Home Featured 100 Tahun Istana Lima Laras

100 Tahun Istana Lima Laras

7
Istana Lima Laras. Foto-foto: www.bappeda.batubarakab.go.id

 

Istana itu sudah tua. Pada 2012, ia tepat berusia 100 tahun (1912-2012). Meski sudah seabad, ia tak begitu masyhur dibandingkan istana-istana peninggalan kesultanan/kerajaan Melayu di Sumatera Timur/Utara, khususnya Istana Maimun di Medan. Jangankan orang luar, mereka yang berasal dari wilayah setempat belum tentu tahu perihal istana ini. Sebab, pada umumnya mereka menyebutnya dengan sebutan ‘rumah datuk’ atau ‘rumah raja’. Ya, tak banyak yang tahu bahwa bangunan ini bernama ‘Istana Lima Laras’.

Lima Laras kini hanya menjadi nama dari sebuah desa yang terletak di Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Batu Bara sendiri kini lebih dikenal sebagai pengekspor aluminium yang dieksplorasi oleh Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara, PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Di negeri yang sudah ada sejak 1720 M ini, berdiam lima suku atau klan, yakni Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Lima Puluh, dan Bogak yang dipimpin oleh seorang datuk [semacam kepala suku yang kedudukannya di bawah sultan atau raja]. Dahulu kala, Batu Bara adalah bagian dari Kerajaan Siak dan Johor.

Pendatang yang banyak berada di Batu Bara adalah mereka yang beretnis Jawa, yang pada 2010, seperti dilansir oleh koran Medan Bisnis (28/12/2010), mencapai 43 persen dari jumlah penduduk Batu Bara yang berjumlah sekitar 370 ribu jiwa. Mereka, yang kini mengorganisir diri menjadi Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera), merupakan keturunan dari kaum yang dikenal sebagai ‘Jawa Kontrak’ yang dibawa dan bekerja untuk pengusaha perkebunan Belanda pada akhir abad 19 dan awal abad 20.

Di tempat inilah Istana Lima Laras didirikan oleh Datuk Muhammad Yuda, yang biasa dikenal sebagai Datuk Matyoeda Sridiraja, raja dari Kerajaan Lima Laras XII. Secara garis keturunan, Datuk Matyoeda Sridiraja adalah anak dari Datuk Haji Djafar Raja Sri Indra. Datuk Matyoeda memiliki cucu yang bernama Datuk Muhammad Azminsyah, 72 tahun, yang sampai sekarang masih hidup dan menjadi “penjaga” sekaligus Pemangku Adat Melayu Istana Lima Laras. Azminsyah masih menyimpan sebagian kecil harta benda peninggalan Kerajaan Lima Laras, seperti tempayan ukiran naga, barang pecah belah, pedang, dan tombak. Dari Azminsyah-lah orang bisa mendapatkan informasi seputar Istana Lima Laras. Sebab, sumber informasi literatur yang khusus membahas dan mengupas Istana Lima Laras dan Kerajaan Lima Laras boleh dikata sangat sedikit.

Di zamannya, bangunan yang didirikan oleh Datuk Matyoeda Sridiraja ini disebut ‘Istana Niat Lima Laras’. Nama ini lebih didasarkan pada sebuah niat, itikad, dan nazar dari Datuk Matyoeda Sridiraja manakala perniagaannya “selamat” sekembalinya dari Malaka (Penang) menuju Asahan, tepatnya Batu Bara. Perniagaan Datuk Matyoeda adalah berupa kopra, damar, dan rotan. Hasil alam ini dibawa dengan kapal besar sampai ke Malaka, Singapura, Thailand.

Perniagaan yang “selamat” di sini maksudnya adalah lolos dari ancaman Perserikatan Dagang Kerajaan Belanda untuk Hindia Timur (Vereenigde Oost Indische Compagnie, VOC). Pada masa itu, terjadi rivalitas perdagangan antara VOC dan Kerajaan Lima Laras. Pemerintah negara Kerajaan Belanda secara terang-terangan mengeluarkan maklumat agar Kerajaan Lima Laras menghentikan seluruh perniagaannya.

Karena niat dan nazarnya terpenuhi, maka didirikanlah Istana Lima Laras, yang pengerjaannya dimulai pada 1907 dan selesai pada 1912. Istana ini memiliki empat koridor utama yang masing-masing mengarah ke utara, timur, selatan, dan barat. Pada masanya, menurut Datuk Muhammad Azminsya, istana menghadap langsung ke jalur sungai/laut; dimana laut ketika itu adalah ruang strategis untuk melakukan perniagaan, atau penyerangan dan pertahanan.

Pembangunan istana yang memiliki 28 pintu dan 66 jendela ini diperoleh dari hasil perniagaan sebesar 150 ribu gulden dengan tenaga yang diambil dari negeri Tiongkok.

Akses Menuju Istana Lima Laras
Istana Lima Laras terletak di perkampungan nelayan. Dahulu, tempat ini sangat ramai disinggahi oleh kapal-kapal perniagaan. Hanya saja, kini semua berbeda. Sekarang tempat ini, Pelabuhan Lima Laras, tampak seperti perkampungan nelayan biasa dengan kapal-kapal motor berukuran kecil. Sementara, dermaga Batu Bara masih ramai dan merupakan jalur terbuka bagi pelayaran dari dan menuju Port Klang, Malaysia.

Ada sejumlah cara untuk mencapai Istana Lima Laras. Dari Kota Medan, misalnya, jika menggunakan kendaraan pribadi, jalan darat dapat disusuri menuju Kota Lima Puluh, lalu ke Pelabuhan Ruku, kemudian ke Sungai Bejangkar, Batu Bara, dan Tanjung Tiram. Jarak tempuh yang dihabiskan, antara Medan – Tanjung Tiram, adalah sekitar 136 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar empat jam.

Sementara kalau dari Percut Sei Tuan, Deli Serdang, jalan pesisir pantai bisa menjadi jalur alternatif. Perjalanan dapat dimulai dari Percut, Pantai Labu, Pantai Cermin, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin, Kuala Tanjung, dan berujung di Tanjung Tiram.

Jika hendak menggunakan kendaraan umum dari Terminal Amplas di Medan , maka perjalanan bisa dilakukan dengan bus jurusan Sartika-Tanjung Tiram. Kalau dari Kisaran, bisa menggunakan angkutan Merpati Tour jurusan Sei Bejangkar Batu Bara. Sampai di Lima Laras, ongkosnya adalah Rp. 25 ribu. Perjalanan kemudian bisa dilanjutkan dengan RBT (Rakyat Banting Tulang, atau ojek), atau becak, dengan ongkos Rp. 10 ribu. Dari sini Istana Lima Laras terlihat di tepi jalan. Lokasinya persis di depan Masjid Al-Mukarram.

Selain itu, Istana Lima Laras juga bisa dicapai dengan menggunakan kereta api. Dengan kereta api ekonomi Lancang Kuning jurusan Medan-Tanjung Balai, Sei Bejangkar menjadi stasiun terakhir menuju Desa Lima Laras. Ongkosnya hanya Rp. 14.000. Dari Sei Bejangkar, perjalanan dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Desa Lima Laras.

Istana Lima Laras Kini
Istana Lima Laras berdiri di atas tanah seluas 102 x 98 meter dan lebar dari ukuran istananya 40 x 35 meter persegi. Apabila kita sampai di depannya, maka akan terlihat sebuah plang dengan tulisan: “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara Istana Lima Laras.”

Sekalipun tampak kurang terawat, sisa-sisa keindahan Istana Lima Laras yang berlantai empat tersebut masih terlihat. Siapapun masih bisa melihat dekorasi yang didominasi oleh warna hijau, kuning, dengan motif ukiran yang lebih mirip kaligrafi.

Keistimewaan Istana Lima Laras, dan istana-istana kerajaan/kesultanan Melayu pada umumnya, terutama yang berbentuk rumah panggung, terletak pada bagian depannya yang mirip seperti anjungan sebuah kapal besar. Kubah dan atap bangunan serta jendela dan panjang kedua sisi istana adalah sama lebar. Begitu pula dengan pilar-pilar penyangga yang kesemuanya menyiratkan suatu simbol dan arti.

Pada pintu utama yang tampak renta dan kelabu, ia disangga dan ditopang oleh kayu agar bisa dibuka dan tak roboh. Sebagian dari sisi dinding Istana Lima Laras tampak kusam dan lapuk. Sebagian anak tangganya pun ada yang hilang. Jika kita menaiki dan menuruni anak tangga lalu menghitungnya, hitungannya tidak pernah sama.

Sebagaimana istana kerajaan/kesultanan Melayu di manapun di seluruh dunia, meriam pasti ada di depan istana. Tetapi Istana Lima Laras berbeda. Di sini, pada zamannya, meriam itu tidak digunakan untuk memukul musuh, tetapi untuk mengumpulkan rakyat apabila ada sabda, titah, dan perintah dari sang raja.

Kala memasuki bagian dalam istana yang berlantai empat ini, maka yang tampak ada kekosongan. Bahkan, kursi/singgasana/mihrab tempat duduk baginda raja juga sudah tidak ada. Di lantai satu, kondisinya menggunakan semen, sementara di lantai dua beralaskan kayu. Di dalam juga terdapat tangga unik yang menghubungkan tiap lantai. Tangga itu melingkar, berputar, dan kadang-kadang disebut tangga berpusing. Adapun jumlah anak tangganya adalah 27 buah.

Tidak berapa jauh dari istana, apabila tapuk mata dijuruskan sampai ke ufuk pandangan, terdapat peristirahatan dan pembaringan terakhir dari Datuk Matyoeda beserta keluarga dan keturunannya. Dan pada malam hari, lampu-lampu di Istana Lima Laras tetap menyala. Hal ini menandakan bahwa pihak keluarga kerajaan Lima Laras masih peduli dan berusaha bertahan sambil meyakini bahwa suatu hari nanti Istana Lima Laras kembali dikenal luas.

Terkadang terbayang bahwa Istana Lima Laras, yang dahulu terdapat banyak kijang dan rusa yang bermain-main di sekeliling bangunan, lebih ditata dengan lebih cantik, memiliki sarana jalan yang apik, serta dilengkapi dengan kebersihan jermal-jermal dan dermaga kecil tempat nelayan merapat. Tentunya burung-burung srigunting akan tanpa ragu terbang berputar, camar merendah mengincar ikan, dan suara desir air berkesiap merdu menerpa papan rumah nelayan.

Rumah-rumah nelayan di sekitar Istana Lima Laras pun semestinya bisa dijadikan tempat penginapan dan menjadi sumber penghasilan alternatif. Bayangkan pula efek domino jika terwujud suatu konsep wisata nelayan. Kegiatan memancing ikan, eksplorasi pesona sungai, laut, dan lain sebagainya tentu akan menjadi daya pikat tersendiri. Siapakah yang untung jika semua itu terjadi? Tentu saja semua elemen masyarakat, mulai dari masyarakat Batu Bara, pemerintahan, bahkan tak mungkin: seluruh dunia.

Setiadi R. Saleh Setiadi R. Saleh adalah penyair asal Langsa (Aceh Timur) dan kemudian menetap di Medan (Sumatera Utara). Usai menamatkan kuliah dan bekerja di Bandung (Jawa Barat), kini ia kembali berdomisili di Medan. Karya-karya sastra dan esainya dimuat di sejumlah media massa di Medan, Jakarta, dan Bandung.

Comments with Facebook

Comment(7)

  1. sya org batu bara, tp sya skolah di asahan, kbtulan skali sya dpat tgas tntang pninggalan sjrah, dan sya akan mngenalkan dan mmpersentasekan istana, tp sya trkendala biaya atw penginapan, krna g mngkin dr kisaran tg tiram plang prgi.
    Jika ad saudra sklian utk bs mmbntu sya, ini nm0r hp sya 081990538024 dan 082377180819.
    Mhon krja samanya

  2. Sungguh sedih melihat keadaan rumah datuk ini,begitu dlu waktu kcil sy menyebut nama istana ini,pemerintsh daerah n pusat tolong dong di perhatikan tu peninggalan sjarah yg mulai hancur syang dong

  3. saya sangat terharu pa bila saya lihat dan saya baca tentang sejarah rumah datuk lima laras,,
    tapi bagi saya mau bagi pemerintahan tolong diperhatikan supaya kita hilang prasejarah,,,

    1. Saya pernah tinggal di Batu Bara, mmg sangat lirih skali kondisi istana tsb.. Tak terawat,diskitar dipenuhi lalang dan semak belukar.. Semoga di masa mendatang, istana lima laras akan tersohor spt istana2 yg lain..

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *