Home Featured Memartabatkan Kembali Hukum Adat

Memartabatkan Kembali Hukum Adat

0
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, beserta lambang Burung Garudanya, dibuat di zaman Republik Indonesia Serikat. Gambar: LenteraTimur.com/Arif Budiman.

“Hukum udah putus perkara udah habis. Tuak tumpah manok mati, di arai tidak begumbang, di batu tidak beguyah, licin betuang halus becanai. Halang mencangking dapat, ular menalan kanyang.”

(Perkara telah putus. Air tuak sudah ditumpahkan, ayam telah dibunuh, sungai tak lagi bergelombang, batu tak bergerak, semuanya berjalan mulus seperti biasa. Burung elang telah mendapat buruan dan ular pun telah kenyang karena menelan mangsanya.)

Demikian pepatah yang kerap diucapkan masyarakat Silat Hulu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat untuk gambarkan rasa lega usai menegakkan hukum adat melalui pengadilan di atas tanahnya sendiri. Menengok banyaknya kasus “sandal jepit”, baik yang diekspos atau pun terbenam dengan pemberitaan media, sulit untuk temukan gema ungkapan semacam ini pada ujung putusan-putusan pengadilan negara di Indonesia.

Pada diskusi panel “Hak Asasi Manusia” dalam Konferensi Negara Hukum di Jakarta (10/10), Donny Danardono dari Fakultas Hukum dan Program Magister Lingkungan-Perkotaan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, menyampaikan bahwa hukum yang ada di Indonesia kini memang belum mampu menampung seluruh pengalaman dan identitas para subyek hukum.

“Hidup di bumi memang bukan di surga. Negara hukum Indonesia bukan jaminan untuk berbagai persoalan keadilan. Itu sebabnya perjuangan keadilan di luar hukum tetap penting. Ia penting bagi para korban yang tersingkir dari diskursus hukum,” tegas Donny.

Dalam banyak kasus hukum, utamanya yang menimpa kaum miskin pun yang termarjinalkan, peradilan negara memang justru kerap melewatkan kesempatan kepada masyarakat untuk mempertahankan hak atas tanahnya di negara hukum ini. Joeni Arianto Kurniawan, dosen Hukum Adat dan Filsafat Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, memaparkan lebih lanjut mengenai tercerabutnya hak atas tanah ini.

“Menurut hukum adat, tanah bukanlah suatu benda material. Tanah adalah ibu sehingga terdapat hubungan yang sifatnya begitu erat antara masyarakat adat dengan tanah. Keduanya tidak bisa terpisahkan layaknya hubungan anak dengan ibunya,” kata Joeni dalam kesempatan yang sama.

Berdasarkan konsep ini, tanah menjadi kekayaan kolektif yang dimiliki secara eksklusif oleh persekutuan hukum adat yang bersangkutan. Ia laksana seorang ibu yang hanya menjadi kandung bagi anak-anaknya. Dalam konsep hukum adat, hal ini secara umum disebut dengan istilah hak ulayat.

Adanya hak ulayat memberikan kapasitas secara eksklusif kepada persekutuan hukum adat yang bersangkutan untuk mengelola, memanfaatkan, dan merawat tanah beserta sumber daya alamnya, dan secara eksternal memberikan tanggung jawab untuk menjaga tanah dan sumber daya alamnya dari penguasaan pihak asing beserta segala hal yang membahayakan keberadaan tanah dan sumber daya alam tersebut.

“Tanah menurut kita adalah benda material, memiliki potensi ekonomi, sehingga tidak heran bahwa ada pasal 33 (dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia-red). Ini berbeda dengan konsep tanah menurut masyarakat adat. Tanah adalah ibu sehingga semua yang hidup di atas tanah adalah hasil perkawinan bumi, ibu bumi, dengan langit atau ayah. Karenanya ada hubungan persaudaraan yang sangat kuat di antara setiap yang hidup di atas tanah. Baik itu tumbuhan, hewan, manusia, semua menjadi anak dari tanah dimana mereka berada. Yang namanya ibu, itu jelas tidak bisa ditukar. Adakah anak yang mau dipisahkan dari ibunya? Jadi ini bukan persoalan ekonomi. Masyarakat adat dimana pun akan selalu berusaha untuk melindungi lingkungan, sebagaimana kewajiban anak melindungi si ibu,” ungkap Joeni.

Kemajemukan Hukum
Apa yang ditegaskan Donny dan Joeni di atas segaris dengan fakta bahwa terdapat lebih dari satu sistem hukum yang sebetulnya dapat secara efektif bekerja mengatur kehidupan masyarakat di Indonesia. Hal ini berpangkal pada adanya realitas kemajemukan sosio-kultur yang seringkali disebut sebagai ciri khas dari Indonesia. Tak dapat dipungkiri bahwa hukum adat tumbuh dan berkembang melalui afirmasi masyarakat di tempatnya berada. Dimana ada masyarakat, di situ ada hukum. Dan dimana ada hukum, di situ harus ada hakim dan pengadilan.

Berangkat dari sini, maka kiranya jelas bahwa perlu diakui keberadaan masyarakat adat yang pada dasarnya tidak bertumpu pada keberadaan negara beserta kelengkapan hukum negaranya, melainkan bertumpu pada aturan hukum adat mereka. Apa yang dilabel sebagai masyarakat adat pun sesungguhnya adalah suatu institusi politik yang mandiri, yang mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada institusi sosial yang lain beserta segala macam perangkat kelembagaan yang ada. Negara bernama Indonesia dengan bentuk formalnya justru menjadi sesuatu yang asing bagi mereka.

“Mereka tidak pernah berpikir tentang negara ini. Seperti pengalaman waktu pilkada (pemilihan kepada daerah-red) saat pengambilan suara. Mereka bertanya ‘Kami mau diapakan?’ Lalu dibilang, ‘ikut pemilu’. ‘Pemilu itu apa?’ ‘Pemilihan presiden.’ ‘Presiden itu apa?’ ‘Pemimpinnya Indonesia.’ ‘Indonesia itu apa?’ Pertanyaan semacam inilah yang benar-benar terjadi,” kisah Joeni.

Secara lebih spesifik, adat dan kebiasaan dalam lingkungan masyarakat tertentu semestinya menjadi suatu kenyataan yang dapat dilihat oleh hakim adat sebagai suatu peristiwa dan kemudian dirumuskan sebagai peraturan hukum. Kondisi inilah yang kemudian menjadi basis bagi perkembangan sistem hukum common law di negara-negara persemakmuran Inggris.

Namun, hasrat untuk menyatukan Indonesia sebagai suatu kesatuan politik dan pemerintahan telah cenderung untuk mengabaikan hukum rakyat, yang plural dan melokal, untuk berganti dengan hukum nasional yang diunifikasi.

“Apakah sentralisme hukum akibat dari pilihan bentuk negara? Secara tegas saya katakan, ya. Sentralisme hukum adalah konsekuensi logis dari bentuk negara yang kita pilih,” tukas Joeni.

Dalam konferensi yang sama, Tody Sasmitha Jiwa Utama, tenaga pengajar di Bagian Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menegaskan bahwa pemerintah Indonesia dan media lokal Jakarta yang terus memaksakan narasinya ke dalam ruang-ruang kultural di luar dirinya memang selalu mengkonstruksi hukum dan pengadilan adat sebagai sejenis benda purba warisan masa lalu, yang saat ini eksistensinya perlu dilestarikan dan dijaga hanya demi kepentingan menjaga sejarah.

“Silaunya pemerintah terhadap hukum barat membuatnya menutup mata terhadap kenyataan bahwa masyarakat di Indonesia memiliki jiwa hukumnya sendiri yang tidak dapat begitu saja dibenturkan dengan sistem lain. Kebenaran dan keadilan di Jakarta tentu kerap berbeda dengan kebenaran dan keadilan di daerah-daerah lain di luar dirinya. Tapi pada prakteknya, hukum adat masih belum dipandang sebagai identitas hukum nasional yang membedakannya dengan hukum di negara lain,” ungkap Tody.

Tody menganggap bahwa sentralisme yang selama ini mendominasi alam pikiran hukum nasional perlu didekonstruksi dengan semangat pluralisme, sehingga kemajemukan hukum-hukum adat dan putusan-putusan pengadilan adat yang hadir di tengah masyarakat bisa menjadi pendorong bagi terciptanya identitas hukum nasional yang memang benar-benar memberikan akses terhadap keadilan bagi setiap warga negaranya.

“Hukum adat adalah kristalisasi kesadaran kolektif yang tidak lahir dari teori-teori maupun perdebatan-perdebatan dalam gedung dewan. Namun, sampai sejauh ini, saya belum menemukan adanya pengakuan terhadap peradilan adat, baik dalam konteks hukum nasional maupun peraturan daerah. Gerakan revitalisasi hukum adat perlu dibangun sebagai kesadaran kolekif masyarakat sebagaimana gegap-gempita gerakan anti korupsi,” tegas Tody.

Beberapa argumen di kalangan praktisi hukum negara telah menyebutkan bahwa pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ke-2 sesungguhnya sudah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Namun, jika dibaca dengan seksama, pengakuan tersebut adalah pengakuan terbatas. Berikut adalah bunyi dari pasal tersebut:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Frase “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” menunjukkan bahwa pemerintah secara tidak langsung mengambil jarak yang berseberangan dengan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

“Kuat terkesan unsur penegasan dan klaim atas kekuasaan oleh pihak yang berposisi sebagai negara terhadap pihak yang berposisi sebagai kesatuan masyarakat hukum adat,” jelas Tody.

Pengakuan negara atas masyarakat hukum adat dan segenap haknya pada akhirnya merupakan sebuah pengakuan bersyarat. Tersirat sikap bahwa hukum adat adalah “pihak yang lain” di luar masyarakat negara, yang sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan zaman dijamin keberadaannya oleh pemerintah.

“Pengakuan bersyarat tersebut justru cenderung menjadi sebuah penyangkalan terselubung yang dilakukan melalui konstruksi wacana dalam oposisi biner. Tanpa adanya usaha untuk melepaskan hukum adat dari konstruksi oposisi biner, pengadilan adat sebagai lembaga hukum, sampai kapanpun hanya akan menjadi pengadilan jalanan, tanpa pernah mampu menjadi pemain utama dalam konfigurasi sistem hukum Indonesia,” tutur Tody dalam analisanya.

Tody juga melihat bahwa otonomi daerah yang digadang-gadang membawa angin segar bagi pembentukan hukum yang berbasis kepentingan masyarakat lokal masih terjebak pada wilayah legal formal semata dan belum menyentuh aspek paling dasar dari sebuah kemandirian sistem hukum, yaitu kemandirian nilai dan logika.

“Pembentukan hukum daerah-daerah di Indonesia masih bersandar pada logika Jakarta sebagai acuan utama. Dampaknya, meskipun peraturan dibuat dan diterapkan di daerah, sentralisme nilai dalam hukum masih mendominasi produk hukum yang dihasilkan,” papar Tody.

Ia menegaskan bahwa konfigurasi hukum yang diciptakan di atas landasan sentralisme cenderung mematikan kemungkinan adanya nilai-nilai sebagai kebenaran bersama. Sebagai sebuah sistem, konstruksi hukum nasional yang dibangun berdasarkan mazhab Eropa Kontinental justru melebarkan jurang keterpisahannya dengan identitas Indonesia melalui rasionalisasi dan unifikasi hukum.

“Tidak adanya hukum di luar undang-undang menyebabkan kedudukan pengadilan hanya bersifat pasif. Pengadilan (hakim) hanya merupakan corong undang-undang yang bertugas memasukan segala sesuatu yang kongkrit ke dalam peraturan perundang-undangan melalui jalan silogisme hukum, dengan metode deduksi yang logis. Konsep ini dalam istilah Perancis dikenal dengan les juges de la nation ne sont que la bouche que prononceles paroles de la loi atau dalam terjemahan bebasnya berarti: para hakim bangsa hanya merupakan orang yang berbicara atas dasar hukum tertulis,” tulis Tody dalam makalahnya.

Joeni juga memberikan padangan bahwa konstitusi Indonesia di pasal 18B ayat 2 memang secara tegas telah mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, sebagai konsekuensi konsep negara hukum, pengakuan dan perlindungan atas eksistensi masyarakat adat masih dilakukan dalam konstruksi hukum positif negara. Keberadaan hukum adat akan selalu dikonstruksikan di bawah doktrin sentralisme hukum. Ketidaksetaraan posisi ini membuat Joeni kemudian mengeluarkan pertanyaan tajam dalam forum diskusi.

“Bagaimanakah mungkin pengakuan dan perlindungan eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya dilakukan melalui hukum negara berdasarkan kerangka konsep negara hukum?” tanya Joeni.

Pertanyaan Joeni muncul melihat kenyataan bahwa masyarakat adat beserta hukumnya secara teknis belum mendapatkan kesederajatan peluang untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai contoh Joeni membacakan ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengenai masyarakat adat yang dibaca dalam pasal 2 ayat 4 dan pasal 3, serta pengaturan mengenai hukum adat dalam pasal 5.

Dalam penjelasan pasal 5 poin III butir (1) undang-undang tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan istilah ‘hukum adat’ di sini adalah “hukum adat yang telah disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara moderen dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia”.

Pengaturan mengenai masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya di bawah konsep pengakuan terbatas ini linier dengan undang-undang pokok agraria tersebut yang juga dapat ditemui pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Dalam undang-undang kehutanan, beberapa pasal yang mengatur tentang eksistensi masyarakat adat dapat ditemukan, antara lain, pada pasal 4 ayat (3) dan pasal 67.

Namun, Joeni menuturkan bahwa istilah hukum adat yang disebut dalam pasal-pasal ini bukanlah hukum yang berlaku dalam lingkungan-lingkungan masyarakat adat sebagaimana menjadi makna hakikat hukum adat. Pasal ini justru memuat ketentuan bahwa hukum adat yang dimaksud merupakan “hukum adat yang sudah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diganti dengan sifat nasional.”

Joeni memandang bahwa konsep pengakuan terbatas ini berpotensi untuk menjadi pemantik konflik sosial yang pada umumnya melibatkan masyarakat adat di satu sisi dan negara beserta perusahaan di sisi yang lain, yang berkepentingan hendak melakukan investasi dan “pembangunan” pada area lokasi masyarakat adat tersebut tinggal, hidup, dan mendasarkan kehidupannya.

Konflik ini akan membenturkan kontradiksi kepentingan di antara para pihak yang masing-masing mendasarkan diri pada tatanan normatif sistem hukum yang sama sekali berbeda satu sama lain. Hukum adat digunakan sebagai dasar berpikir dan bertindak masyarakat adat, dan hukum positif digunakan sebagai dasar berpikir dan bertindak negara dan perusahaan yang terlibat. Contoh nyata dari perbedaan yang cukup kontras antara struktur masyarakat adat dengan sistem hukum adatnya dan struktur negara dengan konsep negara hukumnya dalam konteks Indonesia dapat dilihat pada sering munculnya konflik agraria.

“Dengan berlatar belakang realitas pluralitas hukum di Indonesia, konstruksi negara hukum dalam konteks Indonesia semestinya tidak boleh dianggap sebagai suatu hal yang sifatnya telah selesai. Sebaliknya, konstruksi tersebut masih memiliki problematika yang cukup serius berkaitan dengan adanya pluralitas struktur sosio-politik masyarakat Indonesia beserta tatanan normatif hukumnya,” cemas Joeni.

Dalam konstruksi negara kesatuan di Indonesia ini, pengadilan adat terpaksa berharap pada politik afirmasi untuk dapat terintegrasi dengan memadai pada sistem peradilan Indonesia. Namun, Joeni mengakui bahwa agak mustahil membayangkan revitalisasi pengadilan akan berangkat dari inisiatif pemerintah melalui peraturan perundangan-undangan yang dibentuknya.

“Upaya mendekatkan kembali pengadilan adat hendaknya dibangun dari akar rumput. Melalui berbagai gerakan justifikasi sosial tersebut, pengadilan adat dapat menemukan kembali kewibawaannya,” usul Joeni.

Rekam Jejak Hukum Adat di Indonesia
“Pada 17 Agustus 1945 bukan hanya bangsa Indonesia yang belum ada, tapi pendirian negara Indonesia ini sebenarnya juga tanpa dasar hukum sama sekali. Bagaimana sebuah negara yang berdiri tanpa dasar hukum ini bisa membuat dan menerapkan hukum, tapi juga mengklaim hukum-hukum itu adil?”

Pertanyaan mendasar dari Donny dalam konferensi ini pun disambut tawa khalayak. Dekonstruksi Donny secara radikal mencoba menyusur galur kekusutan sistem hukum di Indonesia yang menurutnya masih belum dapat memberi harapan akan nilai-nilai keadilan.

Joeni menyatakan bahwa dalam aspek sejarah memang harus diakui bahwa hukum negara yang kini berlaku tak lebih adalah warisan Belanda. Joeni mengibaratkan alur sejarah ini sebagai sebuah rumah yang hanya berganti sertifikat.

“Wilayah operasional Hindia Belanda kita warisi. Sistem hukumnya pun kita ikuti,” tegas Joeni.

Dari sinilah timbul pertanyaan, ketika kolonialisme Hindia Belanda dihujat dan dilawan, mengapa kini hukumnya justru dipakai? Padahal, hukum Hindia Belanda yang pada masa awal berdirinya Indonesia itu secara terpaksa digunakan pada masa darurat tidak relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Namun, hukum tersebut hingga kini masih tetap dijadikan alas nalar dari segala keputusan hukum formal.

Joeni memandang bahwa adanya transplantasi konsep dari proses kolonialisme Eropa (Belanda) yang kemudian diteruskan begitu saja ke dalam dimensi baru bernama Tata Hukum Indonesia tanpa melalui telaah yang mendalam ini adalah hulu dari segala compang-campingnya hukum Indonesia. Persoalan kian mengkronis dengan adanya wacana perlindungan hak-hak komunitas di bawah konsep negara hukum.

“Gagasan ini cenderung bersifat simplistis dan reduksionis,” papar Joeni.

Dari upaya-upaya yang dilakukan masyarakat untuk tetap menegakkan hukum adatnya, nampak jelas bahwa masyarakat tetap berjuang menemukan keadilan bagi mereka sendiri.

Mohammad Jamin dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, dalam kesempatan yang sama juga memaparkan contoh-contoh pelaksanaan hukum adat di banyak wilayah.

Di Desa Terawas, Musirawas, Sumatera Selatan, dikenal tradisi punjung mentah. Jika terjadi pertentangan antar warga, pihak bersalah difasilitasi membawa punjung mentah kepada keluarga korban, yang di dalamnya berisi kopi, gula, beras, ayam, dan rokok. Punjung mentah adalah simbol ungkapan penyesalan dan permohonan maaf kepada keluarga korban. Kalau punjung mentah sudah dibawa, biasanya keluarga korban merasa puas, dihormati, dan kemudian menerimanya serta menahan dendamnya. Usai pemberian punjung mentah, dilanjutkan dengan tradisi tepung tawar. Orang yang bertikai tadi kemudian saling mengoleskan tepung tawar di badannya, dan keduanya dianggap bersaudara. Cara demikian menahan konflik perorangan menjadi konfik kelompok bahkan konflik komunal.

Di Kabupaten Soe, Nusa Tenggara Timur, dikenal tradisi okomama, yakni sebuah kotak dengan aneka ukuran yang di luarnya dibalut dan dilapisi kain tenunan adat dan di dalamnya diisi sirih pinang dan kapur. Jika ada konflik atau pertikaian dalam masyarakat, pihak bertikai dimasukkan kedua tangannya dalam okomama sambil berjanji dan bersumpah untuk tidak lagi bermusuhan dan selanjutnya menjaga perdamaian. Dengan itu, damai antar pihak bertikai terfasilitaskan, dendam teredam, konflik kelompok atau komunal terhindarkan.

Di Desa Pakraman, Bali, dalam menata, memperbaiki, dan meminimalisasi terjadinya konflik, dilakukan perundingan di antara mereka yang berselisih secara damai dan kekeluargaan. Jika konflik tidak dapat diselesaikan melalui perundingan di antara mereka, maka ditempuh pola mediasi, yaitu penyelesaian sengketa yang dimediasi oleh Majelis Desa Pakraman sebagai suatu bentuk peradilan adat. Penyelesaian konflik secara damai sangat penting dikedepankan untuk mempertahankan harmoni sosial dalam kehidupan masyarakat Bali, serta tidak menimbulkan luka batin yang menyisakan dendam berkepanjangan. Masyarakat di Bali lebih percaya dengan putusan lembaga peradilan adatnya daripada putusan peradilan negara. Ada rasa keadilan yang sebenarnya tercermin dari tiap putusan hukum adatnya.

Contoh lain, di Bengkulu, pada klan Selupu Lebong, dikenal pengadilan yang melibatkan pelindung adat, ketua kutai, dan ketua sukau/klan. Sementara di Takalar, Sulawesi Selatan, dikenal Imam Desa yang kurang lebih menjalankan fungsi yang sama, yaitu sebagai mediator dalam konflik.

Keefektifan peradilan adat dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan juga pernah dilansir oleh Komisi Nasional Perempuan, sebagaimana dinyatakan Rukmini Paata Toheke.

Di Kabupaten Poso, hingga saat ini, masyarakat masih menggunakan cara-cara penyelesaian persoalan mereka melalui lembaga adat yang ada di setiap lipu (desa). Semua persoalan yang dianggap melanggar adat istiadat akan diselesaikan pada tingkat terendah, sekalipun pada lembaga-lembaga adat tersebut tersedia mekanisme yang lebih tinggi lagi, misalnya pada tingkat kecamatan.

Namun, Jomi Suhendri, Manajer Program di Perkumpulan Qbar Padang dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Ekasakti (UNES), Padang, Sumatera Barat, dalam konferensi ini memaparkan bahwa masyarakat di wilayahnya kini cenderung mempercayai pengadilan negara dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat ketimbang hukum adat.

Masyarakat menganggap bahwa putusan dari pengadilan negara lebih kuat ketimbang putusan hukum adat yang dikeluarkan oleh lembaga adat. Namun, tidak jarang juga putusan dari pengadilan negara ini kemudian tidak disenangi oleh pihak-pihak yang bersengketa, karena putusannya dianggap tidak adil.

Sengketa tanah ulayat di nagari semestinya dapat diselesaikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku, bajanjang naiak batanggo turun. Para penghulu dan mamak kepala waris bertanggungjawab atas ketertiban dan kedamaian di dalam kelompok mereka. Sengketa-sengketa harus ditangani pada tingkat yang serendah mungkin dan hanya apabila tidak tercapai penyelesaian mereka mengajukannya pada tingkat yang lebih tinggi. Dan lembaga yang tertinggi untuk penanganan sengketa adalah KAN.

Dengan segala perubahan yang terjadi di Indonesia dari zaman ke zaman sampai kepada desentralisasi dengan otonomi yang ada pada saat sekarang ini, KAN memang masih tetap eksis dalam kehidupan masyarakat Nagari sebagai tingkat akhir dalam penyelesaian sengketa, dalam hal ini sengketa sako dan pusako. Seiring dengan perkembangan yang terjadi, maka pemerintah Sumatera Barat mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1983 Tentang Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Keputusan KAN merupakan Putusan Tata Usaha Negara, sehingga jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh keputusan KAN itu, yang mempunyai kompetensi untuk mengadilinya adalah Peradilan Tata Usaha Negara, bukan Peradilan Pidana.

Di Nagari Situjuah Gadang, masih di Sumatera Barat, penyidang perkara-perkara perdata adat disebut dengan kadi (hakim adat). Dalam menyidangkan perkara, seorang kadi (hakim adat) harus netral dan bebas dari tekanan pihak manapun dalam memutus suatu perkara. Kadi (hakim adat) di Nagari Situjuah Gadang memiliki persyaratan sebelum ditunjuk menjadi majelis hakim. Setiap anggota majelis hakim tidak boleh terkait dengan para pihak yang bisa mempengarui objektivitas jalannya pemeriksaan dalam hal sebagai berikut:

– Labo jo rugi (laba dan rugi), setiap anggota majelis hakim tidak boleh terkait dengan laba dan ruginya dalam penyelesaian sengketa. Artinya, dia tidak boleh mempunyai kepentingan ekonomi dengan pokok (objek) sengketa.

– Kasiah jo banci (kasih dan benci), majelis hakim tidak boleh mempunyai hubungan emosional (baik perasaan kasihan atau dendam/benci) dengan pihak yang bersengketa.

– Takuik jo malu (takut dan malu), majelis hakim tidak boleh dibebani rasa takut dan malu terhadap para pihak. Oleh karena itu, majelis hakim harus tidak mempunyai hubungan psikologi dengan para pihak.

– Sayang jo ragu (sayang dan ragu), majelis hakim harus terlepas dari pengaruh hubungan kekeluargaan dengan para pihak sehingga perasaan sayangnya membuat dia menjadi ragu mengambil keputusan yang adil sesuai dengan alur dan patut.

Dalam menerima perkara, KAN di Nagari Situjuah Gadang tidak serta merta menerima perkara tersebut, namun KAN meminta terlebih dahulu kepada pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di tingkat bawah dulu, mulai dari tingkat keluarga, kaum, dan pesukuan. Namun, apabila para pihak yang bersengketa kurang puas, barulah naik ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu KAN, untuk membantu menyelesaikan sengketa tersebut.

Pada kenyataan yang terjadi kini, meski diberi wewenang dalam menyelesaikan sengketa, telah terjadi pergesaran pemahaman di kalangan masyarakat dalam memahami putusan yang dikeluarkan oleh KAN.

“Sebagai institusi yang diembankan tugas sebagai penyelesai perkara-perkara perdata adat, terutama yang menyangkut tanah ulayat, KAN kini terkesan tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Beberapa penyebabnya antara lain hegemoni hukum positif. Hukum positif yang dibuat negara menjadikan hukum adat menjadi subsistem. Putusan KAN seolah-olah adalah putusan pra pada lembaga peradilan,” jelas Jomi.

Intervensi negara versi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983 memang menjadi salah satu faktor mengapa KAN tidak lagi independen. Pengaruh negara terlalu besar didalam tubuh KAN, sehingga kemudian KAN cenderung dianggap sebagai corong pemerintah. KAN tidak lagi diisi oleh ninik mamak yang memiliki integritas. Menurut Perda 13 Tahun 1983, pengurus KAN harus atas persetujuan pemerintah. Artinya, jika berminat menjadi pengurus KAN ambillah hati pemerintah, bukan hati masyarakat.

Melipat Serikat, Melumat Peradilan Adat
Kemunduruan peran KAN di masyarakat bukan tak berakar. Secara lebih tegas, pengingkaran terhadap eksistensi keseluruhan mekanisme hukum adat telah diawali saat satu tahun setelah dibubarkannya Republik Indonesia Serikat, atau satu tahun setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil serta semua undang-undang penggantinya, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, politik hukum unifikasi dan sentralisme peradilan menyebabkan tidak ada peradilan di luar peradilan negara.

Padahal, jauh sebelum Negara Republik Indonesia (NRI) atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir, ia sudah ada. Dan pada masa Belanda (Eropa) datang, ia tetap diakui dan berlaku untuk pribumi. Dan ketika berada di bawah pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, apa yang senyawa dengan masyarakat justru dibatasi ruang geraknya.

Pada masa penjajahan Belanda (tak semua dijajah), pengakuan atas peradilan adat di sejumlah tempat di Kepulauan Melayu atau Kepulauan Indian atau India Belakang atau India Timur atau India (Hindia) Belanda ini diberikan melalui berbagai Statblad (Stb). Dalam buku Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia Sejak 1942: Dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia (1983), Sudikno Mertokusumo memaparkan secara gamblang hal ini.

Sudikno menyebutkan beberapa pengakuan tersebut, seperti Stb. 1881 Nomor 83 untuk Aceh Besar, Stb. 1886 Nomor 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb. 1889 Nomor 90 untuk daerah Gorontalo, Stb. 1906 Nomor 402 untuk Kepulauan Mentawai, Stb. 1908 Nomor 231 untuk Hulu Mahakam, Stb. 1908 Nomor 234 untuk daerah Irian Barat, dan Stb. 1908 Nomor 269 untuk daerah Pasir.

Pada 1932, tepatnya tanggal 18 Februari, pemerintah Belanda mengeluarkan Stb. 1932 Nomor 80 yang mencabut dan menggantikan berbagai ketentuan atau Stb. yang memberikan pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-daerah di atas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah baru.

Pasal 1 Stb. 1932 Nomor 80 menyatakan pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-daerah yang disebutkan, dengan pelaksana peradilannya adalah hakim dari masyarakat pribumi. Pemberlakuan peraturan baru ini dilakukan secara bertahap.

Untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur dimulai pada 1 April 1934 dengan Stb. 1934 Nomor 116 dan Stb. Nomor 340, untuk Aceh pada 1 Oktober 1934 dengan Stb. 1935 Nomor 465, untuk Kalimantan Barat dan Maluku pada 1 Januari 1936 melalui Stb. 1936 Nomor 490 dan pada 1 Januari 1937 untuk Bali dan Lombok.

Sedangkan peradilan adat di Irian Barat (Papua) dimuat dalam Ordonantie op de Inheemse Rechtspraak in Rechtstreek Bestuurd Gebeid S. 1932 Nomor 80 dan Inheemse Rechstpraak Verordening Molukken Jav. Crt. 24 September 1935 Nomor 77, Extra Bijvoegsel Nomor 57

Pada 1935, melalui Stb. 1935 Nomor 102, disisipkan pasal 3a ke dalam Rechterlijke Organisatie (RO). Dengan disisipkannya pasal ini, muncullah peradilan desa yang merupakan bagian dari peradilan adat. Karena itu, hadirlah dua bentuk peradilan untuk pribumi, yaitu “peradilan adat” dan “peradilan desa”. Antara keduanya sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Peradilan desa umumnya terdapat di hampir di seluruh masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial. Namun peradilan adat ditemukan pada masyarakat yang bersifat teritorial maupun genealogis.

Di zaman penjajahan Jepang (tak semua negara dijajah), keberadaan peradilan swapraja dan peradilan adat tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1942. Akan tetapi, untuk Sumatera, kedua-duanya dengan tegas dinyatakan tetap berlaku dan dipertahankan oleh pasal 1 Sjihososjiki-rei (Undang-Undang Tentang Peraturan Hakim dan Mahkamah) yang dimuat dalam Tomi-seirei-otsu Nomor 40 tanggal 1 Desember 1943. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1944.

Sementara itu, dalam konstitusi Negara Republik Indonesia (Yogyakarta), tidak ditemukan pengaturan terhadap adat dan peradilannya. Baru pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat pengaturan terhadap adat muncul, yakni:

Pasal 144 (1): Perkara perdata dan perkara hukuman perdata, semata-mata masuk perkara yang diadili oleh pengadilan-pengadilan yang diadakan atau diakui dengan atau atas kuasa undang-undang, termasuk dalamnya hakim daerah swapraja, hakim adat dan hakim agama.

Pasal 145
(1) Segala campur tangan, bagaimanapun juga, oleh alat-alat perlengkapan yang bukan perlengkapan kehakiman, terlarang, kecuali jika diizinkan oleh undang-undang.
(2) Asas ini hanya berlaku terhadap pengadilan swapraja dan pengadilan adat, sekadar telah diatur cara meminta pertimbangan kepada hakim yang ditunjuk dengan undang-undang.

Pasal 146
(1) Segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman harus menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.

Akan tetapi, setelah Republik Indonesia Serikat dibubarkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru dibentuk, setahun kemudian, membuat undang-undang darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan Sipil. Pada pasal 1 ayat 2 undang-undang tersebut, disebutkan bahwa secara berangsur-angsur ditentukan oleh menteri kehakiman, dihapus:

a. Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.

b. Segala pengadilan adat (Inheeemse rechtspraak in rechttreeksbestuurd gebied) kecuali Pengadilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan adat.”

Lahirnya undang-undang ini, menurut Wantjik Saleh dalam bukunya Hak Anda Atas Tanah (1973), terjadi karena kesemrawutan peradilan. Hal ini terungkap pada kutipan berikut.

“Maka ketika terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada akhir tahun 1950, menjadi suatu kenyataan dan persoalan rumit karena begitu semrawutnya keadaan peradilan, baik badan-badan yang melakukan peradilan maupun peraturan perundang-undangannya, atau seperti dapat dibaca dalam penjelasan Undang-Undang Darurat No 1 tahun 1951 yang bermaksud mengadakan penertiban dan penataan untuk mencapai kesatuan (unifikasi). Hal ini tercermin dalam penjelasan UU Drt 1/1951: …. Pada saat pemulihan kedaulatan Kepada Republik Indonesia Serikat keadaan dalam lingkungan pengadilan yang dahulu dinamakan”Gouvernements-rechtspraak” telah menjadi begitu ruwet, sehingga hanya beberapa penduduk Indonesia saja mengetahui bagaimanakah susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan regional tersebut.”

Alasan yang sama juga berlaku bagi pengadilan adat. Masih dari buku yang sama, di dalam penjelasan juga disebutkan bahwa:

“Pengadilan-pengadilan adat, yang berdasar staatsblad 1932 No 80 setelah diubah oleh Stbl 1938 No. 264 dan 370, dan atas pasal-pasal 1 dan 12 Reglemen Kalimantan Timur Besar, 1 Reglemen Pengadilan Indonesia Timur, 2 Voorlopig Rechtreglement, 2 Voorlopige Regeling Rechtswezen, 1 dan 2 Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 1 tahun 1950 Juncto Undang-Undang No. 8 tahun 1950 dan pasal 101, 102 dan 142 Undang-Undang Dasar Sementara, selain dari tidak mencukupi syarat-syarat yang Undang-undang Dasar Sementara menuntut dari suatu alat perlengkapan pengadilan, juga tidak diingini lagi oleh seluruh rakyat yang bersangkutan yang berulang-ulang telah mohon penghapusannya.”

Klaim politik hukum ini sejatinya telah menegasikan pengakuan terhadap peradilan adat dan mengorbankan hukum adat. Alih-alih menyadari dan mempertimbangkan ulang politik hukum yang ada, justru politik unifikasi hukum dan kelembagaan peradilan itulah yang terus dikukuhi hingga kini.

Berupaya mengurai benang kusut ini, Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah kepemimpinan Mahfud MD memang telah melakukan upaya-upaya di bawah wewenang independennya. Peradilan adat telah ditempatkan sebagai salah satu dari 6 (enam) syarat bagi keberadaan suatu masyarakat hukum adat (Mahkamah Konstitusi RI, Risalah Sidang Perkara No. 55/PUU/VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945, 2011 : 5).

Dalam diskusi panel yang sama, peneliti Epistema Institute dan Pengajar Ilmu Hukum di President University, Jakarta, Yance Arizona, mengatakan bahwa sebetulnya ada upaya untuk tidak menganggap konstitusi sebagai sesuatu yang statis. Menurutnya, Mahkamah Konstitusi bisa terbuka.

“MK pernah menafsirkan bahwa di Kabupaten Yaukimo, Papua, dilakukanlah pemilihan umum tidak secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Tapi melakukan mekanisme noken,” ujar Yance.

Terobosan-terobosan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi ini senapas dengan konsep hukum progresif yang dinyatakan Mahfud MD, sebagaimana dilansir oleh majalah Advokat Indonesia News edisi I – Maret 2012.

“Hukum progresif adalah suatu cara penegakan hukum dimana penegakannya tidak terikat pada bunyi undang-undang semata, melainkan berpedoman pada penegakan keadilan. Bukan pasal undang-undang yang mengikat hakim, melainkan pasal kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu hakim harus peka terhadap denyut kehidupan masyarakat,” kata Mahfud seperti dilaporkan majalah tersebut.

Dalam wawancara tersebut, Mahfud menyertakan dua asumsi yang menyertai hukum progresif sehingga hukum progresif perlu diterapkan. Pertama, hukum adalah produk politik sehingga bisa saja hukum itu memuat kepentingan politik daripada kepentingan keadilan. Kedua, hukum adalah produk situasi. Artinya hukum itu dibuat karena tuntutan situasi tertentu yang menghendaki ada hukum A, maka jadilah hukum A.

“Pasal-pasal yang mengikat hakim itu sebenarnya bukan pasal undang-undang melainkan pasal kehidupan masyarakat. Hukum bekerja untuk menegakkan keadilan bukan terpasung pasal-pasal dalam undang-undang. Undang-Undang Dasar mengatakan bahwa kita bukan untuk menegakkan hukum tetapi menegakkan keadilan,” ujar Mahfud.

Mahfud kemudian menjelaskan bahwa keadilan sesungguhnya berada di antara pertemuan akal sehat publik dengan pasal undang-undang dan putusan hakim.

“Hukum progresif adalah hukum yang bersukmakan keadilan. Kalau keadilan itu bisa ditemukan di dalam undang-undang, maka tegakkan undang-undang itu. Tapi kalau keadilan itu tidak bisa ditemukan dalam undang-undang, maka hakim membuat sendiri hukumnya dengan adil,” ujar Mahfud.

Ada pula beberapa pihak yang memandang politik unifikasi hukum dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman ini telah bergeser dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut Undang-Undang Otonomi Khusus Papua) juncto Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua kemudian diderivasi melalui Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat di Papua. Pasal 50 dan Pasal 51 Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menegaskan tentang pengakuan Peradilan Adat di lingkungan Masyarakat Adat Papua.

Komisi Hukum Nasional dalam Laporan Penelitian 2010 menyebutkan bahwa konstruksi politik hukum tentang pengakuan terhadap peradilan adat dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua itu sendiri sesungguhnya mengandung problema dan inkonsistensi. Putusan peradilan adat tidak bersifat final, karena jika ada pihak yang berkeberatan terhadap putusan peradilan tersebut, maka dia berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan.

Politik hukum terhadap pengakuan terhadap peradilan adat dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dalam pengaturannya mengandung kontradiksi secara internal. Pada satu sisi, Undang-Undang Otonomi Khusus Papua pada Penjelasan Pasal 52 Ayat (2) mengatakan bahwa “pengadilan adat bukan badan peradilan negara, melainkan lembaga peradilan masyarakat”. Tapi di sisi lain, ternyata putusannya dapat dimajukan ke pemeriksaan dan pengadilan ulang (upaya hukum banding) ke pengadilan negara, yang tentu juga akan menggunakan logika hukum negara dalam menyelesaikannya.

Dari kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa sekalipun Undang-Undang Otonomi Khusus Papua memberi pengakuan terhadap eksistensi peradilan adat. Hanya saja, terasa bahwa pengakuan itu masih setengah hati dan tidak memberikan kedudukan yang otonom bagi peradilan adat dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Sulitnya implementasi pengakuan akan hukum adat sebagai sendi utama hukum nasional ini mengingatkan Rikardo Simarmata, peneliti kajian hukum adat yang juga bertindak sebagai penanggap diskusi ini, pada suasana di awal berdirinya negara ini.

“Pengakuan keberagaman pada masa itu kongkritnya apa? Jelas kongkritnya adalah mereka mempraktekkan sistem pengaturan sendiri. Tapi cara berpikir ini sudah lama digugat oleh para kaum nasionalis termasuk Sutan Takdir Alisjahbana. Mereka beranggapan bahwa dengan begini Indonesia dianggap akan susah menciptakan hukum yang menyediakan kepastian.”

Rikardo kemudian mengutip pernyataan salah satu pejabat Hindia Belanda yang waktu itu menyangsikan lahirnya negara baru bernama Indonesia.

“Keberagaman? Silakan kalau Anda bisa pertahankan. Tapi di atas segalanya, sebagai sebuah negara, Anda akan membutuhkan kepastian,” demikian ujar pejabat kulit putih itu.

Akan tetapi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk, mengatakan bahwa Indonesia bagaimanapun adalah negara yang majemuk.

“Saya berpandangan bagi Indonesia tidak mungkin diciptakan atau disusun satu ilmu hukum Indonesia yang uniform karena alasan sejarah, pluralisme masyarakat Indonesia dan Indonesia bagian dari masyarakat global,” ujar Erman dalam makalah yang ditulisnya pada Dies Natalis Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, Jawa Barat, ke-37, 2 April 2005.

Ken Miryam Vivekananda Fadlil Ken Miryam Vivekananda Fadlil adalah mantan pengajar di Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Kebudayaan Universitas Indonesia. Kini, pemerhati kearifan lokal untuk pendidikan anak usia dini ini menjadi staf redaksi LenteraTimur.com di Jakarta sekaligus ketua divisi pendidikan Perkumpulan Lentera Timur.

Comments with Facebook

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *