Home Featured Taufik Abdullah: Agama Diurus Pemerintah Pusat untuk Lindungi Minoritas

Taufik Abdullah: Agama Diurus Pemerintah Pusat untuk Lindungi Minoritas

2
Surat Perintah Penghentian dan Penutupan Aktivitas Jamaat Ahmadiyah Indonesia yang dikeluarkan oleh Walikota Samarinda, Kalimantan Timur. Surat serupa juga dikeluarkan oleh pemerintah daerah lain. Foto: Redaksi.

Penguasaan urusan agama oleh pemerintah pusat dilatarbelakangi oleh hasrat melindungi hak hidup minoritas di seluruh Indonesia. Dan tindakan pelarangan atas suatu keyakinan tersebut, yang belakangan dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah, merupakan tindakan anti-republik.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 10 ayat 3 disebutkan sejumlah hal yang menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan tersebut meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.

Belakangan, sejumlah pemerintah daerah memasuki ranah agama dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan yang melarang aktivitas kelompok Ahmadiyah untuk melakukan kegiatan di daerahnya. Dari sejumlah sumber, daerah tersebut adalah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Pandeglang (Banten), Kotamadya Samarinda (Kalimantan Timur), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), serta yang terbanyak di Jawa Barat, yakni Kabupaten Kuningan, Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kotamadya Tasikmalaya. Terakhir, pelarangan muncul dari Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, dan Kotamadya Bogor.

Dalam surat keputusannya, sejumlah pemerintah daerah ini melarang Ahmadiyah untuk melakukan aktivitas, melarang menyebarkan ajaran baik lisan maupun tulisan, termasuk menutup tempat ibadah milik Ahmadiyah. Keputusan tersebut muncul akibat adanya desakan dari organisasi-organisasi massa berbasis Islam, diantaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI) di masing-masing daerah, yang merasa  agama Islam telah dinodai oleh Ahmadiyah. Keyakinan-keyakinan kelompok Ahmadiyah dianggap tak sama dengan keyakinan-keyakinan organisasi-organisasi tersebut.

Anhar Gonggong. Foto: Blogspot.

Fenomena pelarangan oleh pemerintah daerah ini  dilihat oleh sejarawan Anhar Gonggong sebagai kesalahan yang dibiarkan berlarut-larut.

“Pemerintah daerah itu tidak punya hak. Pemerintah daerah yang melarang itu adalah anti-republik,” ujar Anhar dalam nada tinggi saat dihubungi LenteraTimur.com, Kamis (3/2), di Jakarta.

Menurut Anhar, semua warga negara haruslah dilindungi oleh negara. Negara semestinya menjamin seseorang untuk menjalankan kepercayaannya. Apalagi, negara ini didirikan dengan tidak memandang apa pun kepercayaannya, apalagi mendasarkan diri pada ketakutan, tetapi pada rasionalitas bernegara dan berdemokrasi.

“Tidak ada dahulu (pelarangan atas keyakinan). Para pendiri negara tidak mempersoalkan mayoritas (dan) minoritas. Sekarang pemerintah pusat yang salah. Kalau sekarang pemerintah pusat tidak menjalankan kewajibannya, itu dia juga sebenarnya melanggar konstitusi,” kata sejarawan asal Bone ini.

Anhar yang mengaku seorang Muslim Suni mengandaikan bahwa jika dirinya adalah orang yang kepercayaannya dilarang, maka ia akan menuntut negara kemana pun, bahkan sampai hukum internasional. Ia akan menuntut negara untuk mengganti semua yang dirusak oleh orang lain karena gagal melindungi.

Taufik Abdullah. Foto: www.ugm.ac.id.

Senada dengan Anhar, sejarawan asal Minangkabau Taufik Abdullah pun mengamini bahwa konstitusi menjamin hak hidup siapapun dan dari kepercayaan apapun di Indonesia, termasuk Ahmadiyah. Apalagi, Ahmadiyah sudah ada di kawasan yang disebut Indonesia ini sejak akhir 1920-an. Meski saat itu sudah disebut-sebut menyimpang, tetapi tidak ada kekerasan. Bahkan, dialog pada 1930 antara kelompok Persatuan Islam (Persis) dengan kelompok Ahmadiyah tetap dalam suasana persahabatan. Tanpa konflik.

“Ini kan baru-baru (terjadinya). (Dulu) tidak ada kekerasan. Ahmadiyah yang di Sumatera Barat itu yang paling keras. Tapi tidak ada kekerasan. Tidak ada pelarangan. (Kejadian pelarangan) itu kan baru saja (ada) di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat. Kalau soal salah, tak usah diperdebatkan lagi. Tapi apakah mereka tak punya hak hidup di Republik Indonesia ini? Secara konstitusi hak mereka dijamin,” ujar Taufik saat dihubungi LenteraTimur.com, Kamis (3/2), di Jakarta.

Lebih lanjut, Taufik menjelaskan bahwa latarbelakang dipegangnya urusan agama oleh pemerintah pusat adalah untuk menjamin hak-hak minoritas di seluruh Indonesia. Jika urusan agama yang disebutnya sensitif itu diserahkan ke daerah, agama mayoritas bisa menekan yang minoritas. Apalagi, Indonesia multietnik dan multiagama, juga multikepercayaan. Yang bisa menjaga dan menangani keutuhan tersebut adalah pemerintah pusat.

“Suku-suku bangsa yang beragam tersebut bisa saja mempunyai perasaan antipati terhadap yang lain. Jadi, memang akan lebih bagus (urusan agama) dipegang (pemerintah) pusat supaya pemerintah daerah tidak bisa sekena hati saja memaksakan keinginan etnisnya. Itu yang dijaga,” papar Taufik.

TM. Dhani Iqbal TM. Dhani Iqbal lahir di Medan, Sumatera Utara. Menulis sejumlah esai, feature, dan cerpen di sejumlah media massa, juga beberapa buku: "Sabda Dari Persemayaman" (novel), "Matinya Rating Televisi - Ilusi Sebuah Netralitas", dan "Prahara Metodis". Melewati karir jurnalistik di beberapa media massa berklaim nasional, baik cetak, televisi, dan online, di Jakarta, dengan konsentrasi sosial, politik, dan kultur. Kini berjibaku di media LenteraTimur.com.

Comments with Facebook

Comment(2)

  1. Pelan tp pasti, kini bangsa dan pemerintah Indonesia sdh meninggalkan sejarah, khianat thd komitmen kesatuan dlm berbangsa dan bernegara dan merongrong sendi-sendi dasar bernegara.

    Mari suburkan kembali “wawasan nusantara” dan “ketahanan nasional”

  2. di dalam setiap permasalahan agama dan negara,…saya jadi teringat satu pertanyaan yang dilontarkan oleh almarhum Nurcholish Madjid.Penting yang mana,…atau mana yang kita prioritaskan antara agama dan negara.

    Dan secara mendalam Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa negara-lah yang harus kita pentingkan dan prioritaskan.karena seharusnya dengan adanya negara,jaminan untuk keberagamaan dan berkepercayaan akan diberikan.tetapi bayangkan ketika di orang-orang di dalam negara mementingkan dan memprioritaskan agamanya masing-masing.maka,negara seolah tidak ada artinya keberadaannya.dan yang terjadi adalah akan banyak sekali munculnya penindasan-penindasan atas nama agama.berikut agama atau kepercayaan yang minoritas akan termusnahkan oleh mayoritas.

    negara punya tanggungjawab dalam memberikan jaminan keselamatan dan perlindungan kepada agama dan kepercayaan apapun.

    salam Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Margwa.

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *