
Sebuah manekin, aku lihat ia hari ini di etalase toko tua. Padanya, sebuah gaun yang menarik perhatian beberapa gadis remaja yang lewat, dipajang. Meskipun lebih banyak orang yang lewat di sana tanpa sedikit pun tertarik memandang manekin itu, nampak seseorang memandang dari luar, beberapa langkah di depanku. Terpanah dia pada manekin itu. Atau pada gaunnya? Oi, dia segera masuk ke toko. Tepat waktu dan tepat situasi sekali dia. Ditunjuk-tunjuknya manekin itu. Kemudian, dia bicara dengan penjaga toko.
“Aku ingin gaun ini.”
“Maaf, Mbak. Tapi, ini gaun tua, hanya tinggal ini saja. Tak ada yang lain. Kelalaian kami masih memajangnya, seakan hendak dijual. Gaun ini harusnya tak kami jual. Saking tuanya, ia tak baik untuk dijual. Seperti membawa sial, seperti mengingatkan pada masa lalu yang penuh bahagia.”
“Berapa pun akan kubayar untuk ini.”
Sedikit debat antara penjaga toko, calon pembeli, dan pemilik toko. Penjaga toko berkaos oblong lusuh bertuliskan “Combien tu m’aimes?” dengan wajah tanpa bedak dan sedikit kantuk di ujung matanya akhirnya melepaskan gaun itu dari tubuh manekin.
Manekin itu telanjang kini. Buah dadanya tanpa puting, perut ratanya tanpa pusar. Manekin itu terus dibiarkan telanjang. Ah, apakah mimesis tak sempurna harus dipamerkan begitu rupa?
Penjaga toko membungkus gaun itu lalu menyerahkannya pada gadis itu. Si gadis melangkah penuh semangat ke kasir—si pemilik toko, lelaki tua dengan kaca mata tua—yang tak kalah lusuh dari si penjaga toko dan kantuk lebih banyak bergelayut di matanya. Dia membayar, lantas beranjak ke luar. Dia pun menaiki taksi berwarna biru dan meluncur menjauh dari situ.
Penjaga toko kembali duduk di bangku tinggi tanpa senderannya seraya membaca novel Freddy S yang dibelinya di depan toko pada seorang penjaja buku bekas. Orang di balik kasir kembali pada kegiatannya sebelumnya: mengisi teka-teki silang. Televisi di sudut kiri toko memberitakan masalah kriminalitas dan angin kencang yang tengah melanda Jakarta.
Manekin itu kulihat lagi. Tak ada yang menutupi tubuhnya kini. Pipinya merona merah, matanya berpaling dari pandanganku. Ketika berpaling dariku, ia malah bersitatap dengan seorang pedagang rokok yang tak sengaja menoleh ke dalam—posisi si manekin tak memungkinkannya untuk memandang ke satu arah tanpa bersitatap dengan pandangan lain. Ia memalingkan mata lagi, berpapasan ia dengan manekin lain dengan kemeja lengan panjang linen menutupi tubuhnya. Mata manekin berkemeja menjelma lubang hitam dengan daya pengisap luar biasa; tak ada benda mana pun bisa selamat dari isapannya.
Manekin telanjang takut diaduk malu. Selama ini, kebanggaannya adalah pakaian itu. Ia tak mau ada yang tahu bahwa payudaranya yang montok itu tak berputing dan perutnya yang rata itu tak berpusar. Maka, ketika gaun itu dilepas dari tubuhnya, ia bukannya bangga. Kebanyakan manekin memang bangga ketika dibukanya baju yang mereka kenakan. Bukan karena mereka punya puting dan punya pusar, namun karena mereka memang tak pernah mau tahu bahwa mereka tak punya puting dan tak punya pusar. Lepas dari itu, pakaian dilepaskan dari tubuh mereka mewartakan bahwa pose dan berdiri mereka tak sia-sia. Mereka berhasil.
Ia berbeda. Ia pernah melihat manekin yang berputing dan berpusar. Dan terkadang sedikit pengetahuan memang dapat membuatmu sakit hati. Sedikit pengetahuan seakan menjadi cermin yang menunjukan bahwa dirimu tak sempurna, tak terlalu berarti. Sedikit pengetahuan adalah masa depan menyedihkan yang secara paksa dibocorkan padamu.
***
Tak ada yang bisa didengarnya di malam sepi itu. Untunglah, matanya adalah mata seekor kucing. Itu kejadian di sebuah malam purba ketika Manekin Kita ini baru saja keluar dari pabrik dan ditempatkan di sebuah pusat perbelanjaan. Belasan meter di depan pusat perbelanjaan itu ada warung tenda yang menyediakan pecel ayam dan pecel lele. Kala itu, penunjuk waktu digital tertentu hanya menampilkan angka nol.
Seekor kucing jantan tua, bulunya berbaret-baret, lari terbirit-birit ke arah pusat perbelanjaan lantaran dicaci-maki dan hendak dibunuh oleh pedagang pecel ayam dan lele. Kucing itu mencuri dua ekor lele. Entah bagaimana caranya, atau entah sudut pusat perbelanjaan yang mana belum tertutup dengan baik, hingga kucing itu berhasil masuk ke dalam. Ia berjalan gontai menggenggam dua butir matanya.
“Hei, kenapa dengan matamu?” Manekin Kita bertanya padanya.
“Ah. Untuk masuk ke tempat yang tak mungkin dimasuki dengan mata terbuka, aku harus membutakan mataku. Ini, ambillah.”
Kucing tua itu melemparkan begitu saja matanya ke arah sumber suara dan berlalu dari sana. Berkelontang, kedua mata itu meluncur ke arah kaki Manekin Kita.
Begitulah. Manekin Kita pun menyimpan kedua butir mata kucing itu. Ketika kebakaran kecil menimpa pusat perbelanjaan dan menyebabkan mata Manekin Kita rusak—untungnya ia hanya kerusakan mata saja, beberapa manekin lain sampai tak bisa dikenali lagi wajahnya—ia menggantinya dengan mata kucing itu. Namun, mata kucing yang kembali membuatnya punya mata tak menyelamatkannya dari dipindahkan ke toko pakaian tua di pinggir kota, tempat dimana cerita ini terjadi.
***
Ia hanya melihat saja tanpa mendengar apa-apa malam itu. Kakek pemilik toko dan penjaga toko sedang membereskan toko. Mereka bergerak diam, nyaris tanpa suara. Dari arah yang berjauhan, mereka berdansa tanpa suara, mendekat dan semakin mendekat. Di tengah ruangan, di antara dua jejeran pakaian perempuan dan laki-laki, mereka lantas begitu saja bercinta. Tanpa suara, hanya gerak terlihat. Secercah cahaya bulan (atau lampu jalan, Manekin Kita tak yakin pasti) mengintip melalui ventilasi yang menganga. Ada bukit kecil di atas bukit milik si perempuan penjaga toko. Ada pula lubang di perutnya.
Manekin Kita meraba-raba dadanya. Ah, tak ada benda kecil yang menyembul di puncak bukit kembarnya. Ia sadar, ada yang kurang dari dirinya. Namun, ia pun sadar kini ada yang tumbuh dalam dirinya. Di satu sisi, kini ia tahu bahwa si penjaga toko adalah manekin juga. Di sisi lain pengetahuannya itu membuatnya paham, dia adalah manekin yang tak punya puting di dada.
Maka siang itu ketika dilihatnya beberapa pasang mata memandang tubuh tanpa bajunya, ia malu, sebuah malu yang absolut, sebuah malu yang jauh dari makna malu itu sendiri, lebih besar, lebih kompleks, lebih memusingkan. Tatapan mata mereka sama seperti tatapan mata si kakek tua ketika melihat puting penjaga toko yang membesar.
Mata-mata itu semakin banyak, semakin sering, semakin mematikan. Macam ingin menelanjanginya, ingin memakan segala isi tubuhnya. Tak tahan, Manekin Kita perlahan-lahan turun dari tempat ia berdiri dan berjalan ke arah pintu. Penjaga toko asik dengan novel Freddy S-nya dan si kakek tua sibuk dengan teka-teki silangnya; televisi kini mengiklankan sebuah produk shampoo. Manekin Kita turun perlahan-lahan, menyelusup dan keluar lewat pintu depan.
Ia berpapasan denganku. Dilihatnya mataku terbakar menatap tubuhnya. Ia memalingkan muka, berlari. Terus berlari ia. Ditabraknya lapak dagangan penjual aksesoris anak muda. Sebuah rantai tak sengaja melingkar di pergelangan kakinya yang jenjang. Ia terus berlari. Orang-orang memandangnya heran. Lelaki melihatnya dengan nanar, perempuan melihatnya dengan tak suka.
Ia terus berlari. Ditabraknya buku-buku yang ada di sana. Seorang perempuan memakinya.
“Gila lu.”
Ditatapnya si perempuan itu dengan tajam, si perempuan melengos dan bersembunyi di balik ketiak suaminya. Suaminya tak cekatan mengepit perempuan itu. Ia sibuk melihat manekin telanjang kita yang berlari.
Seorang asisten penjual daging sapi berumur 14 tahun berlari cepat-cepat ke toilet umum dan beronani di sana. Seorang satpam membiarkan dompetnya diangkut pencopet ketika aroma kulit berdebu Manekin Kita lewat tiga puluh sentimeter di depannya.
Aku serta merta berlari mengejarnya. Kusambar sarung yang dipajang di toko penjual pakaian. Kukejar dia. Namun, ia berlari semakin cepat. Aku terus mengejarnya. Semakin cepat kukejar, semakin cepat ia berlari. Semakin cepat ia berlari, semakin cepat kukejar.
***
Ah, akhirnya kudapatkan juga gaun ini.
Gaun itu lantas dengan hati-hati diletakannya di tempat tidurnya.
Hm, ini sungguh mirip dengan gaun yang dipakai ibu pada malam kematiannya. Sudah lama kucari gaun seperti itu, gaun yang mampu merangsang ingatan menuju kenangan tentang ibu.
Semenjak kematian ibunya, ia tak mendapatkan satu benda pun yang mampu mendekatkan ingatannya pada sang ibu. Dia yakin, kematian ibu telah membuat ayahnya gila. Setelah seminggu penuh ayah mengurung diri di kamar dan tak beraktivitas apa-apa, di hari ke delapan ayah bangun, mandi, membersihkan diri lantas mengumpulkan semua barang yang menurutnya bisa mengingatkannya pada ibu.
Bukan hanya pakaian ibu. Pakaian ayahnya sendiri, pakaiannya pun hari itu menghilang dari rumah. Semua dikumpulkan ayahnya dan diberikan pada pemulung. Foto-foto tak ayal memenuhi tempat sampah. Hardisk komputer di ruang kerja ayahnya diformat ulang pula. Seminggu kemudian, komputer itu pun lenyap diganti dengan komputer baru. Untunglah, ayahnya sampai tak membuang semua buku di lemari itu.
“Ibumu jarang mau membaca buku. Ia lebih suka menonton film atau mendengarkan Ella Fitzgerald.”
Maka, segepok film pun menuruti jejak foto-foto, masuk ke tempat sampah.
Selanjutnya, setelah semua benda yang bisa membawa kepala ayahnya dan dia—menurut ayahnya—kembali pada kenangan ibu mereka, ayahnya kembali masuk kerja dan kehidupan mereka kembali berjalan seperti biasanya meski pun kini tanpa ibu. Pagi hari ayahnya pergi bekerja dan ia pergi ke sekolah. Di sore hari mereka kembali ke rumah.Terkadang bersama-sama, entah berjanji bertemu di mana, terkadang sendiri-sendiri.
Pernah sekali ia coba menyinggung bahwa biasanya mama menunggu ‘di sini’. Jika tidak, pasti ibu menunggu ‘di situ’. Tetapi ayahnya seakan tak mendengar.
Malam itu ibunya meninggal dengan gaun persis seperti yang dibelinya sekarang. Ia bertekad akan menyimpan gaun itu sebisanya dan tak dilihat ayahnya. Atau—dan ini pikiran yang terlintas tiba-tiba di kepalanya—ia akan coba secara tanpa sengaja yang disengaja menunjukkan gaun itu pada ayahnya. Apakah ayahnya masih menyimpan kenangan yang sama tentang ibunya? Atau, jangan-jangan tahun-tahun yang telah berlalu tanpa kenangan akan ibu sudah menghapus sama sekali ibu dari benaknya
***
Manekin Kita melintasi jembatan penyeberangan. Di bawah jembatan, lalulintas Jakarta berlaku seperti biasa. Terkadang macet dan kendaraan lambat-lambat berjalan. Lantas macet yang terkadang itu menghilang dan diganti lengang yang sekejap saja. Kendaraan pun melaju terburu-buru, takut bersitatap dengan macet.
Di ujung jembatan penyeberangan ada sepuluh atau dua puluhan tukang ojek yang mengantri giliran untuk mengangkut penumpang. Bosan, kantuk, lapar, main gaplek, sms, baca koran kelas tiga, atau hanya bengong saja.
Manekin Kita terlihat oleh mereka; bagaimana pun juga kebutuhan akan sepuluh ribu atau dua puluh ribu sudah membuat telinga dan mata mereka awas akan bebunyi manusia yang berjalan di jembatan penyeberangan itu. Mereka melihat Manekin Kita yang telanjang tanpa puting dan pusar. Seketika, mata mereka menjelma beribu anak panah, menerjang udara, memburu tubuh Manekin Kita.
Ia melompat. Secara tiba-tiba dan spontan. Bertumpu pada kedua tangan yang memegang pagar pemebatas jembatan, ringan tubuhnya melayang, meloncat ke bawah. Ia bagaikan terbang, melayang indah seperti burung elang menyambar tikus sawah yang belum sempat berlari masuk ke rerindang sawah sebelum panen.
Aku terpaku, tentu terlalu pintar untuk ikut meloncat. Kulongokkan kepalaku ke bawah. Manekin Kita pecah berantakan, sebuah bus kota tua menggilas pecahan tubuhnya menjadi serpihan.
“Oi Bang. Ojek-ojek?”
Comments with Facebook