Home Featured MIFEE Datang Tanah Pun Hilang
0

MIFEE Datang Tanah Pun Hilang

0
Implementasi MIFEE. Gambar: presentasi aktivis Perkumpulan untuk Pembaharuan Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Siti Rakhma Mary H, dalam diskusi panel “Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia” pada Konferensi Negara Hukum, di Jakarta, Kamis (10/10).

 

“Kami sudah hibahkan tanah kami buat mereka. Biar saja. Kami kembalikan tanah kami kepada Tuhan Maha Pemberi. Biar saja yang penting kami semua selamat.”

Kata-kata itu keluar dari mulut Stephanus Gebze yang kehilangan tanah warisan leluhurnya di Kampung Domande, Distrik Okaba, Merauke, Papua. Dia mengatakan tanah tersebut telah diserobot oleh salah satu perusahaan yang mengklaim memiliki hak konsesi lahan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Keluarga Stephanus dan beberapa keluarga lainnya tidak mendapatkan sepeserpun ganti rugi. Tiba-tiba saja perusahaan datang dengan membawa surat hak kepemilikan lahan.

Pengalaman Stephanus hanyalah satu dari sekian banyak cerita tak sedap yang dialami warga Merauke akibat program MIFEE. MIFEE, proyek besar yang digulirkan Pemerintah Indonesia sejak 11 Agustus 2010 lalu, disebutkan telah menimbulkan banyak kerugian. Selain dikhawatirkan menimbulkan kerusakan alam luar biasa, MIFEE juga telah menyemai benih-benih konflik yang kini mulai terasa di Merauke.

Kisah MIFEE dimulai pada 2007. Kala itu, Kabupaten Merauke menggagas upaya percepatan peningkatan kesejahteraan warga dengan mencanangkan tahun investasi. Upaya itu ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Bupati John Gluba Gebze dengan sejumlah investor untuk merealisasikan sebuah program yang kala itu masih bertajuk Merauke Integrated Rice System (MIRE).

Gayung pun bersambut. Pemerintah Indonesia yang tengah berupaya mengatasi masalah krisis pangan dan energi, serta dalih melakukan upaya penghematan dan penghasilan devisa, menaikkan upaya Merauke itu dalam skala besar, yakni MIFEE.

Entah karena kegegabahan atau wujud ketidakmatangan perencanaan program, MIFEE sempat diluncurkan dua kali. Sebelum Agustus itu, ia sudah diluncurkan pertama kali pada awal 2010.

Akan tetapi, eskalasi dari program pemerintah kabupaten menjadi program nasional Indonesia bukannya tanpa konsekuensi. Jika MIRE hanya berkonsentrasi membudidayakan bahan pangan berupa beras, MIFEE lebih luas lagi. MIFEE mencakup pertanian tebu, jagung, perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, peternakan sapi, dan perikanan yang berorientasi ekspor.

Setidaknya ada lima pertimbangan mengapa program raksasa ini ditempatkan di Merauke. Pertama, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2008, Merauke ditetapkan sebagai kawasan andalan dengan pertanian sebagai sektor unggulan. Kedua, Merauke memiliki lahan potensial untuk pertanian yang sangat luas, yakni 2,5 juta hektar dengan topografi datar dan subur ditunjang oleh agroklimat yang sesuai. Ketiga, berbagai tanaman pangan tumbuh dengan baik di Merauke. Keempat, Merauke memiliki padang untuk peternakan sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, kanguru, dan rusa. Dan kelima, Merauke memiliki pantai, sungai, dan rawa untuk pengembangan perikanan.

Kalangan pengusaha-pengusaha raksasa menyambut positif adanya MIFEE ini. Segera setelah diluncurkan, sebanyak 36 perusahaan mendaftar sebagai penggarap. Namun, dalam sebuah diskusi panel “Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia” pada Konferensi Negara Hukum, di Jakarta, Rabu (10/10), aktivis Perkumpulan untuk Pembaharuan Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Siti Rakhma Mary H, mengatakan bahwa pemerintah saat ini telah mengeluarkan 48 ijin lokasi untuk perusahaan-perusahaan di atas tanah seluas 2.319.094 hektar.

Ibarat menggelar karpet merah bagi para pengusaha-pengusaha itu, pemerintah juga telah membuat seperangkat payung hukum berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun instruksi presiden untuk mempermudah realisasi penguasaan lahan.

Andaikan tanah seluas itu tak bertuan, barangkali tak banyak persoalan muncul. Dan ceritanya memang tak demikian. Tanah itu nyatanya telah didiami selama ratusan tahun oleh masyarakat adat Malind-Anim. Di sanalah selama ini mereka tinggal, berburu, dan meramu makanan. Di sana pula letak sekian banyak tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Malind-Anim.

Munculnya Konflik
Adanya masyarakat Malind-Anim membuktikan bahwa tanah yang akan digarap pengusaha-pengusaha itu bukannya tak bertuan. Alam Merauke telah memberkati mereka dengan segala macam kebutuhan yang dapat mereka nikmati. Dan masyarakat, dengan segala kearifannya, telah menjaga alam tersebut dengan sedemikian baiknya. Jika pun kini perusahaan yang dibentengi oleh pemerintah Indonesia datang dengan seperangkat aturan yang baru dibuat beberapa tahun lalu untuk berusaha merebut tanah-tanah adat, ia dipandang sebagai bentuk kesewenang-wenangan yang nyata.

Stephanus, yang telah kehilangan tanah leluhurnya di Domande, kini tinggal bersama keluarganya di Kampung Onggari, Distrik Merauke. Namun demikian, meski sudah pindah, dia dan warga lainnya masih kerap didatangi oleh pihak perusahaan. Mereka mengaku dibujuk dengan sejumlah uang supaya menandatangani dokumen penyerahan lahan.

“Ada saja bujukan lewat kepala distrik, kadang lewat gereja,” ucap Stephanus kepada LenteraTimur.com, Jumat (12/10). “Tapi kami sudah tidak mau terima mereka punya bujuk.”

Bagi Stephanus, kehilangan tanah lagi berarti hilangnya lahan berburu dan sumber pangan. Belum lagi sekarang ini dia tinggal di daerah persimpangan sungai.

“Kalau terima uang dari mereka, sungai dibendung perusahaan. Kalau sudah dibendung, tidak mendapat air kami,” ujar Stephanus.

Kedatangan orang-orang dari perusahaan-perusahaan ini membuat suasana kampungnya menjadi tidak harmonis. Kecurigaan muncul karena mereka meyakini bahwa orang perusahaan yang datang punya niat untuk membujuk. Akhirnya, warga menjaga jarak satu sama lain. Padahal, sebelumnya mereka hidup kolektif dan rukun.

“Jadi kami warga saja yang jaga-jaga. Lebih baik jaga kekompakan warga,” tukas Stephanus. “Kami hormati kalau ada punya sikap terima tali asih. Tapi kalau nanti tidak diberdayakan sesuai prasasti, mau bagaimana?”

Prasasti yang dimaksud Stephanus adalah ‘Piagam Penghargaan’. Dalam beberapa kasus, perusahaan memang memberikan piagam penghargaan secara simbolis kepada tetua warga yang disaksikan seluruh warga. Dalam piagam penghargaan itu tertera sejumlah uang yang dibahasakan sebagai ‘tali asih’. Entah bagaimana ceritanya, kata Stephanus, piagam penghargaan itu kelak bisa berubah menjadi tanda serah terima kepemilikan tanah beribu-ribu hektar.

Pola-pola serupa juga dituliskan dalam buku MIFEE: Tak Terjangkau Angan Malind (2011). Di kampung Boepe, disebutkan bahwa ada salah satu perusahaan yang memberikan uang penghargaan sejumlah Rp. 100 juta untuk tanah seluas seribu hektar. Penghargaan itu ditandai dengan Surat Pelepasan Hak atas tanah tersebut.

Jika seribu hektar berarti 10.000.000 m2, maka untuk 1 m2 tanah masyarakat berarti dihargai Rp. 10. Ya, Rp. 10 untuk 1 m2.

Banyak yang murka dengan ‘penghargaan’ ini. Muncul anggapan bahwa itu bukan ‘penghargaan’, bukan pula uang ganti lahan, tetapi lebih tepat disebut sebagai penghinaan.

Jago Bukit, salah seorang aktivis Forum Kerja LSM Papua (Foker), pun bercerita bahwa pernah terjadi pertukaran lahan sejumlah 40.000 hektar dengan uang sejumlah Ro. 6 milyar.

“Warga senang. Belum pernah mereka tahu uang milyaran rupiah. Tapi setelah dibagi-bagi semua, kepala keluarga cuma dapat 200 ribu,” ucap Jago kepada LenteraTimur.com, Jumat (12/10).

Uang itu adalah wujud ganti rugi untuk pengelolaan lahan selama 30 tahun. Tapi, siapa yang bisa menjamin jika tanah-tanah itu tidak akan direnggut selamanya? Padahal, kasus di Kampung Boepe dan yang diceritakan oleh Jago hanya sejumput dari kasus-kasus lainnya yang masih banyak terserak.

Akan tetapi, mengapa beberapa tokoh masyarakat adat justru menyambut baik kedatangan perusahaan jika tahu uang yang diberikan perusahaan jumlahnya begitu kecil? Masyarakat adat di kampung-kampung tersebut selain tidak banyak yang berpendidikan, mereka juga sangat miskin. Tak ayal mereka begitu gembira melihat jumlah uang yang mereka kira begitu besar. Padahal, uang yang kelihatannya besar menjadi tak bernilai setelah dibagi-bagi kepada seluruh warga. Mereka juga berharap akan mendapat kepastian penghidupan seperti pekerjaan baru yang layak dan sebagainya. Sesuatu yang sama sekali belum ada jaminannya.

Lebih lanjut Jago mengatakan ihwal luasan tanah juga tak luput dari sesuatu yang penuh manipulasi. Jika dalam perjanjian serah terima pengelolaan tanah tercantum sekian hektar, di lapangan ceritanya bisa lain. Bisa dua kali lipat besaran ukuran dari apa yang tertulis.

“Orang-orang di sini tentu tidak bisa mengukur luas tanah. Mereka sama sekali tidak punya data,” ujar Jago.

Dampak lain dari manipulasi data sekaligus ketidakpunyaan data ini adalah munculnya konflik antar kampung. Jadi, jika ada suatu kampung yang telah menandatangani penyerahan tanah sekian hektar, maka itu bisa memicu kemarahan kampung lain. Sebab, luasan tanah yang ditandatangani itu ternyata melampaui batas kampung dan memakan tanah kampung tetangga.

“Kampung satu dengan lainnya jadi mudah berkonflik sekarang ini gara-gara tabrakan batas tanah,” tutur Christianus Basik Basik dari Kampung Wendu, Distrik Semangga kepada LenteraTimur.com, Jumat (12/10).

Christianus juga menceritakan nasib beberapa warga Kampung Salor yang kini tidak lagi punya tempat tinggal di tanahnya sendiri. Setelah lahannya dibeli oleh salah satu perusahaan, warga tinggal di tempat-tempat yang tidak layak.

“Ada yang saya lihat tinggal di bawah jembatan. Sudah semacam gelandangan di rumah sendiri,” kata Christianus.

Tersingkir dari Tanahnya
Apa yang terjadi pada Stephanus Gebze atau orang-orang Kampung Salor memberikan contoh atas suatu pola perpindahan masyarakat Papua dari tanahnya. Stephanus memang bisa tinggal di Onggari. Tapi, itu bukan jaminan bahwa dia bisa hidup sebagaimana yang dia inginkan. Sewaktu-waktu, pihak perusahaan bisa saja datang, dengan bermacam cara, untuk membuat masyarakat pindah menyingkir dari tempat tinggalnya sendiri.

Sesungguhnya, Kabupaten Merauke saat ini merupakan lebensraum (ruang kehidupan, habitat) suku besar Malind-Anim. Setidaknya ada empat suku besar yang hidup di dalamnya, yakni Mappi, Asmat, Muyu, dan Mandobo. Mappi sekarang terdapat di Kabupaten Mappi dan Asmat di Kabupaten Asmat. Sementara Muyu dan Mandobo terdapat di wilayah Kabupaten Boven Digul. Saat ini, karena sesuatu dan lain hal, disebutkan bahwa kelompok-kelompok orang Muyu (dan Mandobo) juga menuntut pemekaran Kabupaten Boven Digul, dengan membentuk sebuah kabupaten baru, yakni Kabupaten Muyu (dan Mandobo).

Sampai saat ini, orang Malind-Anim masih hidup dalam tradisi berburu dan meramu, yang menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1970), adalah sebuah pola penghidupan yang disebut mulai dikenal sejak 110 abad sebelum masehi. Sementara itu, mata pencaharian bertani padi di sawah beririgasi disebut baru dikenal pada abad ke-14.

Datangnya MIFEE tentu akan memperjumpakan antara dua kondisi yang berbeda tersebut. Pertama, antara kedua moda produksi pangan tersebut terbentang jarak 125 abad lamanya. Kedua, kedua moda produksi berbeda secara ruang dan konteks. Dan ketiga, pola berburu dan perladangan hutan sagu akan tertekan oleh pola perladangan yang dibawa MIFEE.

Jika disebutkan bahwa pertanian baru tadi merupakan sesuatu yang maju dari pola sebelumnya, maka hal tersebut tidak dapat diamini begitu saja. Antopolog Claude Levi-Strauss, dalam bukunya Ras dan Sejarah (2000) mengatakan bahwa sejatinya tidak ada yang dapat disebut kemajuan secara mutlak dalam peradaban. Apa-apa yang baru merupakan tindakan peniruan belaka dari yang sudah ada, dan tentunya sezaman dengan yang tertiru. Ia lebih tergantung pada pilihan dan konteks ruang.

“Perkembangan pengetahuan sejarah dan arkeologi cenderung dibeberkan dalam ruang dan bentuk-bentuk peradaban yang membawa kita berimajinasi seperti urut-urutan berjalannya waktu,” tulis Claude Levi-Strauss.

Begitu juga pola perburuan atau perladangan hutan sagu yang dilakukan oleh orang-orang Malind-Anim. Pola dan teknologi yang mereka gunakan tak dapat diartikan sebagai sesuatu yang “ada di belakang”. Suatu pola dan teknologi selalu dilahirkan oleh kebutuhan dan kemudian diwarnai oleh kebudayaan dimana ia berada.

Jika MIFEE datang dengan membawa misi membudidayakan moda produksi pertanian modern, bisa dibayangkan kesenjangan antara kebiasaan dan keterampilan masyarakat setempat dengan segala macam teknik produksi yang akan dijalankan perusahaan-perusahaan. Kalau sudah demikian, mampukah masyarakat di sana diikutsertakan dalam aktivitas-aktivitas perusahaan? Padahal, kalaupun ada yang sepakat dengan MIFEE, masyarakat berharap akan dipekerjakan sebagai karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan tersebut.

Tapi, tentu tidak semua masyarakat di Merauke mengalami kurangnya pendidikan. Sudah banyak putra putri masyarakat adat Malind-Anim yang telah menempuh pendidikan tinggi. Hanya saja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua pada 2009 disebutkan sebesar 64,53, jauh berada di bawah rata-rata Indeks nasional sebesar 71,76, dan meningkat sebesar 64,94 pada tahun 2010. Secara rangking, Papua berada di peringkat terbawah dari seluruh provinsi provinsi yang ada di Indonesia.

Bukti sudah ada. Dalam buku MIFEE: Tak Terjangkau Angan Malind, disebutkan bahwa Marius Moiwend, warga kampung Sanggase, Distrik Okaba, dan beberapa rekannya ditolak bekerja di PT. Medcopapua Industri Lestari karena tidak memiliki ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Padahal, Marius hanya ingin menjadi satpam di perusahaan itu.

Dalam buku yang sama, disebutkan juga bahwa agar semua proyek itu terlaksana sebagaimana mestinya, diperkirakan dibutuhkan sekitar empat tenaga kerja untuk setiap hektarnya. Itu berarti, secara total dibutuhkan sekitar 4,8 juta tenaga kerja. Ini adalah jumlah yang luar biasa besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Merauke sendiri saat ini. Dari data Dinas Sosial Politik dan Kependudukan Merauke, Mei 2010, penduduk Kabupaten Merauke adalah 233.059 jiwa. Arus migrasi yang kencang ke Papua akan bertambah dengan proyek pangan ini, dan secara sosial-kultur-politik, masyarakat di sana akan kian tertekan.

Saat ini saja, masyarakat Papua sudah berada dalam bayang-bayang dominasi pendatang. Pada 1959, persentasi pendatang masih kurang dari dua persen. Pada 1971, ia meningkat menjadi empat persen. Pada 2000, 30 tahun kemudian, ia menjadi 35 persen dari populasi. Jim Elmslie, akademisi Australia, dalam laporan penelitiannya yang berjudul West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?  menyebutkan hingga pertengahan tahun 2010, jumlah Orang Asli Papua mencapai 1.730.336 atau 47,89 persen. Sementara non Papua mencapai 1.882,517 atau 52,10 persen. Cepat atau lambat, orang asli Papua akan segera menjadi minoritas di tanahnya sendiri.

Masyarakat yang Tersisih
Dalam satu dasawarsa terakhir, media massa gencar memberitakan tentang krisis pangan, papan, minyak, dan pemanasan global. Dalih krisis inilah yang membawa pengusaha-pengusaha raksasa mendatangi apa yang dianggap sebagai “lahan-lahan kosong” di berbagai penjuru untuk dijadikan ladang-ladang produksi baru.

MIFEE pun demikian. Atas dasar upaya mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri Indonesia dan peningkatan devisa, perusahaan-perusahaan diberi jalan mulus untuk memulai industrialisasi di Merauke.

Padahal beberapa pihak sudah menolak industrialisasi dalam nalar pemenuhan kebutuhan pangan ini. Sebagai contoh, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada 2010 sudah mengemukakan akan salah arahnya MIFEE yang mempromosikan agribisnis perikanan budidaya maupun tangkapan yang didorong melalui minapolitan. Kebijakan ini seolah mengindikasikan Indonesia bermasalah dengan produksi sektor pertanian. Padahal, Indonesia sama sekali tidak memiliki persoalan tersebut. Pasokan ikan untuk kebutuhan konsumsi sudah dipenuhi oleh nelayan tradisional.

Ketua Program Pascasarjana Antropologi Universitas Cendrawasih, Agus Dumatubun, juga dengan tegas menolak MIFEE. Dia mengatakan proyek ini memperlihatkan bahwa pemerintah sama sekali tidak memahami masyarakat Merauke.

Di Merauke, menurut Agus, penguasa tanah adalah marga-marga atau klan-klan yang jumlahnya banyak sekali. Merekalah yang turun temurun mewarisi tanah. Namun, pemerintah justru mengurus perijinan tanah ini dengan subjek-subjek yang tidak memiliki akar tradisi dengan masyarakat adat, seperti Lembaga Masyarakat Adat (LMA), penguasa distrik, dan sebagainya.

“Mengapa tidak berbicara dengan warga langsung? Kalau sudah bicara dengan warga, apa sudah dijelaskan bagaimana mestinya MIFEE itu positif atau tidak?” ujar Agus.

Dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat atau United Nation Declaration on The Rights of Indigenous People (UNDRIP), telah terdapat prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang diakui keberadaannya. Pada Pasal 19 dinyatakan bahwa “Negara-negara yang akan melakukan konsultasi dan bekerjasama dengan kehendak baik dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan keputusan dari masyarakat adat yang dilakukan secara bebas tanpa tekanan apapun berdasarkan informasi yang lengkap sejak dini (free, prior, and informed consent) sebelum menerima dan melaksanakan langkah-langkah legislatif atau administratif yang akan mempengaruhi masyarakat adat”.

Ada lima prinsip yang terkandung dalam UNDRIP Pasal 19 ini. Yakni (1) Masyarakat berhak untuk menyatakan menerima atau menolak sebuah kebijakan; (2) Jika mereka menerima, terlibat penuh dalam seluruh proses pengambilan keputusan mengenai sebuah kebijakan atau proyek pembangunan dimaksud; (3) Masyarakat berhak diwakili oleh sistem perwakilan yang mereka tentukan sendiri secara bebas di dalam seluruh proses pembuatan kebijakan pengambilan keputusan; (4) Keputusan yang diambil masyarakat adat harus dilakukan berdasarkan informasi yang lengkap mengenai sebuah kebijakan atau proyek pembangunan. Informasi tersebut harus disampaikan kepada masyarakat sejak dini, sedini rencana mulai digagas, dan (5) keputusan diambil masyarakat melalui mekanisme yang mereka kenal, yaitu yang mereka jalankan dalam kehidupan mereka dan melibatkan lembaga-lembaga yang mereka bentuk (termasuk lembaga adat).

Kabupaten Merauke memiliki topografi dataran rendah. Masyarakat adat di sana banyak tinggal di dekat sungai untuk mendapatkan jaminan ketersediaan air minum. Satu hal yang dikhawatirkan oleh Agus jika perusahaan-perusahaan datang ialah air sungai justru dibendung untuk kebutuhan perusahaan. Bisa dipastikan, kebutuhan air untuk minum dan mengairi tanaman pangan, seperti sagu, akan menyusut drastis. Salah satu tanaman yang diusahakan oleh perusahaan secara besar-besaran adalah kelapa sawit. Padahal, kelapa sawit adalah jenis tanaman yang dikenal banyak menyerap air.

Masyarakat adat yang berbeda secara kebiasaan dapat dipastikan akan tersisih jika berkompetisi dengan pendatang dalam hal mendapatkan pekerjaan. Perusahaan akan merekrut calon karyawan yang memiliki bekal pendidikan tinggi. Sementara, mencari calon karyawan dari warga sekitar yang memiliki pendidikan dan ketrampilan yang memadai serta sesuai tentu saja sulit.

“Logika perusahaan mencari karyawan terbaik, sementara orang-orang sekitar tidak akan berpikir sejauh itu,” kata Agus. “Mereka tahunya perusahaan ambil tanah, bangun pabrik, lantas mereka sendiri disisihkan, dianaktirikan.”

Perasaan disisihkan inilah yang kemudian justru merekatkan solidaritas. Masyarakat yang sama-sama menanggung perasaan senasib yang disisihkan oleh pendatang akan mencoba menuntut hak dan martabatnya. Namun mereka juga khawatir diberi label “separatis”.

“Kami tinggal di perbatasan. Kami khawatir jika melawan dicap separatis, OPM (Organisasi Papua Merdeka-red). Kami bingung juga. Akhirnya kami terpaksa mengalah,” ucap Stephanus.

MP3EI
Pada saat yang sama, MIFEE sejatinya “hanyalah” salah satu proyek besar Indonesia. Proyek besar itu disebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau (MP3EI). Dalam proyek skala raksasa ini, pemerintah membagi setiap wilayah di Indonesia ke dalam koridor-koridor ekonomi yang berbeda-beda.

Sumatera, misalnya, akan menjadi “Sentra Produksi dan Pengolahan hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”; Jawa menjadi “Pendorong Industri dan Jasa Nasional”; Kalimantan menjadi “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional”; Sulawesi menjadi “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Minyak dan Gas, dan pertambangan Nasional”; Bali-Nusa Tenggara menjadi “Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional”; dan Kepulauan Maluku-Papua menjadi Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional.

Proyek MP3EI memang ambisius. Dan Stephanus, atau orang-orang Malind-Anim, adalah saksi-saksi dibalik upaya Indonesia mendongkrak pertumbuhan ekonominya.

Kisah lain tentang situasi penduduk terkait terkait MIFEE dapat disaksikan pada video di situs Papuanvoices.net ini.

 

Fajar Riadi Fajar Riadi lahir di Madiun, Jawa Timur. Kini dia bekerja sebagai staf redaksi di LenteraTimur.com.

Comments with Facebook

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *