Home Bernala “Serambi Madinah” yang Tak Lagi Ramah

“Serambi Madinah” yang Tak Lagi Ramah

0
Donald Qomaidiansyah Tungkagi.

‘Pendatang’ adalah mereka yang berasal dari suatu wilayah dan mendatangi wilayah lain. Pengertian ini tak melulu dibatasi pada relasi antarwarga negara, tetapi juga dapat terjadi pada antarwilayah di satu negara. Pada wilayah lain tersebut, ia akan berjumpa dengan pribumi yang memiliki narasi dan atribut sosio-kultur yang berbeda. Dan di Gorontalo, perjumpaan kedua belah pihak sempat memunculkan situasi tak harmonis.

Pada pertengahan September lalu, media Gorontaloonline.info melansir sebuah berita berjudul “Adhan Kucilkan Pendatang”. Adhan Dambea, Wali Kota Gorontalo, kala itu sedang memimpin langsung razia di tempat-tempat kos. Razia menjaring puluhan pria dan wanita yang berkumpul di sebuah kamar dan tak memiliki Kartu Tanda Penduduk.

“Saya beberapa hari lalu melakukan razia dan terdapat puluhan wanita dan pria berada di dalam kos dan tidak mempunyai KTP, khususnya orang Kotamobagu lebih baik diusir dari Gorontalo karena hanya merusak warga masyarakat Gorontalo,” demikian ucap Adhan sebagaimana dilaporkan Gorontaloonline.info, Selasa (18/9).

Di beberapa wilayah, ketegangan memang terjadi antara pribumi dan pendatang. Di Pulau Buru, Maluku, misalnya, ada pengusiran terhadap pendatang yang berusaha mendulang emas di wilayah tersebut pada awal 2012. Terjadi pula pengusiran terhadap 160 keluarga transmigran Jawa dari Kutai Timur, Kalimantan Timur pada pertengahan 2011. Hal serupa juga terjadi di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Sementara itu, terjadi ancaman pengusiran terhadap empat ribu transmigran asal Jawa dari Sungai Deras, Teluk Pakedai, Kubu Raya, Kalimantan Barat, serta pemulangan puluhan transmigran asal Jawa dari Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Sejumlah kasus yang melibatkan pribumi dan pendatang juga terjadi di banyak negara, seperti Inggris, Australia, Malaysia, Arab Saudi, atau Burma.

Memang tidak ada salahnya jika seorang pemimpin melakukan sebuah tindakan yang bertujuan untuk melindungi rakyatnya dari segala hal yang merusak. Namun, mengatakan suatu hal yang dapat menyinggung orang lain, apalagi sudah menyentuh ranah entitas wilayah, itu sangat tidak dibenarkan. Apalagi yang melakukannya adalah seorang pemimpin yang menjadi panutan rakyat.

Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Adhan Dambea merupakan sebuah falasi, kesalahan berpikir. Lebih tepatnya adalah falacy of dramatic instence. Menurut Jalaluddin Rahmat dalam bukunya berjudul Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, disebutkan orang yang melakukan falacy of dramatic instence seperti ini biasanya menggunakan satu atau dua kasus untuk menggambarkan kondisi secara umum (over-generalization). Padahal, setiap masalah, meskipun memiliki kesamaan tipe, pastilah berbeda secara kondisional.

Dasar kesalahan berpikir yang dilakukan Adhan tersebut tampak dari pengambilan kesimpulannya. Karena yang terkena razia orang Kotamobagu, lantas menganggap secara umum bahwa orang Kotamobagu semuanya seperti itu, sehingga timbul pernyataan untuk mengusir orang Kotamobagu dari Gorontalo karena hanya merusak masyarakat Gorontalo.

Padahal, jika dilihat dari mereka yang terjaring tak memiliki Kartu Tanda Penduduk itu, maka belum bisa dipastikan apakah itu orang Kotamobagu atau hanya mengaku sebagai orang Kotamobagu. Dilihat dari kalimat yang dikeluarkan Adhan, ada nada tidak suka pada kaum pendatang, yang dikhususkan terhadap orang Kotamobagu. Bagi saya, Adhan Dambea seperti bermain api. Ini jelas sebuah kesalahan fatal dan tidak bijak.

Sebagai Wali Kota Gorontalo, pernyataan Adhan Dambea dapat dianggap sebagai perwakilan atau representasi sikap masyarakat Kota Gorontalo. Dan ini berdampak tidak baik terhadap hubungan masyarakat Gorontalo dengan masyarakat pendatang. Kita tentu tidak ingin jika hal yang sama dilakukan orang lain terhadap masyarakat Gorontalo di perantauan.

Di Kota Kotamobagu sendiri, misalnya, terdapat ribuan orang Gorontalo yang bermukim di sana. Beberapa waktu yang lalu, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie pun sempat berkunjung ke Kota Kotamobagu untuk mempererat kerjasama di antara kedua negeri. Dan bukan hal mustahil bahwa kerjasama yang telah dibangun ini akan terhambat dengan pernyataan-pernyataan seperti yang diungkapkan oleh Adhan Dambea tersebut.

Sejak adanya berita ini, sebagai respon sekaligus mendukung program pemerintah Kota Gorontalo, beberapa organisasi mahasiswa se-Bolaang Mongondow Raya di Gorontalo, yang tergabung dalam Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow (KPMIBM), mencoba untuk melacak siapa yang terkena razia tersebut. Sebab, ada ribuan pelajar dan mahasiswa Bolaang Mongondow yang sedang studi di Kota Gorontalo, yang dihebohkan oleh pernyataan Adhan Dambea tersebut.

Akan tetapi, sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa mereka yang terkena razia tersebut bukanlah pelajar atau mahasiswa. Sebab, jika pelajar atau mahasiswa tentulah memiliki Kartu Tanda Penduduk, minimal kartu tanda mahasiswa.

Dalam hemat saya, perbuatan seseorang atau kelompok tertentu sangat tidak bijaksana jika lansung dikaitkan dengan identitas daerahnya. Pemberian label atas suatu daerah sama saja dengan merusak citra daerah itu sendiri. Apalagi sampai mengeluarkan pernyataan pengusiran, yang bisa dikatakan sebagai sebuah sinyal permusuhan. Wali Kota Gorontalo tidak seharusnya bersikap seperti itu.

Jika kedapatan seseorang itu melanggar hukum, moral, atau norma dan adat, akan lebih bijak jika yang bersangkutan diadili sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat kita. Sudah menjadi sebuah keharusan bagi seorang pemimpin untuk selalu menjaga kedamaian di wilayah yang dipimpinnya. Sebagaimana kita ketahui, hubungan yang terjalin antara masyarakat Gorontalo dengan pendatang bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan), dan hal ini sudah terjalin lama, sejak puluhan hingga ratusan tahun silam.

Kota Gorontalo sendiri mempunyai julukan sebagai “Serambi Madinah”. Dan kalau kita tengok ke belakang, di zaman Nabi Muhammad, Kota Madinah identik dengan pluralitas. Selain penduduk asli, Madinah dihuni oleh macam-macam entitas dengan jaminan dan perlindungan hidup yang setara. Karena itu, Kota Gorontalo selayaknya tampil dengan wajah lebih ramah, sebagaimana Madinah yang mampu menjadi pemimpin dan pelindung bagi pendatang.

Donald Qomaidiansyah Tungkagi Saat ini Donald Qomaidiansyah Tungkagi beraktivitas sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Gorontalo. Dia juga aktif sebagai Koordinator Komunitas Mahasiswa Peduli Intau Totabuan (KoMPIT) di Gorontalo.

Comments with Facebook

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *