Home Featured Dayango Dilarang, Banjir pun Datang

Dayango Dilarang, Banjir pun Datang

0
Bali Djama, wombuwa atau juru kunci yang menyayangkan pelarangan ritual dayango oleh pemerintah setempat. Foto-foto: Christopel Paino.

“Gorontalo kembali banjir. Meski ramai-ramai membuat tanggul dan kanal, tetap saja banjir kalau hutan terus dibabat. Pulohuta pasti marah dengan ulah manusia ini. Untuk mencegahnya kami biasa menggelar dayango. Tapi sayang, sekarang ritual ini dilarang pemerintah.”

***

Mendung perlahan mulai menutupi langit Desa Liyodu, Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, siang itu. Sudah sebulan lebih hujan tak henti-hentinya mengguyur desa yang letaknya di atas perbukitan itu. Seorang lelaki tua dengan kumis dan jenggot putih tanpa alas kaki memasuki rumah beratap rumbia. Ia Bali Djama, yang baru saja menggarap kebun yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari tempat tinggalnya.

Saat itu, waktu menunjukan pukul 12.00 siang. Saya menemui Bali Djama di tempat tinggalnya yang sangat sederhana. Wajahnya nampak lelah. Ia harus beristirahat sebentar untuk memulihkan tenaga sebelum kembali ke kebun.

Ia menggunakan celana pendek kecoklatan dan kemeja putih yang penuh noda becek, tanpa kancing. Tikar yang dianyam dari daun pandan menjadi tempat istirahatnya. Tikar itu dijadikan pula tempat untuk menjamu tamu di rumahnya. Tak ada kursi atau sofa.

”Meski ramai-ramai membuat tanggul dan kanal, tetap saja akan banjir kalau hutan terus dibabat. Kalau seperti ini. Gorontalo lama kelamaan akan tenggelam.”

Saya baru saja membuka percakapan soal banjir di Gorontalo. Bali Djama tiba-tiba langsung menjawab pertanyaan saya seperti itu.

Bali Djama adalah seorang wombuwa di Desa Liyodu yang letaknya di atas perbukitan. Dari Gorontalo, butuh waktu sekitar dua jam untuk mencapainya. Medannya berbatu dan berbukit. Wombuwa berarti juru kunci penjaga kebaikan alam sekitar yang ada di wilayah itu.

”Saya menjadi wombuwa sejak umur 25 tahun,” Bali Djama mulai bercerita sambil menghisap asap rokok dari daun aren miliknya. Ia menggunakan bahasa Gorontalo yang sangat kental. Ia kesulitan berbahasa Indonesia.

Nama asli Bali Djama adalah Djama Maini. Usianya 65 tahun. Bagi warga Gorontalo, sebutan “Bali” di depan nama itu berarti anak bungsu dalam satu keluarga. Karena Djama Maini adalah anak bungsu, maka panggilan Bali Djama menjadi akrab di telinga warga.

Bali Djama mempunyai kelebihan dalam membaca gejala-gejala alam. Ia bahkan dipercaya mampu menghentikan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi di desa itu.

”Di tempat kami memang beberapa kali terjadi banjir atau tanah longsor. Untuk mencegahnya, kami biasa melakukan ritual yang disebut dengan dayango,” ungkap Bali Djama.

Dayango adalah ritual untuk berkomunikasi dan memohon kepada para roh-roh leluhur penjaga gunung dan hutan agar menghentikan bencana yang melanda warga di sana. Dayango biasa dilaksanakan di tempat terbuka, seperti di lapangan yang terletak di tengah-tengah desa, atau kebun serta hutan. Para wombuwa meyakini, bencana seperti banjir dan tanah longsor terjadi akibat kemarahan roh penjaga hutan dan gunung.

”Mereka (roh penjaga hutan) marah dengan ulah manusia,” kata Bali Djama.

Namun demikian, sejak beberapa tahun belakangan ini, hingga sekarang, mereka seperti kesulitan melaksanakan ritual dayango tersebut. Penghalangnya adalah pemerintah. Warga dilarang menggelar ritual dayango. Sebab, saat ritual dilaksanakan, para wombuwa biasa menari-nari di atas bara api panas dan dianggap menyembah setan.

