Bara Borneo untuk Jakarta

Tak perlu ditanya lagi seperti apa wilayah Borneo/Kalimantan yang memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah itu. Pertambangan emas, batu bara, gas alam, hasil hutan, perkebunan, hingga kilang minyak, semua ada. Namun, seperti wilayah lain di Indonesia, hasil kekayaan alam itu tak dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat di sana.
Antrian kendaraan bermotor untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) sudah menjadi pemandangan yang umum. Masyarakat kesusahan karena minyak sering kali langka. Menjadi amat ironis karena Kalimantan justru wilayah penghasil energi. Kondisi yang sudah lama terjadi ini membuat pimpinan-pimpinan Kalimantan berang.
Belakangan, empat gubernur se-Kalimantan mengeluarkan ancaman kepada pemerintah Indonesia. Keempat gubernur itu, yakni Rudy Ariffin (Kalimantan Selatan), Agustin Teras Narang (Kalimantan Tengah), Awang Faroek Ishak (Kalimantan Timur), dan Christiady Sanjaya (Wakil Gubernur Kalimantan Barat), meminta penambahan kuota bahan bakar minyak di Kalimantan. Jatah yang sudah diberikan pemerintah Indonesia di Jakarta itu tak lagi mencukupi, dimana kuota bahan bakar minyak 2012 berkurang dibandingkan 2011.
Jika permintaan ini tidak diindahkan sampai batas waktu yang ditentukan, yakni 31 Mei 2012, maka Kalimantan akan melakukan embargo pengiriman hasil produksi batu bara ke Pulau Jawa, dan luar negeri.
Gubernur Kalimantan Selatan, Rudi Ariffin, seperti dilansir media di Jakarta, Metrotvnews.com, Senin (7/5), mengungkapkan bahwa mereka yang tergabung dalam Forum Gubernur se Kalimantan telah menyurati Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan juga Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat terkait kuota bahan bakar minyak di Kalimantan. Dalam klausul surat tersebut disepakati bahwa jika penambahan kouta tidak dikabulkan, Kalimantan yang selama ini merupakan penghasil tambang terbesar di Indonesia akan melakukan morotarium atau penghentian sementara produksi pertambangan.
“Sikap ini diambil mengingat pemerintah (pemerintah Indonesia) selama ini kurang adil terkait pembangunan di Kalimantan. Antrean panjang bahan bakar minyak sudah berlangsung lama dan bertambah parah. Belum lagi masalah krisis energi listrik serta minimnya pembangunan infrastruktur dan ekonomi di Kalimantan,” kata Rudy Ariffin dalam media yang sama.
Akan tetapi, Merah Johansyah Ismail, aktivis Jaring Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur menilai lain. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh empat gubernur se Kalimantan itu seharusnya lebih dalam lagi, dan tidak hanya sekedar menggertak. Sebab, ancaman kepada pemerintah Indonesia itu hanya dalam konteks kuota bahan bakar minyak. Kelangkaan itu niscaya terjadi karena kuota milik rakyat telah dipakai oleh industri pertambangan yang memang membutuhkan energi lebih banyak.
”Gubernur harus lebih berani lagi. Dalam konteks perusakan lingkungan, mereka harus lebih berani menutup tambang. Sebab ongkos kerusakan lingkungan lebih besar lagi,” kata Merah.
Kalimantan, kata Merah, memiliki problem yang sangat kompleks. Tidak sekedar pengurangan bahan bakar minyak, tetapi juga masalah pertambangan batu bara, minyak dan gas bumi, dan sosial kebudayaan. Apalagi, di seluruh Kalimantan, sebanyak 2500-an izin usaha pertambangan batu bara sudah dikantongi. Dan di Kalimantan Timur sendiri, izin usaha pertambangan batu bara sebanyak 1271.
Merah menambahkan bahwa akan lebih bagus lagi jika para gubernur tersebut sama-sama melakukan uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2002 Tentang Minyak dan Gas. Sebab, undang-undang migas itu telah melemahkan perlindungan konstitusi terhadap hak-hak warga.
Sainul Hermawan, dosen di Universitas Lambung Mangkurat, sebagaimana di tulis di media Banjarmasin, Banjarmasin Pos (Banjarmasin.tribunnews.com), mengatakan bahwa Indonesia menempati posisi tujuh besar dunia dalam hal penghasil batu bara. Pada 2010, ada 325 juta ton yang dihasilkan Indonesia, dimana 220 juta ton di antaranya diberikan oleh Kalimantan. Dari angka tersebut, sebanyak 60 juta ton digunakan di Jawa dan Sumatera.
Oleh karena itu, seperti halnya Merah, Sainul pun berharap bahwa tindakan ancaman yang dilakukan para pimpinan Kalimantan tidak sebatas meminta kuota bahan bakar minyak.
“Gertak itu perlu disusul dengan gertak lebih revolusioner, perlu memproklamasikan kemerdekaan untuk bebas dari cengkraman BBM, beralih pada pendayagunaan batu bara yang utama dan pertama-tama untuk kemakmuran Pulau Kalimantan sebelum sumber energi penting itu dikirim kemana-mana,” kata Sainul di media yang sama.
Jejak Ancaman
Sejarawan dari Sumatera Barat, Profesor Gusti Asnan, mengatakan bahwa ancaman yang dilakukan oleh para pimpinan Kalimantan itu mengingatkan kembali hubungan antara daerah dan negara pada periode 1950-an. Ketika itu, yang melakukan ancaman dan perlawanan adalah Sulawesi dan Sumatera, sementara Kalimantan relatif “damai”.
”Sekarang, Kalimantan berani melakukan ancaman. Karena sebagai pemimpin daerah, mereka (empat gubernur) memang tidak ada pilihan lain selain harus melawan,” kata Gusti Asnan, yang juga sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, kepada LenteraTimur.com.
Menurut Gusti, beban yang dirasakan oleh para gubernur se-Kalimantan itu memang terlalu berat. Wilayah yang kaya akan sumber daya alam ini nyatanya tidak memakmurkan masyarakatnya. Pun dengan infrastrukturnya yang tak terbangun. Jika hendak dibandingkan, Pulau Sumatera saat ini masih lebih bagus ketimbang Kalimantan.
”Ketidakadilan inilah yang membuat fenomena ancam-mengancam itu terjadi,” kata Gusti Asnan.
Sementara itu, Saleh Hanan, aktivis dari Buton, Sulawesi Tenggara, mengatakan bahwa Indonesia sebetulnya terbangun dari ancaman dan kekerasan. Hal ini tampak dari pengistimewaan sejumlah daerah yang dasarnya adalah kekerasan atau ancaman.
Jika seluruh wilayah menginginkan keadilan dan kesetaraan pembangunan seperti yang terjadi di Jawa, maka fenomena ancam-mengancam ini akan berujung pada kekerasan. Siapa yang paling keras, kata Saleh Hanan, maka ia akan diberi status istimewa. Sedangkan daerah yang lugu dan tak punya tradisi kekerasan, dibiarkan begitu saja.
“Aceh mengamuk, diberikan keistimewaan. Papua membara dikasih kekhususan… Daerah yang paling bergolak, dia istimewa,” kata Saleh Hanan pada forum “Menyoal Identitas Kebudayaan Indonesia”, di Jakarta, pada 2010 lalu.
Apa yang terjadi di Yogyakarta juga dapat dibaca melalui perspektif Saleh Hanan. Hingga saat ini, pemerintah Indonesia tidak berani menentukan sikap tegasnya terkait status keistimewaan Yogyakarta akibat ancaman demi ancaman melalui aksi demontrasi dan pernyataan-pernyataan yang berujung pada pemisahan diri dari negara.
Jika ditarik pada sejarah, ancaman kepada pemerintah Indonesia memang bukanlah hal baru. Howard Dick, pakar ekonomi dan sejarah Indonesia dari University of Melbourne, Australia, mengatakan bahwa pemicu utama bangkitnya perlawanan Sumatera dan Sulawesi pada 1950-an hingga awal 1960-an adalah persoalan ekonomi.
“Pemberontakan PRRI-Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia-Perjuangan Rakyat Semesta) pada awal 1958 menempatkan perdagangan dalam pijakan suasana perang. Para pemimpin militer lokal berusaha mempertahankan ekspor sebagai perdagangan barter, baik untuk menghasilkan devisa maupun untuk membawa masuk persenjataan dan perlengkapan,” tulis Howard dalam buku Antara Daerah dan Negara (2011).
Terkait dengan konstelasi daerah dan pusat, Kalimantan juga merasakannya pada periode 1950-an. Gerry Van Klinken, peneliti senior di Koninklijk Instituut voor Taal,-Land-en Volkenkunde, Leiden, Belanda, mengungkapkan bahwa ada perbedaan cara pandang dengan Jakarta/Indonesia kala provinsi Kalimantan Tengah dibentuk.
Menurut Gerry, dalam buku Antara Daerah dan Negara (2011), media Jakarta menggambarkan pembentukan provinsi Kalimantan Tengah itu sebagai hasil proses menghimpun berbagai bagian bangsa menjadi satu bangsa. Namun, bagi orang-orang yang telah berjuang bagi terbentuknya provinsi itu, dengan rasa puas, diam-diam melukiskannya sebagai pemberontakan melawan Jakarta, atas nama identitasnya sendiri yang terpisah di tengah lingkungan bangsa.
“Orang Jakarta memandang orang-orang primitif mempersembahkan kesetiaan kepada suatu keseluruhan yang lebih besar, sedangkan orang setempat melihatnya sebagai pernyataan identitas setempat yang tak dapat disingkirkan lagi,” tulis Gerry kala membahas kedatangan Soekarno pada 17 Juli 1957 di pedalaman Dayak di Kuala Kapuas yang disambut oleh prajurit-prajurit Dayak.
Dan perlawanan Kalimantan masih terasa hingga kini, meski dalam skala yang dituding “tidak mendalam”. Sebelum munculnya ancaman embargo pengiriman hasil produksi batu bara, proyek Jakarta/Indonesia untuk membangun kereta api pengangkut batu bara yang menghubungkan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur pada 2011 juga pernah ditolak. Dengan alasan merusak kawasan hutan lindung yang selama ini menjadi penyangga penghalau banjir, Teras Narang beserta wakilnya, H. Achmad Diran, siap mundur jika proyek tersebut tetap dilaksanakan.
Perlawanan Kalimantan ini pada dasarnya akan menuai dilema bagi Indonesia. Jika ultimatum Kalimantan terkait pasokan bahan bakar minyak dipenuhi, maka apa yang dikatakan oleh Saleh Hanan adalah benar, bahwa hanya mereka yang berlaku keraslah yang akan mendapatkan haknya. Dan hal tersebut sudah diduga oleh Gusti Asnan.
“Sebenarnya ancam mengancam ini diajarkan sendiri oleh pemerintah yang ada di Jakarta,” ujar Gusti Asnan.
Comments with Facebook
Dukung kepala daerah kalimantan