahkan untuk meliput isu pemilihan gubernur Jakarta. Akibatnya, isu lain macam pemilihan gubernur Kalimantan Barat, Pekan Olahraga Nasional di Riau, atau isu lainnya tak mendapat marwah yang sederajat. Mungkin tak masalah jika televisi Jakarta itu bersiaran di daerahnya sendiri. Tapi masalahnya, siaran perusahaan-perusahaan itu menjangkau ke hampir seluruh daerah lain.

Wajah televisi milik perusahaan-perusahaan di Jakarta memang tetap dalam posisinya, jika tak dikatakan kian menggurita, dalam melakukan dominasi ruang-ruang publik yang beraneka ragam. Ingatlah bagaimana debat-debat pengacara Jakarta di salah satu perusahaan begitu membuat bising ruang-ruang publik lainnya. Ada pengabaian akan narasi dan perspektif masyarakat lain, seolah di daerah lain tak punya koruptor, tak punya persoalan sistem, dan tak punya segudang persoalan yang sepatutnya mendapat peluang yang sama untuk dimunculkan.

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran pasal 20, sudah ditegaskan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.

“Semua yang di Jakarta tampil di hadapan mereka. Lama-lama wajah Jakarta akan dianggap sebagai wajah Indonesia,” ujar Paschalis M. Laksono, antropolog dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, kepada LenteraTimur.com (4/10).

Dalam belantara penyiaran di Indonesia ini, seorang politisi yang melakukan korupsi dan diulas habis-habisan oleh perusahaan televisi di Jakarta mau tidak mau menjadi bahan konsumsi orang di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, atau Papua. Begitu pula segala macam sinetron dan gosip-gosip. Orang banyak ini dipaksa dicekoki permasalahan-permasalahan sosial khas Jakarta, seperti kemacetan, kepadatan penduduk, dan kriminalitas. Dan seketika ia menjadi alat lupa atas isu-isu krusial di daerah masing-masing. Seperti pepatah “semut di seberang lautan kelihatan tapi gajah di pelupuk mata tak kelihatan”.

“Televisi seperti ngomong sendiri. Ia membawa isu sendiri kemudian memobilisasi warga dengan isu yang disodorkan,” kata Paschalis.

Bagi Paschalis, dalam rezim yang sentralistik, relasi yang terbentuk antara pusat dan daerah menjadi sangat tidak seimbang. Dan situasi tersebut tampil juga di televisi. Televisi lebih sering memasok informasi tanpa banyak menyerap kebutuhan yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat.

Selain menampilkan isu-isu lokal yang dipasok ke lokal-lokal lain, fenomena lain yang terjadi adalah masuknya pemilik perusahaan televisi ke dunia politik. Televisi sebagai media yang memiliki kemampuan mempengaruhi ini justru masuk gelanggang dan kemudian berkontestasi sengit dengan pemerintah untuk berebut pengaruh. Dan bagi Paschalis, pemerintah seperti bertarung dengan perusahaan media demi mendapatkan pengakuan siapa yang lebih memiliki legitimasi untuk dipercayai masyarakat. Dan pemerintah bisa jadi sering kalah dan mengalami delegitimasi di hadapan rakyatnya sendiri.

“Jika terus menerus sibuk dengan isunya sendiri, tanpa memperhatikan informasi apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat, lama-lama masyarakat juga akan merasa mereka sesungguhnya tidak membutuhkan informasi sekaligus pemerintah,” tukas Paschalis.

Wajah sentralisasi di dunia penyiaran ini bukannya asap tanpa api. Argumen kapital masih menjadi alas pikir dari perusahaan-perusahaan televisi yang berkedudukan di Jakarta, yang hingga saat ini masih menjadi kampiun dalam menggelontorkan siarannya ke daerah-daerah lain. Dengan kemampuan meluaskan siarannya, tidaklah mengherankan apabila perusahaan televisi tersebut menjadi tujuan dari perusahaan-perusahaan produk untuk memasangkan iklannya. Nalar produk, tentu saja, adalah menyebarkan informasinya kepada khalayak seluas-luasnya.

Dibandingkan perusahaan televisi Jakarta yang diperbolehkan bersiaran nasional, perusahaan televisi daerah lain memiliki daya tawar yang sangat lemah di hadapan pemirsanya. Selain soal kemutakhiran teknologi dan kreativitas, televisi daerah lain sudah kalah soal biaya.

Televisi memang industri yang sangat mahal. Sebagai ilustrasi, jika biaya operasional perjam sebuah Lembaga Penyiaran Swasta di Jakarta berkisar antara Rp. 25 juta – Rp. 100 juta, maka dapat dibayangkan bahwa biaya operasional per hari  per stasiun adalah 24 jam x rata-rata 50 juta = Rp. 1.2 miliar. Biaya tersebut belum termasuk anggaran khusus siaran langsung, exclusive rights, uplink-downlink satellite dan sebagainya. Hal yang hampir mustahil dibiayai oleh televisi di daerah lain.

Fakta juga menunjukkan bahwa kue iklan televisi di Indonesia saat ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Jakarta yang dapat bersiaran keluar ruang siarnya. Dengan nominal yang fantastis, perusahaan-perusahaan ini tentu tidak akan rela melepaskan kekuasaannya atas frekuensi milik orang banyak tersebut.

“Kue iklan sebanyak itu tentu akan dijaga dominasinya oleh media-media Jakarta. Jangan sampai lepas, kalau bisa tentu meningkat setiap tahun. Ada privilege penguasaan iklan yang sengaja tidak diperbolehkan untuk diutak-atik oleh televisi di daerah,” ujar Ridzki R. Sigit, mantan Ketua Asosiasi Televisi Kerakyatan Indonesia, kepada LenteraTimur.com, Kamis (4/10).

Kapitalisasi media yang berpusat di Jakarta karena siarannya yang dapat menjangkau keluar daerah menjadikan televisi-televisi daerah lain berada dalam posisi sulit. Pada saat media-media di daerah lain susah payah mencari pendanaan, media-media di daerah Jakarta dengan gampangnya meraup iklan.

Setelah kesulitan menggaet iklan dari perusahaan, biasanya televisi di daerah akan terdorong untuk mendekati instansi-instansi pemerintah di daerahnya. Mereka akan meminta instansi-instansi tersebut untuk memasang iklan. Di sinilah mulai terjadi bias kepentingan. Pemerintah, atau siapapun, biasanya bukan tanpa syarat memberikan iklan. Padahal televisi dituntut untuk memenuhi fungsi-fungsi sosial sebagai suatu media massa, di antaranya mengawasi pemerintahan.

“Mau bagaimana lagi? Itu salah satu peluang mendapat pemasukan. Tapi biasanya televisi jadi tidak kritis lagi. Sangat disayangkan banyak yang menutup mata pada hal-hal semacam ini,” tutur Ridzki.

Bukankah di daerah-daerah lain juga terdapat perusahaan-perusahaan besar yang potensial untuk dimintai iklan? Jangan salah. Perusahaan-perusahaan di daerah memang tidak keberatan memberikan iklan. Namun, untuk menyusun alokasi iklan, perusahaan-perusahaan ini juga harus meminta izin kepada kantor pusat mereka. Dan kantor pusat tempat mereka meminta izin tak lain dan tak bukan juga berada di Jakarta.

Untuk dapat melangsungkan hidup, suatu media massa macam televisi haruslah terlebih dahulu memiliki pemirsa. Dan untuk merebut pemirsanya, di tengah perusahaan televisi Jakarta yang masih ada di daerah-daerah lain, Rizky merasa bahwa pemilik televisi harus berpikir radikal. Mereka harus tekun menyusun konten-konten yang menarik bagi pemirsa loyalnya.

“Televisi lokal harus berbasis kepada komunitas. Mereka harus tahu apa yang diinginkan konstituennya. Itulah yang mestinya tampil di layar kaca,” ujar Ridzki.

Dan jika diperlukan, tambah Ridzki, sebagian penguasaan media diserahkan kepada komunitasnya.

“Saya kira begitulah seharusnya televisi berjejaring. Mencari keunikannya sendiri, berani memutus hubungan dengan televisi di Jakarta, sambil menyusun jaringan televisi di masing-masing daerahnya,” tukas Ridzki.

Fajar Riadi Fajar Riadi lahir di Madiun, Jawa Timur. Kini dia bekerja sebagai staf redaksi di LenteraTimur.com.

Comments with Facebook

Comment(4)

  1. Bingunglah di daerah ngembangin TV lokal, korporasi TV dipusat tidak akan mau membagi kue iklan dan akan mepertahankannya mati-matian, selain itu juga menguntungkan mereka dalam hal politik,

  2. ealah.. media-media lokal yg sudah ada malah diakuisisi media Jakarta.
    kasus di Malang Raya (Jawa Timur), televisi milik pemerintah daerah malah “dijual” untuk siaran televisi Jakarta. Kini, siaran berita lokal dapat jam setengah 5 PAGI. Berapa orang yang lihat??

  3. dengan melihat tayangan tv secara umum, sering timbul pertanyaan pada diri saya ” Seberapa luas sih wawasan para pelaku televisi Indonesia secara umum ? “

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *