Mati Massal Ala Lebaran

661 orang tewas, 1.129 orang luka berat, dan 2.825 orang luka ringan.
Apa yang Anda bayangkan kala membaca data tersebut? Perang? Kena bom? Gunung api meletus? Smong? Bukan. Ini perkara mudik lebaran.
Dalam catatan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta, Senin (5/9), sebagaimana ditulis di berbagai media massa, sejak 23 Agustus 2011 hingga 4 September 2011 telah terjadi kecelakaan sebanyak sekitar 4.006 kasus terkait arus mudik dan arus balik lebaran.
Jumlah kecelakaan arus mudik dan arus balik lebaran pada 2011 disebutkan menaik dari waktu yang sama pada 2010 lalu, yakni 3.010 kasus. Kenaikan juga terjadi pada jumlah korban luka berat dan luka ringan, yakni dari 974 dan 1.923 orang pada 2010 menjadi 1.129 orang dan 2.825 orang pada 2011. Penurunan angka disebutkan terjadi pada jumlah korban tewas, yakni dari 746 orang pada 2010 menjadi 661 orang pada 2011.
Tragedi arus mudik dan arus balik lebaran 2011 pada dasarnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Di tahun-tahun sebelumnya, mobilisasi manusia dalam waktu yang bersamaan ini juga telah membuat ratusan orang terbujur kaku, ribuan tubuh bergelimpangan kesakitan, dan air mata duka kembali tumpah.
Betapapun angka kecelakaan kerap kali simpang siur, jumlah orang tewas dan luka-luka selalu mencapai ratusan dan ribuan jiwa. Bahkan, ada yang menyebutkan hampir 800 jiwa melayang pada 2007 dan 2009.
Tahun |
Peristiwa |
Kompas |
Media Indonesia |
Ramalan intelijen | Suara Karya | Tempo |
2010 |
Tewas Luka Berat Luka Ringan Jumlah Kasus |
342461
934 1.519 |
302405
826 1.351 |
436567
1.132 1.819 |
311418
855 1.397 |
311418
855 |
2009 |
Tewas Luka Berat Luka Ringan Jumlah Kasus |
760 | 675801
826 1.567 |
373550 | 702800
855 1.646 |
702563
1.132 |
Keterangan: Kompas, Senin, 20 September 2010; Media Indonesia, Jumat, 17 September 2010; Ramalanintelijen.net (diasuh Marsekal Muda (purn) Prayitno Ramelan), Suara Karya, Selasa, 21 September 2010; Tempointeraktif, Kamis, 23 September 2010.
Dan menurut situs ramalanintelijen.net, jumlah orang tewas pada 2008 adalah 585 jiwa dengan 2.573 kasus. Pada 2007, jumlah orang tewas sebanyak 798 jiwa dengan 1875 kasus. Sedangkan pada 2006, korban tewas mencapai 437 jiwa dengan 961 kasus.
Kematian Massal yang Niscaya?
Jika ada manusia yang meninggal satu per satu dalam waktu yang berbeda-beda, termasuk kecelakaan, mungkin itu bisa dibaca secara personal atau dalam lingkup yang terbatas. Namun, jika ada kematian massal yang terjadi terus menerus setiap tahun di waktu yang sama, tentulah ada persoalan sosial yang amat serius. Data kematian di tiap tahun tersebut, siapapun pemerintahnya, seolah menunjukkan bahwa kematian massal di Indonesia adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Kematian yang niscaya itu terlihat kala Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, sudah menyiapkan 25 liang lahat untuk para pemudik bahkan sebelum lebaran tiba. Menurut Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman Kota Bogor, Erna Hernawati, seperti ditulis oleh Tempointeraktif.com, Selasa (23/8), makam-makam tersebut disiapkan untuk masyarakat yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas saat lebaran.
25 makam yang disebar di sejumlah Tempat Pemakaman Umum di Kota Bogor itu dilakukan untuk mengantisipasi minimnya petugas atau tukang gali kubur saat Hari Raya Lebaran. Jadi, jika ada korban yang meninggal, prosesi pemakaman oleh keluarga yang bersangkutan menjadi lebih mudah.
Meski demikian, Direktur Jenderal Hubungan Darat Kementerian Perhubungan, Soeroyo Alimoeso, merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut apakah kematian massal yang terjadi bertahun-tahun tersebut terkait dengan arus mudik dan arus balik lebaran.
“Ini juga nanti kita cek, apa benar yang terjadi kecelakaan ini sepeda motor yang long distance (jarak jauh-red) atau yang mudik, atau local traffic. Kalau (kejadiannya) di kota, apa memang (kecelakaan itu terjadi pada) orang yang mudik atau orang kota itu. Ini sedang kita evaluasi,” kata Soeroyo, Senin (5/9), di Jakarta.
Hal serupa juga dikatakan oleh Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan, Sudirman Lambali. Menurutnya, fakta tersebut harus dibandingkan dengan mobilisasi manusia pada momentum lain.
“Tapi kalau mau fair (adil-red), hitung juga jumlah kecelakaan dalam perayaan lain dalam 16 hari,” ujar Sudirman, Senin (5/9), di Jakarta. 16 hari yang dimaksud adalah perbandingan dengan pra lebaran dan pasca lebaran.
Tragedi kemanusiaan akibat mobilisasi manusia juga pernah terjadi di Arab Saudi pada 1990 saat Haji. Peristiwa itu dikenal sebagai tragedi Terowongan Mina. Sebagai sebuah keniscayaan, Haji adalah momen yang tak bisa ditiadakan. Akan tetapi, meski tidak dapat dihilangkan sama sekali, korban jiwa akibat lalu lintas manusia yang dilakukan pada saat yang bersamaan itu dapat ditekan secara signifikan.
Sebagaimana Haji, mudik juga sebuah keniscayaan di Indonesia. Ia merupakan perilaku yang tak dapat dihilangkan dari tradisi yang sudah menahun ini. Hanya saja, jika Arab Saudi dapat merekayasa situasi sehingga antarmanusia tak saling bertubrukan, bagaimana dengan Indonesia?
“Kalau di Mina, persoalannya, mereka diatur. Yang akan menuju (tempat) jamrah, sai, dan sebagainya, kan diatur jamnya. Mereka manusia bisa diatur karena enggak ada kendaraan. Jadi begitu diatur mereka bisa. Tapi (mudik di Indonesia) ini kan mix traffic (campuran lalu lintas-red). Ada mobil, ada bis, ada sepeda motor. Kan itu jauh lebih kompleks. Mereka (Arab Saudi) ada infrastruktur jalannya, ada bangunan di kanan kiri. Kalau kita ini kan jalan raya langsung ada bangunan. Kalau di tempat lain kan bangunannya jauh dari jalan raya. Orang keluar dari gang, dari perempatan, itu juga (langsung) crossing traffic (persimpangan-red),” ujar Soeroyo.
Dengan kondisi infrastruktur Indonesia yang demikian, maka cetak biru yang ada di benak pemerintah pusat, seperti dikatakan oleh Soeroyo, adalah penambahan infrastruktur, baik jalan tol maupun jalan-jalan tertentu. Juga perbaikan berbagai layanan transportasi, seperti kereta api melalui penambahan kapasitas angkutan, peningkatan layanan, penyelesaian rel ganda, juga menghindari persilangan antara jalan raya dengan kereta api. Begitu juga dengan transportasi lain, seperti penambahan kapasitas kapal laut dan peningkatan kualitas layanan penerbangan.

Selain infrastruktur, pemerintah pusat juga mendorong masyarakat yang melakukan mudik lebaran untuk tidak lagi menggunakan sepeda motor. Sebab, seperti dikatakan oleh Sudirman, penyumbang terbesar dari kecelakaan arus mudik dan arus balik lebaran adalah sepeda motor, yakni sekitar tujuh puluh persen dari total kejadian.
“Ke depan kita himbau lebih baik menggunakan angkutan umum yang ada. Jangan naik sepeda motor, karena (sepeda motor) itu tidak didesain untuk perjalanan jarak jauh. Motor bebek itu kan mestinya hanya untuk ke pasar,” tukas Soeroyo.
Soeroyo menambahkan bahwa arus mudik ini sudah ada sejak periode 1970-an. Kala itu, para pemudik relatif masih bisa tertangani oleh angkutan-angkutan publik yang ada, seperti kereta api, bus-bus regular, ataupun bus bantuan. Namun, kepadatan yang mengikutsertakan korban jiwa mulai muncul tak lama kemudian, yakni setelah jumlah sepeda motor mengalami ledakan.
Selain mendorong agar berbagai pihak terus melakukan mudik-mudik bersama dengan menggunakan angkutan umum, baik bus maupun kapal laut, Soeroyo juga menghimbau agar ada demassalisasi mudik demi menjaga keselamatan. Menurutnya, memang berbahaya jika ada mobilisasi manusia yang dilakukan pada saat yang bersamaan.
“Jadi, ke depan kita juga menyarankan agar masyarakat bersilaturahmi itu bukan di hari lebaran pertama dan kedua saja. Bisa saja seminggu setelah lebaran. Bulan Syawal itu kan tiga puluh hari. Sebaiknya diatur,” kata Soeroyo.
Gagasan untuk mendorong masyarakat tak menggunakan sepeda motor sembari menyediakan angkutan umum sebetulnya bukanlah hal baru. Demikian juga dengan pembangunan atau perbaikan jalan yang memang terus dilakukan tiap kali lebaran menjelang. Hanya saja, kematian massal pada kenyataannya terus menerus terjadi.
Jika mudik menjadi keniscayaan, maka rekayasa memang perlu dilakukan oleh pemerintah demi menjaga keselamatan masyarakat. Salah satunya adalah dengan demassalisasi mudik. Namun, tidakkah hulu dari persoalan ini adalah sentralisme?
“Di Indonesia, mudik yang dikaitkan dengan lebaran sesungguhnya lebih disebabkan oleh problem sosial akibat ketimpangan penghidupan desa-kota sebagai dampak sistem pemerintahan yang sentralistik dengan menempatkan Jakarta sebagai pusat segala-galanya,” tulis dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Maman S. Mahayana (lihat Mudik di Indonesia dan Korea).
Menurut Maman, mudik pada hari lebaran di Indonesia bukanlah sesuatu yang mengakar pada kebudayaan, tetapi lebih pada persoalan sosial akibat sentralisme. Sistem itu menarik banyak sekali orang dari berbagai tempat ke satu titik untuk kemudian pada satu masa yang sakral, Idul Fitri, semua kembali ke tempat masing-masing secara bersamaan.
Tahun |
Peristiwa |
Kompas |
Media Indonesia |
Ramalan intelijen.net |
Suara Karya |
Tempo |
2010 |
Tewas Luka Berat Luka Ringan Jumlah Kasus |
342 461 934 1.519 |
302 405 826 1.351 |
436 567 1.132 1.819 |
311 418 855 1.397 |
311 418 855
|
2009 |
Tewas Luka Berat Luka Ringan Jumlah Kasus |
760
|
675 801 826 1.567 |
373 550 |
702 800 855 1.646 |
702 563 1.132
|
2008 |
Tewas Luka Berat Luka Ringan Jumlah Kasus |
585 2.573 |
||||
2007 |
Tewas Luka Berat Luka Ringan Jumlah Kasus |
798 1.875 |
||||
2006 |
Tewas Luka Berat Luka Ringan Jumlah Kasus |
437 961 |
Comments with Facebook