Indonesia “Menjual Cincin Kawin”

“Kami orang Pulau Obi bukan orang miskin. Dari dulu, tanah Maluku kaya karena rempah-rempah. Kami punya pala. Kami punya cengkih. Orang Pulau Obi tak pernah kaya karena tambang. Tambang hanya bikin rusak dan buat miskin orang kami. Tapi mengapa tanah kami harus ditambang?”
Jefry Daeng, lelaki paruh baya warga Pulau Obi, mengatakan itu dengan suara yang lirih. Ia seperti menyimpan beban pikiran tentang masa depan pulau kelahirannya. Siang itu, Selasa (8/3), ia sengaja datang ke Jakarta hanya untuk didengar. Jauhnya jarak yang ia tempuh mengguratkan kelelahan yang menegas di wajahnya.
Jefri hadir sebagai narasumber dalam diskusi yang digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang. Dalam diskusi ini, hadir pula Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Abdul Halim, serta peneliti/investigator pertambangan pulau-pulau Nusa Tenggara Timur (NTT), Pater Kristo.
Diskusi bertajuk “Ekspansi Industri Tambang dan Penguasaan Pulau-Pulau Kecil” ini membuka serpihan kabar duka dari daerah yang jauh dari Jakarta, dari istana negara. Daerah yang suaranya kerap tak terdengar.
Pulau Obi adalah pulau kecil yang terletak di Halmahera Selatan, Maluku Utara. Pulau berluas 3.111 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 17 ribu jiwa ini memiliki empat kecamatan dan dua puluh desa. Sebagian besar terdiri dari Suku Galela dan Suku Tobelo, kemudian Suku Buton, Suku Ternate, Suku Tidore, serta sebagian kecil Suku Jawa. Semua berbaur di pulau yang berlimpah biji nikel, emas, pasir besi, dan batubara ini.
Besarnya hasil alam di pulau kecil ini mengundang gairah para investor pertambangan. Ketika Kecamatan Pulau Bacan dimekarkan menjadi Kabupaten Halmahera Selatan pada 2001, eksploitasi besar-besaran sumber daya alam terjadi bagai tanpa kontrol di Pulau Obi.
Jefri mengatakan, atas izin Kabupaten Halmahera Selatan, pulau kecil ini “dikeroyok” oleh lima perusahaan tambang, yakni PT. Aneka Tambang, PT. Gane Permai Sentosa, PT. Trimega Persada, PT. Gane Tambang Sentosa , dan PT. Obi Prima Nikel.

PT. Aneka Tambang sudah mencoba memulai eksploitasi pada 2003. Namun, menurut perhitungan pemerintah Halmahera Selatan, aktivitas perusahaan tambang milik negara tersebut tidak sesuai surat izin pertambangan yang keluar pada 2009. Melalui pengadilan, Aneka Tambang kalah di tahun itu dan akhirnya angkat kaki dari Pulau Obi.
Berbeda dengan Aneka Tambang, PT. Gane Permai Sentosa hingga sekarang masih melakukan operasi tambang di Pulau Obi. Padahal, di mata masyarakat Pulau Obi, Aneka Tambang dan Gane Permai Sentosa setali tiga uang; sama-sama dipandang sebagai perusahaan tambang yang perlu hengkang.
“Setiap bulan, satu juta ton tanah di Pulau Obi diangkut ke China. Mengingat izin pertambangan dikeluarkan untuk tiga puluh tahun, maka hanya dalam sepuluh tahun saja, sudah dapat dipastikan pulau kami akan tenggelam” ujar Jefri.
Apa yang dituturkan Jefri ini juga tertaut dengan peringatan dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menyatakan bahwa posisi Pulau Obi merupakan wilayah rawan gempa bumi. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gempa bumi di Pulau Obi, perlu dibuat zona kerawanan gempa bumi dan tsunami dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun, semua itu seakan tak terpedulikan.
Di tengah diskusi, Jefri mengungkapkan pula pernyataan salah seorang perwakilan Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim, Made Suarnatha, bahwa terdapat tujuh buah pulau kecil di Indonesia yang terancam tenggelam. Pulau itu adalah Pulau Nusa Penida di Bali, Pulau Bangka Belitung, Pulau Solor di Nusa Tenggara Timur, Pulau Wetar, Pulau Kai di Maluku, Pulau Gag di Papua, dan Pulau Obi. Pulau-pulau kecil di pesisir pantai ini rentan mengalami dampak buruk akibat perubahan iklim. Jika tidak ditangani secara serius, ia akan tenggelam. Pernyataan Made ini didukung pula oleh data dari United Nations Framework Convention on Climate Change yang menemukan bahwa telah terjadi kenaikan permukaan laut setinggi satu meter di seluruh dunia.
Selain itu, Jefri juga mengungkapkan bahwa di Pulau Obi, tepatnya di atas Desa Kawasi (lokasi tambang PT. Gane Permai Sentosa), terdapat satu buah danau besar dengan lebar empat kilometer dan panjang enam kilometer. Di atas gunung, terdapat pula dua danau kecil lainnya. Jika pertambangan di daerah ini tidak segera dihentikan, pecahnya danau-danau tersebut sudah dapat dipastikan akan terjadi.

“Ini dapat menyebabkan banjir wasior kedua untuk Pulau Obi,” tutur Jefri.
Senada dengan apa yang diungkap Jefri, Kristo pun menuturkan ketakutan yang sama berdasarkan apa yang ia teliti di Nusa Tenggara Timur.
“NTT kini telah dikepung oleh investasi sektor pertambangan secara besar-besaran. Hampir di semua kabupaten di NTT, dari ujung timur sampai barat, selatan sampai utara, pertambangan telah menjamur. Para bupati, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, tidak tanggung-tanggung mengobral dan menggelontorkan izin kuasa pertambangan secara masif,” ujarnya.
Menurut Kristo, semua izin dikeluarkan dengan tidak mengikuti mekanisme perundang-undangan, penuh manipulasi, dan berada di atas hak ulayat dan lahan pertanian rakyat.
Apa yang terjadi di Nusa Tenggara Barat juga pernah dilansir oleh Koran Pos Kupang (9/2), dimana masyarakat Desa Kajong, sebagai pemilik hak ulayat, merasa tidak pernah menyerahkan tanahnya kepada perusahaan pertambangan PT. Tamarindo.
Setelah paham hak-haknya telah diambilalih dan sumber-sumber hidupnya terancam, rakyat Nusa Tenggara Timur berulangkali melakukan penolakan secara terbuka. Hanya saja, sikap itu seringkali tidak pernah didengar oleh pemerintah. Hal ini senada dengan apa yang dialami Jefri dalam upaya menyelamatkan tanahnya.
“Tak ditanggapi pemerintah di daerah, saya datang ke Kementerian ESDM. ESDM bilang itu bukan kewenangan pusat. Kami dilempar-lempar,” tuturnya.
Mengenai carut-marut hukum dan tumpang tindih kewenangan dalam persoalan pertambangan di Nusa Tenggara Timur, Kristo pun lantas menuturkan satu kasus. Ia mengungkap keberadaan salah satu produksi mangan milik PT. Sumber Jaya Asia (SJA) di kawasan Hutan Lindung Nggalak Rego, Kecamatan Reok, yang menyebabkan eksploitasi besar-besaran tanpa izin pinjam pakai kawasan dari Menteri Kehutanan. Setelah didesak warga, perusahaan tersebut baru melakukan pengajuan pinjam pakai kawasan. Dan akhirnya, melalui surat Nomor S.41/Menhut-VII/2009, permohonan tersebut dinyatakan “tidak dapat dipertimbangkan dan permohonan ditolak.”
Penolakan tersebut didasarkan pada pasal 38 ayat 4, pasal 50 ayat 3, dan pasal 78 ayat 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan; bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Atas dasar itu, Kepolisian Resor Manggarai menghentikan aktivitas pertambangan dan menggelar hukum tindak pidana kehutanan.
“Namun, beberapa hari lalu saya mendapat berita bahwa Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia-red) memeriksa Kapolres (Kepala Kepolisian Resor-red) Manggarai terkait penanganan kasus ini yang dinilai melanggar disiplin kepolisian. Polres Manggarai diminta untuk menghentikan proses hukum dengan alasan persoalan SJA berada dalam wilayah hukum administrasi yang dimenangkan oleh SJA. Padahal, Kemenhut (Kementerian Kehutanan-red) sudah menetapkan kawasan itu sebagai hutan lindung dan permohonan pinjam pakai kawasan sudah ditolak. Lantas?“ tanya Kristo heran.
Kristo pun mengungkap kisah lain yang datang dari Pulau Sumba, pulau kecil dengan seribu hektar tambang emas PT. Fathi Resources dan 503 tambang biji besi PT. Sumba Prima Iron (anak perusahaan PT. Merukh). Wilayah pertambangan ini terletak di Taman Nasional Tanah Daru, Kabupaten Sumba Tengah, dan Taman Nasional Wanggameti di Sumba Timur. Taman nasional adalah sisa hutan dan palung air untuk sebagian besar Pulau Sumba. Secara umum, potensi hidrologi di wilayah Nusa Tenggara Timur, terutama air permukaan, tergolong kecil. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya akses sumber air permukaan untuk konsumsi dan kepentingan pembangunan. Alhasil, Nusa Tenggara Timur pun menjadi krisis air.
Sejak 2007, masyarakat telah melaporkan dugaan tindak pidana kehutanan yang dilakukan oleh Bupati Sumba Timur dan Gubernur Nusa Tenggara Timur kepada pihak kepolisian. Namun, Kristo menyayangkan proses hukumnya yang tidak jelas sampai hari ini.

Kristo juga mengisahkan bahwa di Pulau Timor Barat, di empat kabupaten, pemerintah setempat telah memberikan ratusan izin pertambangan. Ada indikasi, izin yang diberikan kepada perusahaan membuat rakyat menjadi buruh di lahannya sendiri, dengan risiko keselamatan kerja yang harus ditanggung sendiri pula. Perusahaan terima bersih tanpa terbebani dengan berbagai macam syarat dan tanggung jawab. Modusnya adalah perusahaan membeli lahan rakyat yang berpotensi mangan, lalu rakyat yang menggali, dan selanjutnya dijual kepada perusahaan.
Kristo lantas menarik kesimpulan, yakni tanpa mengikuti peraturan perundang-undangan mineral dan batubara, dan dampak negatif terhadap hidup berkelanjutan di Pulau Nusa Tenggara Timur, hampir dipastikan bahwa seluruh pertambangan di Pulau Timor ini adalah ilegal.
Padahal, Nusa Tenggara Timur yang termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil ini juga merupakan pulau yang tergolong relatif labil akibat sering terjadinya patahan-patahan. Pulau-pulau di Flores, Alor, Komodo, Solor, Lembata, dan pulau-pulau sekitarnya terbentuk secara vulkanik. Sementara Pulau Sumba, Sabu, Rote, Semau, Timor, dan pulau sekitarnya terbentuk melalui proses pengangkatan. Secara geologis, pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Timur terbentuk dari bebatuan muda dengan struktur tanah yang sangat labil.
Kristo memaparkan pula hasil penelitian di sejumlah gugusan kepulauan Sunda Kecil dari Hendro Sangkoyo, penulis buku Penjajahan dari Lubang Tambang: Temali Modal Asing, Utang & Pengerukan Kekayaan Tambang Indonesia. Hendro menyatakan bahwa kepulauan ini sedang mengalami pemburukan krisis sosial ekologis secara amat cepat. Proses penggurunan pulau-pulau kecil ini sama sekali berjalan di luar prediksi normal. Pemburukan krisis telah mengundang kecemasan akan keberlanjutan hidup manusia dan alam Nusa Tenggara Timur. Disebutkan bahwa manusia Nusa Tenggara Timur hanya punya waktu sekitar tiga puluh tahun ke depan untuk bisa menahan kecepatan laju kerusakan massif ini. Namun, di hadapan raksasa pertambangan, pulau-pulau kecil seakan tidak punya masa depan.
Dari sisi ekonomi, Kristo memaparkan pula bahwa telah terjadi penindasan dan penjajahan secara nyata dengan modelnya yang baru. Ketika sumber-sumber ekonomi diambilalih, maka masyarakat menjadi buruh di tanahnya sendiri. Setelah tanahnya hilang, mereka hanya menjadi buruh dengan gaji yang sangat rendah. Yang juga menyedihkan, hampir sembilan puluh persen pekerja tambang di Nusa Tenggara Timur adalah kaum perempuan.
“Banyak anak gadis buruh tambang hamil di luar nikah akibat berhubungan dengan karyawan tambang asal China atau pendatang,” keluh Kristo.
Semua dampak ini meresahkan masyarakat dan telah sukses menyulut gelombang aksi protes yang bermuara pada konflik, baik horizontal maupun vertikal. Baku bunuh antarkeluarga untuk saling rebut lahan mangan pun tak terelakkan. Dalam diskusi, Kristo memaparkan rentetan panjang kasus-kasus terkait pertambangan yang sudah menelan nyawa.
“Selama konversi lahan dari pertanian ke pertambangan secara besar-besaran ini terjadi, sudah ada 47 orang yang tewas tertimbun tambang mangan,” papar Kristo.
Kristo kemudian mengingatkan sebuah refleksi spiritualitas lokal yang menyatakan bahwa batu adalah tulang bumi.
“Kalau batu dihancurkan, maka bumi akan hancur. Dan ini bukan hanya mitos di kalangan masyarakat. Di antara bebatuan ada mata air sumber kehidupan. Batu adalah martabat manusia. Dalam batin masyarakat terpatri, hilang dan hancurnya batu akan sebabkan hilang dan hancurnya hidup yang berkelanjutan,” kata Kristo.

Sementara itu, program Adopsi Pulau yang dikeluarkan pemerintah pada Januari lalu melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan juga dipandang berbahaya oleh aktivis. Program ini, sebagaimana tertulis di situs www.dkp.go.id, memberikan hak pengelolaan pulau kepada pihak swasta dengan maksud mempercepat pengelolaan pulau-pulau kecil. Program yang dianggap terobosan ini diprioritaskan pada berbagai kegiatan pembangunan yang ramah lingkungan dan memberdayakan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah hidup di pulau tersebut.
“Program Adopsi Pulau adalah tawaran dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengajak swasta maupun Badan Usaha Milik Negara untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan ekonomi lokal di pulau kecil melalui fasilitas sarana dan prasarana maupun kemudahaan pengembangan usaha di bidang kelautan dan perikanan di pulau tersebut,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, Rabu (19/1), sebagaimana tertulis di situs www.kkp.go.id.
Dan pada Januari lalu, Kementerian Perikanan dan Kelautan telah membuat Nota Kesepahaman dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dan perusahaan swasta, di antaranya Conoco Philips Indonesia Inc. Ltd., Premier Oil Natuna Sea B.V., Star Energy (Kakap) Ltd., PT. International Nickel Indonesia (Inco), Tbk., dan Medco Energy.
Berdasarkan siaran pers dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rabu (19/1), Pulau Lepar, Pulau Enggano, Pulau Kemujan, Pulau Maradapan, Pulau Maratua, Pulau Sebatik, Pulau Siantar, Gilik Belek, Pulau Pasaran, Pulau Dullah, Pulau Koloray, Pulau Alor, Pulau Mansuar, Pulau Battoa, Pulau Selayar, Pulau Samatellu Pedda, Pulau Lingayan, Pulau Manado Tua, Pulau Gangga, dan Pulau Mentehage telah ditawarkan untuk diadopsi kepada pihak swasta.
Alih-alih merasa dilindungi, program ini justru menimbulkan kekhawatiran atas keselamatan manusia dan lingkungan dari pulau-pulau yang akan diadopsi tersebut.
“Program Adopsi Pulau berbahaya untuk keselamatan warga di pulau-pulau kecil. Ini adalah bentuk lepas tanggungjawab negara untuk menyejahterakan warganya pada pihak asing, pada pihak yang terbukti nyata melakukan pengerusakan lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat lokal,” kata Abdul Halim dalam diskusi yang sama.
Lebih lanjut, Halim meminta semua pihak untuk mengawal persoalan Adopsi Pulau yang dipandangnya sebagai program manipulatif untuk eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil. Ia juga meminta agar Mahkamah Konstitusi segera membacakan keputusan terkait uji materi Undang-Undang Pesisir Nomor 27 Tahun 2007 yang sudah diajukan sejak 13 Januari 2010 lalu.
Selain akan merusak daya dukung lingkungan hidup, Halim melihat bahwa program Adopsi Pulau akan semakin menyingkirkan masyarakat lokal dari tanah leluhurnya.
“Program adopsi pulau yang diprakarsai negera ini seakan (menunjukkan) bangsa ini sedang “menjual cincin kawin”. Kedaulatan bangsa ini sedang dipertaruhkan,” tegas Halim.
Bagi Halim, praktik “penggadaian” bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ini akan menempatkan Indonesia sebagai negara yang kian bergantung pada kemampuan asing. Komitmen negara untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia pun diabaikan.
Comments with Facebook
Eksploitasi penambangan yang tidak memenuhi kaidah dan peraturan yang berlaku ditambah dengan oknum bangsa yang rela menjual dan menggadaikan daerah dan sumber daya alam, semua itu adalah penyakit kronis bangsa kita…………… STOP PENAMBANG LIAR, dan ESKPLOITASI YANG SUSTAINABLE