”Padahal dayango sudah turun temurun menjadi tradisi di Gorontalo,” ucapnya.

Terakhir kali mereka melakukan ritual dayango adalah pada sekitar tahun 2002 lalu. Di akhir ritual, kata Bali Djama, mereka sempat didatangi polisi; meminta untuk tidak lagi menggelar dayango. Polisi beranggapan dayango bisa menimbulkan kerumunan massa yang ingin menyaksikannya. Kerumunan massa yang banyak itu, kata polisi, bisa menyebabkan keributan.

”Alasan polisi memang tak masuk akal. Namun kami tak bisa berbuat apa-apa. Untuk membuat ritual dayango harus seizin mereka. Tapi biasanya kami tetap menggelar dayango tanpa sepengetahuan mereka,” cerita Bali Djama.

Untuk melaksanakan ritual dayango memang tak mudah. Para wombuwa harus menyediakan sesajen. Sesajen ini didapat dari sumbangan warga setempat. Tak tanggung-tanggung, isi sesajennya seperti sedang membuat acara syukuran. Sebut saja 150 butir telur masak, 30 ekor ayam, nasi kuning, nasi beras merah, ikan, pisang, singkong, pinang, tembakau, gambir, satu buah kelapa muda berwarna merah, daun aren, janur kuning, dan bunga polohungo (kemuning).

Semua sesajen itu dipisah menjadi dua bagian dan di letakkan di atas menara yang terbuat dari bambu setinggi dua meter. Untuk makanan seperti ayam, telur dan nasi kuning, ia di letakan di bagian atas menara. Sedang pinang, tembakau, daun aren, dan kelapa muda di letakkan di bawah menara.

Saat prosesi dayango akan dimulai, posisi wombuwa berdiri dan terlebih dahulu menghadap ke arah utara. Setelah itu menghadap ke barat, selatan, lalu ke arah timur. Wombuwa akan membaca mantra memanggil roh dari berbagai penjuru mata angin itu. Jika ada warga yang menyaksikan ritual dayango tersebut, maka posisinya harus duduk.

”Inti dari dayango ini adalah bertemu dengan Pulohuta,” ucap Bali Djama sambil melinting rokok dari daun aren miliknya.

Pulohuta, kata Bali Djama, adalah pimpinan roh dari segala roh-roh penjaga hutan dan roh penjaga gunung di wilayah itu. Bali Djama biasa berkomunikasi dengan Pulohuta. Ketika berkomunikasi dengan Pulohuta, Bali Djama meminta agar Pulohuta meredam amarahnya dan menghentikan bencana yang melanda warga, seperti tanah longsor dan banjir.

”Biasanya bencana seperti banjir atau tanah longsor juga disertai dengan wabah penyakit. Itu terjadi karena kemarahan Pulohuta yang begitu besar kepada manusia,” ujarnya.

Prosesi ritual dayango biasanya memakan waktu lama. Jika bencana melanda warga di desa, maka ritualnya memakan waktu sebanyak lima belas hari. Wombuwa sendiri juga akan berada di lokasi dayango hingga lima belas hari dan tetap berkomunikasi dengan Pulohuta. Warga yang ikut menyaksikan juga bisa meminta kepada Pulohuta melalui Wombuwa agar mereka disembuhkan dari penyakitnya yang dideritanya.

”Memang permohonan dari warga ini tidak langsung terkabulkan. Tapi mereka akan diberikan ketenangan dan kesehatan dalam bekerja,” ungkap Bali Djama.

Usai berkomunikasi dengan Pulohuta, Bali Djama biasanya langsung memberitahukannya kepada warga. Pulohuta, melalui wombuwa, menegaskan agar warga memperlakukan alam dengan bijak dan menggunakannya sebaik-baiknya bagi kebutuhan hidup. Jika ada yang menebang pohon, maka warga harus memperhatikan dengan seksama jenis pohon apa yang akan ditebang dan usia pohon yang hendak ditebang. Pada saat menebangpun, warga diwajibkan memasang rokok, lalu meletakannya di area pohon dan membiarkannya terus menyala.

”Memang kami tak bisa melarang kalau ada warga yang menebang pohon. Kami hanya memperingatkan. Tapi kalau ada yang melanggarnya, maka siap-siap menanggung resiko. Resikonya adalah si penebang pohon akan mengidap penyakit aneh, dan tentu saja bencana akan diberikan Pulohuta,” ungkap Bali Djama.

Bagi masyarakat, wombuwa adalah panutan. Masyarakat menjadikannya sebagai tokoh yang harus didengar jika ingin desa aman dari bencana alam. Dan ini tak hanya sebatas soal bencana. Jika ada salah satu anggota masyarakat yang sakit, wombuwa diundang layaknya dokter untuk menyembuhkan warga.

”Kami merasa sakit yang kami alami akan hilang dengan sendirinya. Selain itu, kami biasa diberikan air yang sudah ada doanya. Air itu adalah obat mujarab bagi kami,” ungkap Abdurahman Luawo, tokoh masyarakat di Desa Molanihu, desa tetangga yang biasa menggunakan jasa wombuwa.

Rumah penduduk di salah satu sudut Desa Liyodu, Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo.

Desa Liyodu memiliki tiga orang wombuwa. Salah satunya adalah Bali Djama. Sementara, dua orang lainnya biasanya berada dalam hutan untuk melakukan aktivitas mereka. Dalam kesehariannya, Bali Djama beraktivitas sebagai peladang. Ia memiliki kebun yang ditanami berbagai macam tanaman, seperti jagung, sayur-sayuran, kacang, dan juga cabai. Dari hasil kebun itu, ia mampu menghidupi istri dan lima anak serta enam cucu.

Belakangan, musim penghujan sering melanda wilayah mereka. Jika hujan terlalu sering dan dianggap berdampak negatif bagi hasil kebun mereka, Bali Djama biasanya meminta kepada roh untuk menghentikan hujan. Caranya, ia hanya berdiri dan menghadap ke atas langit sambil membaca mantra. Dan dalam hitungan menit, hujan akan berhenti atau berpindah tempat.

”Kalau untuk menghentikan hujan, kami biasa menyebutnya dengan Bupu,” kata Bali Djama.

Bali Djama mempunyai kelebihan itu berkat keluarganya. Dalam keluarganya, Bali Djama merupakan generasi keempat. Ayah dan kakeknya merupakan wombuwa sejak zaman dulu. Tak heran, ia lantas menjadi wombuwa dan ditetuakan oleh warga. Untuk mengantisipasi dikemudian hari tak ada penerus, ia telah mempersiapkan anaknya untuk menjadi wombuwa.

“Tidak ada syarat khusus untuk menjadi wombuwa. Yang jelas dia harus laki-laki dan terpenting mau belajar saja,” ungkap Bali Djama.

Banjir yang melanda Kota Gorontalo dan sebagian wilayahnya, kata dia, akibat ulah manusia yang tidak memperlakukan alam seperti halnya memperlakukan diri sendiri.

”Kadang sifat manusia itu tidak mengenal rasa puas. Mereka serakah. Hal seperti ini yang tidak disukai oleh roh leluhur. Maka ia akan mengirimkan bencana bagi anak dan cucu kita kelak,” tandas Bali Djama.

Bisa jadi apa yang diceritakan Bali Djama benar adanya. Banjir yang melanda Gorontalo disebabkan keserakahan manusia. Juga karena pemerintah tidak mengakui keberadaan ritual dayango yang mengajarkan kearifan dalam mengelola alam. Dan mungkin saja, banjir inilah yang menjadi kado terindah bagi Provinsi Gorontalo yang berusia 10 tahun, sejak dimekarkan dari Sulawesi Utara, 16 Februari 2001 lalu.

Christopel Paino Christopel Paino adalah seorang jurnalis kelahiran Gorontalo. Kini ia menjadi staf redaksi LenteraTimur.com di Jakarta dan anggota Divisi Media Perkumpulan Lentera Timur.

Comments with Facebook

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *