
Sudah beberapa bulan kampung Setalangan jadi buah bibir di seantero negeri. Kampung yang dulu sepi dari kerlingan wajah kota, seketika berubah sejak ditemukan saripati emas dalam bukitnya. Saripati emas yang membuat ribuan manusia dari segala penjuru menyerbu Setalangan, demi mengadu peruntungan dalam lubang-lubang tambang.
Di sepanjang punggung bukit yang mengitari Setalangan, berdiri tenda-tenda dari terpal aneka warna. Tempat ribuan orang menjejal lalu memasuki lubang-lubang tambang. Lubang yang akan mengantarkan mereka ke perut bumi, di mana bongkahan harta terakhir Qarun mungkin berada.
Seolah tak kenal waktu, ribuan orang memasuki lubang-lubang tambang, membawa tabung-tabung oksigen, karung juga linggis dan perkakas tajam lainnya. Memburu saripati emas yang menunggu dicongkel, lalu dibuntal hingga jadi seperti tongkat sihir yang akan mengubah segalanya.
Saripati emas itu memang sudah layaknya sihir yang telah mengubah semua orang. Tak ada lagi warga Setalangan yang percaya bisa hidup dengan bercocok tanam, pun demikian dengan jadi nelayan, apalagi sekadar mengandalkan hasil hutan.
Begitu juga bapakku, sudah seperti ribuan orang itu, tanggal keyakinannya pada jala dan sampan. Pun bapaknya Oncong, tak lagi memanggul pacul atau menunggu burung nakal penggangu tanaman.
Kalau sudah pergi ke bukit, paling cepat seminggu bapak baru pulang, membawa karung-karung berisi tanah cokelat kemerahan. Tanah yang segera meluncur, berputar dalam gelondongan, hingga mengeluarkan saripati emas yang ditunggu-tunggu. Dan jika itu terjadi, biasanya orang akan memekik histeris.
“Cair! Cair! Cair!” hingga puluhan kali. Kadang sambil meloncat-loncat atau berlari tak tentu arah. Cair! Itulah pekikan kemenangan yang seakan ingin disampaikan pada lubang-lubang tambang. Saripati emas dalam genggaman seakan jadi bukti, mereka berhasil mengalahkan gelap dalam lubang-lubang tambang.
Aku dan Oncong senang menunggu tibanya pekikan itu, turut girang mendengarnya. Lalu membayangkan dalam sekejap pekik itu akan berubah jadi deru roda dua atau empat. Bisa juga jadi rumah megah, jika saripati emasnya cukup banyak.
Harga emas di kampung memang tidak semahal di kota. Kata orang kota, emas kami belum tuntas diolah, hingga perlu banyak biaya agar siap dijual. Dan mereka –orang-orang kota– rela berlelah-lelah mendatangi Setalangan demi emas yang lebih murah.
Tapi, bagi warga, lebih murah tidaklah apa, toh nilainya tetap lebih tinggi dari hasil laut, ladang atau hutan. Karenanya tetap lebih menyenangkan berharap pada lubang-lubang tambang, dan kesenangan harus dipekikkan. Cair! Cair! Cair!
*
Belakangan ini pekikan kesenangan mulai jarang terdengar. Pekikan seolah raib tertelan gelap dalam lubang-lubang tambang. Sampai aku dan Oncong mulai bosan menunggunya. Kami jadi membayangkan harta Qarun dalam bukit mungkin telah habis. Tapi, anehnya, selalu saja ada roda dua juga roda empat baru yang muncul, juga teman sekolah dengan perkakas serba baru.
“Sekarang kita harus lebih hati-hati,” kata bapak satu malam.
Bapak menuturkan, Setalangan makin ramai didatangi orang. Menurut bapak mereka yang datang tidak hanya berniat mengadu nasib dalam lubang-lubang tambang. Banyak di antaranya yang datang hanya untuk menunggu pekikan kesenangan. Lalu pada malamnya, akan terjadi perampokan yang bisa menyebabkan kematian.
Mengerikan membayangkannya, membuatku dan Oncong mengusir jauh niat ingin mendengar pekikan kesenangan. Mengharapkannya kami anggap sama dengan mendoakan orang menuju bahaya bermuara kematian. Kukira hal itu juga yang membuat bapak memelihara kebiasaan baru, kebiasaan yang aku dan Oncong lihat dengan rasa geli bercampur cemas.
“Bapakmu kawin lagi ya?” tanya Oncong satu ketika.
“Maksudmu?”
“Iya kan? Kawin sama parang. Masak parang dibawa-bawa tidur,” ucapnya sebelum tawanya meledak.
Meski terdengar mengejek, apa yang dia katakan tidaklah salah. Bapak mulai tidak pernah melepaskan parang dari dekatnya, pun ketika sedang tidur. Parang sepanjang lengannya bergagang kayu cokelat selalu diletakkan di kanan tubuhnya, menggantikan tubuh ibu. Bapak tidak lagi tidur bersama ibu, dia menyediakan ranjang khusus di ruang tengah, tempatnya menghabiskan malam dengan parangnya.
Kawanan rampok, yang mungkin mengenakan topeng, terus menebar ketakutan. Menyuburkan kebencian di hatiku, terlebih setelah kejadian malam itu. Awalnya kukira mereka hanya akan membuat bapak memelihara kebiasaan baru. Tapi rupanya, mereka memberiku lebih.
*
Malam itu, suara gaduh terdengar di seluruh kampung. Teriakan bertebaran mengiring taluan pentungan. Suaranya berputar-putar dan membuat lelapku terusik. Belum juga sadarku pulih, rangkulan ibu membuat kaget. Deru napasnya yang tak beraturan mendatangkan cemas tak terkira. “Jangan-jangan kami kedatangan rampok,” benakku berkata dalam pelukannya.
Tapi rupanya bukan aku yang kedatangan kawanan rampok. Bukan aku pula yang pikirannya berteriak ketakutan dalam pelukan ibu. Mungkin Oncong yang malam itu melakukannya. Sebelum kawanan rampok menebas tubuhnya. Oncong dan kedua orang tuanya mati, emas mereka dibawa pergi.
Aku tidak diijinkan melihat tubuh mereka. Entah kenapa. Padahal aku sangat ingin melihat Oncong untuk terakhir kalinya. Tapi, mungkin muka itu sudah tidak utuh, mungkin juga lebih? Aku tidak pernah tahu. Aku hanya melihat tiga keranda mayat diarak ke pekuburan di belakang kampung. Pekuburan yang menghadap lurus ke bukit, tempat lubang-lubang tambang menempel seperti bopeng pada kulit beberapa teman sekolah.
*
Beberapa hari usai perampokan keluarga Oncong, kulihat banyak orang berseragam bergerombol di balai desa, lengkap dengan bedil dan berbagai senjata lain. Aku lega membayangkan serdadu pemerintah datang untuk memburu kawanan rampok bertopeng. Aku lega membayangkan kawanan rampok bertopeng diberondong pelor dari bedil serdadu pemerintah. Sayangnya, kelegaanku tidak berlangsung lama.
Kata warga, serdadu tidak datang mengurusi rampok, mereka datang membawa perintah agar warga berhenti ke lubang-lubang tambang. Berhenti berharap pada lubang-lubang tambang, karena pada lubang-lubang tambang tersimpan bahaya kematian yang bisa datang kapan saja.
Kupikir-pikir apa yang diminta pemerintah ada benarnya. Karena memang dalam lubang-lubang tambang sudah banyak orang kehilangan nyawa. Belum lagi ada kawanan rampok bertopeng yang mengintai setelahnya. Banyak kawan sekolahku sudah merasakan kehebatan bahaya dalam lubang-lubang tambang. Tidak sedikit yang bapaknya mati tertimbun longsor lubang-lubang tambang. Karenanya aku lega membayangkan serdadu akan segera menutup jalan menuju bukit, kelegaan yang tidak berlangsung lama.
“Pemerintah menutup tambang hanya untuk diberikan pada orang asing yang lebih pintar menambang,” kata bapak satu pagi. “Lalu mau jadi apa orang seperti kita, yang tidak punya kepintaran? Mengais-ngais lagi di laut, sawah atau hutan!”
Untuk pertama kali kulihat bapak bicara dengan mata memerah. Terlebih sambil meremas gagang parang yang bertengger di meja kayu ruang tengah. Dengan cepat amarahnya seperti mengalir ke tiap sendi benda itu, secepat amarah itu mengalir ke seluruh rongga tubuhku.
Aku marah mendengarnya. Membayangkan orang-orang asing sok pintar memanggul karung-karung berisi tanah emas kami. Mata merah bapak membuat hilang bayangan kawanan rampok bertopeng, berganti bayangan muka-muka asing yang memanggul karungan tanah emas kami. Aku marah mendengarnya, dan marahku berubah jadi takut, benci, sedih yang diaduk sekaligus.
*
Jelang siang, beberapa orang datang ke rumah menenteng parang serupa punya bapak. Aku tak asing dengan mereka, karena mereka kerap ke rumah, menemani bapak ke lubang-lubang tambang.
“Jaga ibumu baik-baik!” kata bapak sebelum meninggalkan rumah bersama temannya. Dia memberiku sebilah pisau sepanjang lengan orang dewasa dipotong tiga.
Aku tak bisa menanggalkan cemas melihat bapak dan temannya pergi dengan mata memerah. Aku ingin menemaninya, tapi aku harus menjaga ibu seperti pintanya. Sesuatu yang tak bisa kulakukan, karena aku malah lelap dalam pangkuan ibu.
Pangkuan ibu memang ajaib seperti tongkat para penyihir, apalagi jika disertai usapan hangat di kepala. Akibatnya aku malah lelap, tidak menjaganya.
Aku tak sadar berapa lama telah lelap. Ketika membuka mata, aku berada dalam kamarku yang gelap. Aku tersadar oleh suara bingar dari ruang tengah. Pekikan juga tangisan yang langsung mengingatkanku pada suara-suara di malam terakhir Oncong. Seketika aku teringat wajah dan pesan bapak. “Jaga ibumu baik-baik!” Berhamburanlah aku menuju ruang tengah, seraya teriak sambil mengacung-acungkan pisau pemberian bapak. Ruang tengah padat, menyesakkan juga panas. Orang-orang berpaling padaku. Mereka menangis tak karuan lalu tubuh ibu menyeruak dari kerumunan.
*
Malam itu, gelap dalam lubang-lubang tambang serasa lepas dari punggung bukit. Terbang dan menyelimuti seluruh rumahku. Menurut cerita ibu, bapak dan ratusan warga berusaha menghalau serdadu yang hendak menutup jalan menuju lubang-lubang tambang. Warga marah dan mengamuk, terjadi saling serang. Keributan hebat tak terelakkan dan korban pun berjatuhan.
Bapakku salah satu korbannya. Korban dari pelor yang pernah kukira akan menyasar kawanan rampok bertopeng. Pelor itu menyasar tubuh bapakku, mungkin karena serdadu yang memegang bedilnya belum mahir. Aku jadi terus berdoa, semoga serdadu bodoh itu bertemu kawanan rampok bertopeng.
Mataram, November 2011
Comments with Facebook