Jurnalisme, Menyuarakan yang Tak Bersuara

“Selama ekspedisi ini, kami tidak pernah menemui satu orang pejabat pun. Menurut kami, petani dan nelayan adalah sumber berita, bukan pejabat. Lagi pula, ruh perjalanan ini adalah jurnalisme, to give voice to the voiceless (menyuarakan yang tak bersuara-red).”
Malam itu, Selasa (8/3), di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, cerita demi cerita mengalir lancar dari Farid Gaban. Ia tak sendiri. Ada Ahmad Yunus di dekatnya. Keduanya jurnalis yang berasal dari bentang generasi berbeda. Yunus, pemuda asal Bandung, Jawa Barat, lahir pada awal 1980-an, sementara Farid lahir dua puluh tahun sebelumnya, di lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah.
Dari pertengahan 2009 setakat pertengahan 2010, keduanya mengarungi 10 ribu kilometer lebih perjalanan keliling Kepulauan Indonesia dengan menggunakan dua sepeda motor. 80 pulau mereka sambangi; menembus Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Bali, dan kembali ke Jawa tempat mereka berdomisili. Mungkin ini setara dengan jarak antara Inggris hingga Iran atau Afghanistan.
Jika dalam rentang Inggris hingga Iran itu ada nampak kemajuan Perancis, Jerman, Austria, Swiss, Italia, atau Turki, apa yang dilihat dan disampaikan Farid dan Yunus bak bumi dan langit. Kabar yang terlontar tak melulu berupa molek gemulainya alam, pohon yang menyiur, ombak yang berdesir, tetapi juga kabar-kabar tak menyenangkan untuk didengar.
“Memang tak semua cerita indah. Tapi inilah Indonesia yang apa adanya. Indonesia yang sederhana,” ujar Farid.
Melalui pemutaran video dokumenter perjalanan keduanya yang berdurasi 45 menit, yang dipandu oleh penyiar stasiun televisi Jakarta, Metro TV, Najwa Shihab, kabar tak sedap teruntai dimana-mana di luar Jakarta. Mereka menjadi saksi atas kemiskinan, keterisoliran, dan ketidakpedulian yang terasa mengental pada pulau-pulau itu. Pulau-pulau yang termarjinalkan.
Farid memaparkan contohnya kala berada di Taman Nasional Kutai. Saat itu, mereka harus memasuki hutan selama delapan jam hanya untuk mencari orang utan. Sedemikian lama mencari, tak kunjung mereka temukan. Kondisi pembalakan hutan di Kutai telah membuat orang utan kehilangan hutannya (saksikan film etnomusikal Hutanku Meratap).

Selain itu, contoh lain yang dikemukakan Farid adalah betapa tidak dikelolanya kekayaan alam di Mentawai, Sumatera Barat. Ia menyayangkan tidak adanya perguruan tinggi untuk mengkaji biologi atau kajian tentang keanekaragaman endemik di Mentawai.
“Banyak sekali berita yang belum dieksplorasi oleh kita sendiri,” kata Farid seperti menyesalkan.
Terkait dengan begitu kayanya kisah yang semestinya dapat disampaikan, Yunus menyayangkan segala keterbatasan yang mereka miliki.
“Kami sebenarnya ingin sekali dapat masuk ke pedalaman, namun seringkali waktu kami dibatasi dengan jadwal kapal,” keluh Yunus.
Ambruknya kehidupan sosial di banyak daerah namun tak banyak diberitakan lantas memberikan refleksi bahwa media massa selama ini terlalu dekat dengan kekuasaan, namun luput memberitakan kabar-kabar dari masyarakat. Hal inilah yang dikoreksi oleh Farid dan Yunus dalam ekspedisi mereka mengelilingi Indonesia.
“Perjalanan ini adalah perjalanan jurnalistik. Dulu, saya lebih banyak meliput dunia internasional dibanding meliput tanah air sendiri. Saya merasa tidak mengenal Indonesia. Ini salah satu alasan yang mendorong saya untuk melakukan ekspedisi ini,” aku Farid.
Hal ini diamini juga oleh Yunus.
“Indonesia ini terlalu luas. Selama ini kita hanya seolah-olah saling mengenal antara pulau satu dengan pulau lain, padahal tidak.”
Dalam tulisan Farid di situs ekspedisi ini, www.zamrud-khatulistiwa.or.id, memang tertulis suatu asas jurnalisme yang mereka anut.
“Jurnalisme, bagi kami, punya kewajiban menyuarakan orang-orang yang tak bersuara atau mereka yang suaranya jarang didengar. Tapi, dalam media massa kita, berita cenderung secara keliru hanya didefinisikan sebagai suara pejabat atau politisi. Mereka sudah terlalu banyak disuarakan. Sementara, suara orang kebanyakan, petani atau nelayan, apalagi di pulau-pulau terpencil, jarang sekali terdengar.”

Farid dan Yunus relatif bukan pemain baru di dunia jurnalistik. Selama 25 tahun Farid berkarir dalam dunia wartawan, ia pernah bekerja di sejumlah media Jakarta, diantaranya Majalah Tempo dan Republika. Jam terbangnya dibuktikan saat meliput Perang Bosnia pada 1992, runtuhnya Tembok Berlin pada 1989, pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 1988, serta ditambah pula dengan anugerah fellowship yang diperolehnya dari The Asia Foundation, USA, 1988. Sementara, rekan perjalanannya, Yunus, adalah seorang wartawan muda yang pernah berkecimpung di sejumlah media massa, diantaranya di sindikasi berita Pantau di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
“Usai perjalanan ini, saya mendapati bahwa saya ternyata tidak tahu apa-apa tentang Indonesia. Saya rasa, semakin banyak kita tahu tentang suatu tempat, semakin kita tidak tahu apa-apa,” ujar Farid pelan.
Inspirasi
Inspirasi untuk melakukan perjalanan menelusuri kawasan Indonesia bukan muncul begitu saja. Dalam situs www.zamrud-khatulistiwa.or.id, tertulis bahwa inspirasi terbesar dan terkuat untuk ekspedisi ini datang dari dua buku, yakni The Malay Archipelago (yang oleh penerbit Indonesia, entah kenapa, diterjemahkan menjadi Kepulauan Nusantara) karya Alfred Russel Wallace (1896) dan Mengejar Pelangi Di Balik Gelombang (2004) karya Fazham Fadlil.
“Seperti McCandless dalam Into The Wild, Fazham Fadlil mencampakkan kehidupan nyaman dua puluh tahun di New York (Amerika Serikat), untuk kembali ke kampung halamannya, di Kepulauan Riau, menggunakan kapal layar kecil melintasi Samudera Pasifik. Sendirian saja… Perasaan iri akan kefasihan Wallace dalam reportasenya tentang alam-manusia Nusantara, serta simpati kami pada rasa frustrasi Christopher McCandless akan modernitas semu, kepekaan sosial Che Guevara, dan kegilaan Fazham Fadlil yang menggumpal menjadi satu motivasi besar bagi kami untuk berangkat, melupakan sejenak ketakutan-ketakutan yang mungkin akan kami hadapi di perjalanan,” demikian tulis Farid di situs tersebut.
Perjalanan
Ekspedisi keliling Indonesia yang dilakukan oleh Farid Gaban dan Ahmad Yunus didokumentasikan melalui video berdurasi 45 menit, yang dimampatkan dari total durasi tujuh puluh jam. Video yang diproduksi oleh Watchdoc dan didukung oleh banyak pihak ini menampilkan suatu perjalanan demikian sederhana, namun mampu menyampaikan sesuatu yang demikian kaya.
Dalam melakukan penelusuran Indonesia ini, Farid dan Yunus didukung oleh dua sponsor, setelah sebelumnya mencoba mendekati puluhan calon sponsor lainnya.
“Selama ekspedisi ini, jika dirata-rata, setiap hari saya dan Yunus menghabiskan sekitar 200 ribu rupiah sehari. Selama sepuluh bulan, terhitung dengan pembelian peralatan pendukung, ekspedisi kami ini menghabiskan 350 juta rupiah,” ungkapFarid.
Saat berada di Kalimantan, keduanya sempat kehabisan uang. Alhasil, ekspedisi mereka juga terpaksa tertunda di tengah-tengah selama dua bulan.
“Saya masih ingat betul. Saya harus pinjam uang dua juta ke Dandhy untuk ongkos pesawat pulang,” kenang Farid sambil tertawa. Dandhy adalah produser Watchdoc.
Demi alasan biaya pulalah ternyata mereka memilih sepeda motor sederhana, Honda Win 100 cc yang dibeli bekas, sebagai kendaraan ekspedisi.
“Sepeda motor Yunus buatan 2005, sementara yang saya kendarai lima tahun lebih tua umurnya dari itu. Motor kami kalah cepat dari sepeda-sepeda motor bebek 125 cc yang banyak beredar di pasaran. Tapi, memang bukan kecepatan yang kami cari, tapi ketangguhan,” jelas Farid.
Dalam film dokumenter yang diputar, tergambar betapa roda kedua sepeda motor tua mereka memang tangguh melintasi aspal, jalan berbatu, berlumpur, serta sungai, juga bukit-bukit tinggi.

Tampak jelas pula kedua lelaki ini berganti turun naik kapal rotan, kapal feri penyeberangan, kapal kayu angkutan antarpulau, kapal pengangkut sayur, kapal perintis swasta yang disubsidi negara untuk melayani rute ke pulau-pulau terpencil, dan juga kapal besar milik PT. Pelabuhan Indonesia yang mengangkut ratusan orang.
Petualangan Farid dan Yunus mengantar mereka bermalam di kampung-kampung nelayan dan petani, serta beberapa kali berkemah di hutan pinggir pantai.
Gambar Farid dan Yunus yang mesti tidur berhari-hari di geladak, bawah tangga, di sekoci, di atas tumpukan rotan atau di atas timbunan karung jagung, atau di samping ikan hasil tangkapan, mengundang ketakziman akan upaya mereka dalam mewartakan suatu informasi dari ranah yang sepi. Apalagi, risiko yang mereka tanggung cukuplah tinggi.
“Kami berjalan tanpa beban apa-apa. Semua sudah kami pasrahkan,” ucap Yunus sambil mengangkat tangannya ke arah langit.
Selama perjalanan, keduanya menganggap bahwa para penghuni pulau, siapa pun, tidak berbeda dengan mereka. Sama-sama manusia. Yang mereka coba lakukan hanyalah melebur dengan masyarakat. Mereka tanggalkan identitas kewartawanan dengan tidak menjadi siapa-siapa. Rupanya, memang dengan cara demikianlah mereka berhasil mendapat cerita yang lebih banyak dan lebih jujur.
Untuk menuliskan banyak kabar tersebut, kedisiplinan menjadi kunci. Usai melakukan peliputan di suatu tempat atau wawancara, proses penulisan harus segera dilakukan. Tak boleh ditunda-tunda.
“Tantangan terbesar dalam ekspedisi ini adalah ketika harus segera menulis. Selesai melakukan perjalanan, kita harus langsung mendokumentasikan. Untuk itu, satu-satunya jalan adalah harus disiplin untuk segera menulis, tidak boleh menunda. Tantangan lainnya lagi adalah mencari hal-hal menarik dari setiap pulau.”
Menurut Farid, Yunus memiliki kelebihan dalam hal ini. Ia teruji dapat menulis dalam kondisi apapun, bahkan di tengah keramaian. Yunus dapat menulis di atas kapal, di benteng, dan dimana saja.
“Setiap selesai satu perjalanan, kita langsung upload foto di facebook. Dari sanalah kita mendapatkan reaksi. Reaksi inilah yang kemudian menyemangati kami untuk terus menceritakan lebih banyak, lagi, dan lagi,” tutur Farid.
Beberapa kisah perjalanan mereka juga dipublikasikan langsung oleh beberapa media. Sebut saja situs Berita Lingkungan dan juga sebuah radio di Brisbane, Australia.
“Kami juga mendapat masukan tentang lokasi mana yang sebaiknya dikunjungi atas saran teman-teman di facebook. Saya pikir ini adalah ekspedisi pertama yang dilakukan secara interaktif,” tutur Farid.

Dengan bantuan tim pendukung ekspedisi ini, seluruh hasil liputan Farid dan Yunus yang telah terdokumentasikan di website menjadi karya jurnalistik yang dapat digunakan oleh siapa pun, tanpa kecuali. Syarat penggunaannya hanya satu; mencantumkan nama dan sumber. Farid menyatakan bahwa tidak ada hak cipta (copyright) untuk seluruh hasil ekspedisi ini. Semua digratiskan untuk digunakan oleh masyarakat.
“Semua bisa menyebarluaskan. Kami tidak mencari uang dari hasil ekspedisi ini. Kami yakin kami bisa menghasilkan uang dari sisi yang lain. Biar miskin, tapi sombong,” kelakar Farid yang disambut gelak tawa dan riuh tepuk tangan para undangan yang hadir malam itu.
Masing-masing dari keduanya juga akan menerbitkan buku sebagai hasil reportase dari ekspedisi ini. Harapannya, perjalanan mereka mampu menginspirasi perjalanan-perjalanan yang dilakukan kaum muda Indonesia lainnya untuk mengabarkan tentang Indonesia, yang kaya raya sekaligus rusak di sana sini.
Comments with Facebook
perjalanan jurnalisme yang sangat menarik, dan memberikan kita inspirasi untuk lebih mengenali alam, masyarakat dan diri kita sendiri.
Tahniah.saya kagum dengan semangat dua saudara kita yang hebat dan luar biasa ini.
ekspedisi jurnalisme sdr farid gaban dan ahmad yunus ini saya ketahui melalui sahabat saya di batam, hasan aspahani.sebelumnya saya memang pernah membaca laporan liputan oleh farid gaban sewaktu beliau bekerja untuk majalah tempo.
semoga saya bisa juga menulis untuk menyuarakan yang tak bersuara.
Abd.Naddin Shaiddin, wartawan, utusan borneo, kota kinabalu, sabah malaysia.