
Malam baru menginjak pukul 20.00 WIB. Tetabuhan keras terdengar di double way Universitas Jember, Jawa Timur. Orang-orang berkerumun memenuhi sudut-sudut kampus. Di antara kerumunan, seorang anak kecil tampak asyik bermain musik: memukul kentongan bass.
Riko, 12 tahun, demikian nama anak tersebut, adalah pemain musik patrol Kharisma. Bulir-bulir keringat menempel di dahinya. Ia amat bersemangat. Tapi tak ada raut wajah lelah yang teraba. Siswa kelas lima Sekolah Dasar ini tengah sibuk menikmati alunan nada lagu ‘17 Agustus 1945’. Beberapa kali ia melenggak-lenggokkan diri sambil ikut bernyanyi.
“Saya senang main Patrol ini, apalagi kalau sambil main sama teman-teman,” kata Riko.
Musik patrol adalah salah satu kesenian tradisional yang banyak berkembang di Jember. Mulanya, kesenian ini bertujuan untuk mengisi acara-acara kenduri dan hiburan rakyat. Namun, sesuai dengan namanya, patrol kemudian menjadi kesenian rakyat yang dikembangkan sebagai alat untuk membangunkan orang sahur saat bulan puasa tiba.
“Tak ada data pasti kapan (lahirnya), namun selama dua dekade terakhir, Jember telah mengenal patrol untuk membangunkan orang sahur,” kata Halim Bahriz, pegiat kesenian dari Unit Kegiatan Kesenian Mahasiswa Kesenian Universitas Jember.
Secara sederhana, kesenian musik Patrol terdiri dari empat elemen. Yang pertama bilah bass (serupa kentongan tetapi lebih besar), bedug, seruling dan penyanyi. Pada awal kemunculannya, kesenian ini dianaktirikan karena citranya yang melekat pada orang-orang pinggiran dan pedesaan. Apalagi, mereka yang aktif dengan kesenian ini memang berasal dari kalangan menengah ke bawah di lingkungan sub-urban.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, sedikit demi sedikit citranya berubah. Seiring dengan adanya kecenderungan sokongan dana dari orang kaya, pelan-pelan kesenian ini menjadi bergengsi. Hal ini kian terasa sejak adanya Carnaval Musik Patrol (CMP) yang digagas oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian Universitas Jember.
Saya sendiri pertama kali mengenal musik patrol sekitar empat tahun lalu, saat saya masih aktif dalam organisasi pers mahasiswa. Kala itu, setiap anggota organisasi mahasiswa diminta kesediaannya untuk menjadi bagian dari tim pengawas patrol. Tugasnya sederhana: mengawal kelompok patrol dari start sampai dengan finis selama karnaval berlangsung.
Karnaval ini sendiri sebenarnya dilangsungkan secara sederhana. Usai diberangkatkan dari double way Universitas Jember, setiap grup harus berkeliling kota Jember. Mereka menempuh rute sepanjang lima belas kilometer melewati Jalan Kalimantan, Jalan P.B. Sudirman, kemudian Jalan A. Yani hingga Jalan Trunojo serta Jalan Kartini untuk kemudian berakhir di alun-alun Jember. Rute ini, secara historis, merupakan rute yang selama dua puluh tahun terakhir digunakan oleh kelompok patrol Jember untuk membangunkan orang sahur.
Pada 1990-an, kelompok musik patrol di Jember banyak sekali. Hampir tiap kecamatan ada kelompok patrol yang mewakili dan bertugas membangunkan sahur warganya. Beberapa kali kelompok musik Patrol asal Gebang pernah tampil di Surabaya, ibukota Jawa Timur, pada masa Gubernur Basofi Sudirman.
“Sebenarnya patrol sendiri banyak (terdapat) di kota-kota selain jember. Di Madura (Jawa Timur) juga ada, kini merambah di kota sekitar Jember seperti di Lumajang,” ujar Halim.

Selagi berada di tengah keramaian itu, tiba-tiba terdengar pekikan histeris dari sejumlah penonton. Saya lihat, ternyata ada salah satu kelompok patrol yang menampilkan semburan api sebagai salah satu bagian dari atraksinya. Penonton tampaknya terperanjat. Setelah atraksi itu berakhir, para penonton yang semula takut dan khawatir kemudian menyambutnya dengan tepuk tangan yang membahana.
Salah seorang penonton yang tadi terlihat tegang juga akhirnya tersenyum lega. Ia adalah Sri Suswati, pembina kelompok patrol Kharisma. Dengan penuh perhatian ia turut menonton seluruh penampilan kelompok patrol lain yang bermain malam itu. Sri, begitu ia disapa, bukan orang baru dalam kesenian Patrol. Selama mendampingi patrol Kharisma, ia sudah banyak malang melintang ke berbagai kota di Jawa Timur.
“Saya sebenarnya sudah tahu patrol dari suami yang aktif sejak (tahun) 89,” kata Sri.
Saya sendiri mengenal kelompok patrol Kharisma sejak dua tahun yang lalu. Tepatnya pada Carnaval Musik Patrol ke-VIII. Saat itu, saya berkenalan dengan Pak Slamet, suami Sri. Slamet merupakan salah satu orang yang dianggap senior dalam kesenian patrol, sekaligus pemilik kelompok Kharisma. Dalam karnaval kali ini, Slamet tak hadir karena sedang berada di Surabaya. Ia digantikan oleh istrinya, yang mempersiapkan dua buah lagu bernuansa etnis dalam hajatan ini.
Bagi keluarga Slamet dan Sri, patrol tak sekedar tindakan berkesenian. Ia sudah dianggap sebagai sarana ibadah dan pengabdian untuk melestarikan kesenian.
“Di Jember ini pemerintah kurang tanggap. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?” tutur Sri.
Selama ini, Jember selalu dikaitkan dengan Jember Fashion Carnaval (JFC) – sebuah ajang tahunan mode yang diklaim terpanjang di dunia. Pada 2011, penyelenggaraan Jember Fashion Carnaval sudah menginjak tahun ke-10. Saya sendiri merasa ada ketimpangan perhatian dari pemerintah kabupaten Jember. Musik patrol yang notabene sudah ada selama dua dekade lalu kalah pamor dan perhatian ketimbang Jember Fashion Carnaval yang berusia 10 tahun.
Tapi Ibu Sri tak mau ambil pusing dengan ketimpangan itu. Ia percaya, setiap karya dan kreativitas memiliki nilainya tersendiri. Dan ia tak ingin ada kecemburuan yang muncul di antara seniman.
“Kalo JFC kan emang kelasnya dunia. Tapi kalau dikasih kesempatan, musik patrol ya bisa manggung di luar negeri… Mau JFC mau Patrol kan ingin Jember maju. Jangan bikin ributlah,” ujar Sri.
Meski tak mendapat perhatian dan kesempatan tumbuh yang sama, Sri percaya bahwa selagi masih ada anak muda yang mau mendalami musik patrol, kesenian ini takkan punah. Apalagi, selama dua dekade ini musik patrol selalu dimainkan oleh anak-anak muda.
Hanya saja, ia mengaku ada gelagat dari kalangan muda untuk lebih memilih menjadi artis, dalam pengertian selebritas, ketimbang peniup seruling. Dari empat elemen musik patrol, peniup seruling memang yang paling susah dicari.
“Anak jaman sekarang itu lebih suka jadi artis penyanyi, daripada seniman,” ucap Sri.
Menurut Sri, belajar musik patrol tidaklah sukar. Yang sukar adalah mencari orang yang mau memainkan kesenian ini. Untuk menyiasatinya, ia mencoba mencari pemain musik patrol dari lingkungannya sendiri. Secara kolektif, kelompok ini merupakan regenerasi keturunan pemain patrol seangkatan Sri. Alhasil, keponakan dan anak dari Sri digadang-gadang untuk mengikuti kelompok patrol Kharisma miliknya.
Hari beranjak malam saat kelompok Kharisma mendapat kesempatan untuk memulai penampilannya. Dengan lagu berjudul Joget Blambangan, seluruh penonton yang hadir seolah dihipnotis. Runutan irama rancak menggugah para pendengarnya untuk ikut berjoget dan bernyanyi bersama. Cengkok penyanyi bernuansa Melayu kian menambah riang jalanan di kawasan kampus itu.
Beberapa kali kembang api meledak di udara dan kharisma terus melaju.
“Saya percaya Patrol akan terus ada, meski saya harus rugi. Saya dan suami ingin ini terus ada,” kata Sri.
Sri memang tak begitu khawatir dengan acara lain karena tiap karya memiliki nilainya sendiri. Akan tetapi, ia tak dapat melepaskan kecemasan jika kelak daya tarik kesenian ini kalah dengan gerak zaman.
“Sekarang kan ada PS (play station-red), internet. Anak muda lebih suka main itu daripada berkesenian,” ungkap Sri.
Jika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kesenian kebanggan Jember ini akan tergilas. Sri yakin, jika ada perhatian dan keinginan pemerintah untuk menyelamatkan kesenian ini, maka patrol tak akan musnah.
“Semoga saja mereka itu dibuka hatinya,” harap Sri.
Comments with Facebook
Jember tambah kreatif saja. Jember Fashion Carnival sangat menarik. Musik Patrol meramaikan Jember di waktu bulan puasa.