Lumpur Lapindo untuk Jakarta Yang Lupa

Raut muka lelaki-lelaki muda itu nampak malu-malu. Dengan kaos putih bertuliskan “There is nothing natural, Lapindo is behind it,” mereka berjajar di hadapan sekian pasang mata para pengunjung pameran; sekian pasang mata yang menanti kisah mereka.
Malam itu, mereka, para korban yang mesti menelan nasib pahit karena abainya pihak-pihak tak bertanggung jawab di balik semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, berupaya keras untuk berbicara demi berbagi kisah. Namun, bagi mereka yang gelisah, ternyata itu bukan hal mudah.
“Mohon maaf. Saya grogi…,” aku Heru pelan, salah seorang pemuda yang tak berhasil menyelesaikan kisahnya.
“Ndak usah pakai bahasa Indonesia, Ru, pakai bahasa Jowo ngoko saja. Biar lebih mudah ceritanya,” ujar salah seorang panitia.
Beberapa patah bahasa Jawa pun perlahan mengalir keluar dari mulut Heru. Tapi, tetap ia tergagap. Masalahnya bukan di bahasa memang. Cerita pun kembali tak selesai. Rangkaian kata ternyata sulit tersusun untuk mengekspresikan lipatan kekecewaan terhadap pengabaian demi pengabaian yang merenggut hak dasar mereka.
Namun, sesungguhnya malam itu Heru dan sembilan anggota Komunitas Korban Lumpur Lapindo lainnya telah berhasil menyampaikan kisah selugas-lugasnya melalui jepretan foto mereka. Ya, sebuah gambar memang selalu berhasil mewakili jutaan kata. Dan untuk pameran foto itulah mereka khusus datang ke Jakarta.
Foto-foto karya Heru dan kawan-kawan yang terpampang pada dinding-dinding dalam ruang Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, seakan menawarkan sebuah dialog. Dialog rasa antara rasa derita korban dampak semburan lumpur Lapindo dengan rasa kepedulian kita, para pelupa.
Semangat melawan lupa memang menjadi latar belakang Pameran Foto Komunitas Korban Lumpur Lapindo ini. Dengan memilih tajuk “Memori Bawah Tanah: Mengingat dan Memotret Hak-Hak Dasar Korban Lumpur Lapindo,” kegiatan ini berupaya membongkar kembali ingatan publik pada sebuah bencana di negeri ini. Bencana yang oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, demi menjawab tuntutan kelompok Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), diputuskan sebagai “bencana alam”.
Gambar-gambar karya Heru dan kawan-kawan mengajak kita kembali pada 29 Mei 2006 lampau. Sejak tanggal itulah tanah Sidoarjo, kampung halaman mereka, setiap harinya mengeluarkan sekitar 100.000 meter kubik material lumpur dari dalam bumi. Akibat semburan lumpur ini, hak-hak dasar warga terlanggar. Mereka kehilangan hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas informasi publik, hak perlakuan yang sama di depan hukum, hak atas kesehatan, dan hak-hak dasar lainnya.

Ahli geologi internasional, menurut situs panitia acara www.memoribawahtanah.lafadl.org, telah menyimpulkan bahwa semburan lumpur tersebut terjadi karena adanya underground blowout pada sumur eksplorasi gas Banjar Panji-1 (BJP-1) milik perusahaan minyak dan gas PT. Lapindo Brantas Inc. (PT LBI). Pemasangan casing (selubung pemboran) yang tidak sesuai dengan yang direncanakan menjadi faktor utama. Namun,dahulu perusahaan tersebut masih juga sempat bersikeras bahwa luapan lumpur dipicu oleh gempa 27 Mei 2006 di Yogyakarta.
Wakil Presiden Indonesia saat itu, Jusuf Kalla, mengeluarkan pengumuman bahwa PT. Lapindo Brantas Inc. harus memberikan kompensasi pada korban dampak semburan lumpur. Perangkat demi perangkat pun dibentuk oleh pemerintah pusat demi menangani persoalan ini. Bahkan, pada 25 Juni 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat pula berkantor di Wisma Perwira, Juanda Airport, Surabaya, Jawa Timur, dalam rangka mempercepat proses pembayaran kompensasi kepada para korban.
Namun, tindakan presiden seperti tak berarti apa-apa.
“Entah untuk apa presiden berkantor di Surabaya? Tidak menghasilkan apa-apa,” kata KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah), mantan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) saat membuka pameran pada malam itu.
Lumpur Lapindo memang telah terlanjur merendam sekian luas area terdampak. Area terdampak adalah daerah yang secara hukum dinyatakan menjadi lokasi yang terkena dampak bencana lumpur Lapindo. Ada tiga generasi keputusan hukum yang dilampiri dengan peta area terdampak ini.
Pertama, pada 22 Maret 2007, dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) 14/2007 yang menetapkan Desa Jatirejo, Siring, Kedungbendo, dan Renokenongo sebagai area terdampak. Pembayaran aset warga yang tenggelam dalam peta area ini merupakan tanggung jawab PT. Lapindo Brantas Inc.
Namun, pada Oktober 2008, PT Minarak Lapindo Jaya, sebuah perusahaan yang khusus didirikan oleh PT. Lapindo Brantas Inc. untuk memproses pembayaran kompensasi kepada para korban, mengirimkan sepucuk surat yang meminta pemerintah menangani tanggung jawab keuangan perusahaan. Permintaan itu diajukan karena problem likuiditas yang mereka hadapi akibat krisis keuangan global.
Surat itu ditujukan kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres 14/2007 jo Perpres 48/2008 jo Perpres 40/2009). Badan Penanggulangan itu hadir menggantikan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden 13/2006 untuk kemudian dibubarkan.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo diisi oleh serentetan panjang jabatan. Sebut saja Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perhubungan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Gubernur Provinsi Jawa Timur, Panglima Daerah Militer V/Brawijaya, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, dan Bupati Kabupaten Sidoarjo. Jabatan-jabatan inilah yang telah dibayar oleh uang rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk melenyapkan penderitaan korban semburan lumpur Lapindo. Namun nyatanya, jabatan itu tak cukup kuat untuk sekadar mengurangi derita korban.
Generasi area terdampak kedua kemudian diputuskan melalui Peraturan Presiden 48/2008 yang memasukkan tiga desa di sebelah selatan tanggul, yakni Desa Besuki di sebelah barat tol Surabaya-Gempol, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan. Pembayaran aset warga yang masuk ke dalam peta area ini, tidak seperti sebelumnya, diputuskan untuk dibayar oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bukan lagi oleh PT. Lapindo Brantas Inc. Kompensasi pembayaran pertama total untuk 11 warga (25 file) di Desa Siring selesai pada tanggal 28 Mei 2008. Namun, hingga kini, ribuan keluarga masih tidak dibayar secara penuh.
Peta area terdampak ketiga didasarkan oleh Peraturan Presiden 40/2009 yang memasukkan Desa Siring dan Jatirejo di sebelah barat Jalan Raya Porong serta tiga wilayah Rukun Tetangga di Desa Mindi yang terletak di sebelah selatan tanggul. Dalam Peraturan Presiden tersebut, pemerintah membebaskan kewajiban PT. Lapindo Brantas Inc. dalam operasi penanggulangan lumpur, termasuk menghapus kewajiban untuk menanggung biaya penyaluran lumpur ke sungai Porong dan biaya sosial lain. Semua ongkos dialihkan pada pembiayaan melalui uang rakyat.
Di luar desa-desa terdata di atas, banyak pula area yang secara faktual terdampak seperti tujuh Rukun Tetangga di Desa Besuki di sebelah timur jalan tol Surabaya-Gempol, Desa Ketapang, Desa Gempolsari, dan beberapa desa di sebelah timur tanggul lumpur. Dampak yang dirasakan desa-desa ini bervariasi, mulai dari kemasukan lumpur sampai dengan tercemarnya air tanah sehingga warga terbebani untuk mesti membeli air untuk minum dan memasak.

Di luar persoalan ekonomi yang kompleks, perpindahan massal yang dilakukan karena terpaksa (forced migration) juga tak terhindarkan. Lebih dari sepuluh ribu Kepala Keluarga meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Tak ayal, bencana kultural pun tak terelakkan.
Dalam uraian latar belakang kegiatan ini, Lafadl Initiatives dan Hivos sebagai penyelenggara menyebutkan bahwa warga yang tak berdaya terpaksa meninggalkan sejarah dan cara mereka hidup dalam berinteraksi satu sama lain. Warga tercerabut dari jejaring sosial tempat mereka selama ini mengidentifikasikan dirinya.
Penyelenggara pun memandang perlu adanya kegiatan kultural yang bisa menghidupkan kembali memori kolektif warga korban akan peristiwa budaya, relasi, dan interaksi sosial yang tertinggal di bawah lumpur. Bangkitnya memori kolektif warga korban diharapkan dapat memperkuat kembali ikatan kultural dan mencairkan ketegangan yang selama ini mengemuka. Ke luar, kemunculan memori kolektif diharapkan bukan saja sebagai penguat solidaritas publik kepada korban lumpur yang mulai tenggelam karena hiruk-pikuk isu-isu kekinian, tetapi juga sebagai penanda kepada publik agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa depan.
Kegiatan workshop dan pameran foto yang berlangsung selama 4-7 Januari 2011 ini pun melibatkan warga yang mengalami getirnya hidup berpindah-pindah dan beberapa pekerja seni di Indonesia. Workshop dilakukan selama dua hari dengan materi fotografi dasar dan hak-hak dasar manusia.
Umumnya para peserta workshop memotret hal-hal yang secara langsung berkenaan dengan lumpur, seperti rumah tenggelam atau luapan bubble gas. Dalam pameran ini, kita dapat melihat sebuah warung padang yang kini beralih fungsi menjadi lahan parkir, atau rumah kos-kosan yang kini tinggal puing-puing karena ditinggal pemiliknya setelah terkena dampak lumpur. Ada pula foto patung burung garuda yang teronggok penuh lumpur; semacam simbol lumpuhnya negara. Di sinilah bahasa gambar terasa menghentak dan membuat terhenyak.
Foto-foto yang dipamerkan beragam dan menyentuh banyak ranah. Sugeng, salah seorang peserta, memilih memotret para wisatawan yang menonton danau lumpur di atas tanggul lumpur. Ada pula karya Yanto tentang Cak Sulkan, seorang penjahit di Siring Barat yang rumahnya juga nyaris ambruk tetapi masih ia manfaatkan untuk lokasi menjahit. Tengok pula karya Hamzah yang memotret Cak Jo, bekas santri, orang Kedung Bendo yang gila karena kehilangan rumah sehingga isterinya tak mengakuinya lagi. Sementara, Kaminah memilih berfokus mendokumentasikan para perempuan korban dampak lumpur Lapindo yang menjadi tulang punggung keluarga; seperti menjadi tukang ojek di tanggul, pengrajin rumahan, pedagang keliling, dan seterusnya. Salah seorang peserta, Intan, juga sempat memotret petani yang sedang merawat adik perempuannya yang lumpuh.
“Kegiatan ini penting untuk mengingatkan kita semua yang lupa akan bencana lumpur Lapindo ini. Kita lupa, warga Sidoarjo lupa, bahkan Presiden pun ikut lupa. Semoga ke depan, kita mendapatkan pemimpin yang tidak mudah lupa dengan penderitaan rakyat,” ungkap Gus Sholah.

Gus Sholah pun memberi catatan bahwa jika saja ada yang bisa menuliskan kisah para korban dampak semburan lumpur Lapindo, tentu akan sangat menarik. Hal ini diamini oleh Nur Kholis, Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selama ini aktif terlibat dalam berbagai tim penyelidikan kasus Lumpur Lapindo.
“Satu korban pasti akan membawa satu cerita yang berbeda. Kesamaannya, semua cerita itu adalah cerita duka,” ujar Nur Kholis.
Kedukaan itu memang mengendap ketika kita meninggalkan ruangan pameran. Ada apresiasi dan ketakziman terhadap perjuangan Heru dan kawan-kawannya, yang telah membuktikan bahwa dalam kondisi minimal, mereka tetap dapat menciptakan karya berkualitas optimal. Gambar-gambar karya mereka memberi pesan bahwa para korban semburan lumpur Lapindo masih menderita dan kita tak boleh lupa. Ada yang mesti bertanggung jawab.
“Lumpur Lapindo ini harus dipertanggungjawabkan dengan benar. Tidak dapat selesai hanya dengan sekadar membelikan tanah untuk PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia-red). Apa yang sudah hitam tidak dapat begitu saja ditutup dengan yang putih semacam itu…,” jelas Gus Sholah.
Comments with Facebook