Home Geopolitik NKRI Belum Final

NKRI Belum Final

3
Panitia Pekan Indonesia Penuh Warna beserta Narasumber Diskusi “Peranan Media dalam Integrasi Bangsa” pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda. Foto: LenteraTimur.com/Ken Miryam Vivekananda Fadlil.

“Daerah kami sudah bisa mandiri, tapi kenapa Jakarta masih memegangi kaki kami?”

Demikian bisik salah seorang peserta Konsolidasi Nasional Bhinneka Tunggal Ika II kepada Lenteratimur.com di tengah acara Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (28/10).

Kabar dari daerah memang selalu kabar duka. Kabar inilah yang coba ditampung oleh Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) beserta jaringannya. Acara ini adalah bagian dari rangkaian Pekan Indonesia Penuh Warna (25-31 Oktober 2010) yang merupakan kelanjutan dari Konsolidasi Nasional Bhinneka Tunggal Ika I di Surabaya pada 2006 silam.

Hari itu, ruangan Puri Agung Venue marak diisi oleh lebih dari 450 peserta yang berasal dari 33 provinsi di republik ini. Mereka membawa identitas kedaerahannya dengan mengenakan baju adatnya yang cantik dan menarik. Sebagian dari mereka nampak menggigil kedinginan. Namun, di tengah hawa dingin ruangan hotel, situasi dialog justru memanas.

Sesi Dialog Nasional Tokoh Lintas Generasi siang itu dipenuhi oleh suara-suara dengan getar emosi tinggi. Suara itu umumnya datang dari para peserta yang berasal dari timur negeri ini.

“Sampai hari ini kami tidak tahu ujung pangkal persoalan konflik Maluku ada dimana. Jadi apa kerja pemerintah? Rasanya memang lebih baik kami dijajah oleh bangsa asing daripada dijajah oleh bangsa sendiri,” demikian keluh salah seorang perwakilan Maluku.

Nada yang sama juga datang dari Papua.

“Sejak 1963, Papua diakui sebagai bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Namun hingga kini tidak ada satu pun kasus kekerasan Papua yang dapat terungkap. Bangsa Papua bagai mangsa empuk untuk dimakan oleh bangsa sendiri. Orang Indonesia seakan tidak mengakui bahwa kami adalah bagian dari mereka. Meski demikian, suka tidak suka, kami memang tidak akan keluar dari Indonesia.”

Berlawanan dengan arus kekecewaan tersebut, salah seorang peserta mencoba langsung mempertanyakan solusi.

“Saya menolak untuk menyebutkan saya berasal dari daerah mana, selain berasal dari Indonesia. Untuk apa kita masih berbicara bagaimana hitamnya nasib kita di daerah? Kita berkumpul di sini untuk berkonsolidasi. Jadi yang perlu kita lakukan sekarang adalah bertanya; harus apa kita sekarang?”

Berdasarkan hasil konsolidasi yang telah mereka lakukan, memang terkuak bahwa masalah di negeri ini seakan tidak ada habisnya. Ada eksploitasi dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada masyarakat lokal. Birokrasi pemerintah pusat pun cenderung dirasa lebih berpihak pada investor, bukan pada rakyat. Selain itu, sangat terasa kurangnya akses sarana dan prasarana pendidikan.

Kepedulian pemerintah secara positif dalam penguatan integrasi menjadi hal yang mutlak diperlukan. Namun, memimpikan integrasi yang kuat tanpa peranan media yang memiliki visi pluralisme di dalamnya adalah sebuah kesia-siaan. Integrasi nasional akan selalu terganggu jika media masih mengangkat isu-isu dari kacamata Jakarta sebagai pusat.

“Proses integrasi adalah proses menjadi yang akan berlangsung seumur hidup… Hanya pertukaran sudut pandang yang berbedalah yang akan melahirkan kekitaan. Dan satu yang perlu diingat, potensi rusaknya integrasi adalah karena penguasaan ruang ekonomi. Medialah yang membantu menciptakan diskursus agar ruang ekonomi dibebaskan dari dominasi tertentu. Jika tidak, ini akan menjadi sebab menyempitnya lokalitas, menyempitnya pembuluh darah integrasi bangsa,” kata Saur Hutabarat, Direktur Pemberitaan Harian Media Indonesia, dalam sesi Diskusi “Peranan Media Massa dalam Integrasi Bangsa”.

Selain Saur, sesi diskusi tersebut dihadiri juga oleh Prof. Qasim Mathar (akademisi dari Sulawesi Selatan), Sophia Maypaw (Anggota Dewan Perwakilan Daerah Papua), Dr. Phill Zainul Fuad (Akademisi dari Sumatera Utara), Eva Sundari (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat), dan Maria Hartiningsih (Jurnalis Harian Kompas).

Wacana dari Saur kemudian membuka isu mengenai sistem federasi. Namun, dari perbincangan LenteraTimur.com dengan salah seorang peserta asal Poso, Sulawesi Tengah, isu sistem federasi sebenarnya sudah ramai dibicarakan di kalangan peserta. Hanya saja, entah kenapa, dalam konferensi pers, panitia sama sekali tidak menyinggung akan hal tersebut. Isu federasi mengemuka ketika Saur memberikan pernyataan penutupnya.

“Saya hanya sekadar mengingatkan bahwa media tidak boleh ikut terlarut bahwa sistem NKRI adalah sistem pemerintahan yang final. Masih terbuka pintu bagi amandemen konstitusi.”

Pernyataan Saur ini pun kemudian diamini oleh perwakilan dari NTT.

“Indonesia adalah konsep baru untuk kami di daerah. Setelah tahun 1945 baru kita bersepakat menjadi Indonesia. Sebelumnya, yang kami kenal adalah konsep kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri. Kenapa kita mesti takut dengan wacana federasi? Jadi, NKRI belum final. Menjadi Indonesialah yang mesti menjadi pilihan yang final.”

Pernyataan tersebut disambut tepuk tangan yang riuh dari peserta.

Tak hanya identitas daerah yang sedang mengalami persoalan, identitas keyakinan beragama juga sedang mengalami ujiannya di Indonesia. Belakangan, republik memang sedang diwarnai oleh praktek-praktek diskriminasi agama dan dan keyakinan.

Dalam sesi dialog yang berbeda, yang bertema “Membangun (kembali) Karakter Kebangsaan”, anggota Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid mencontohkan sebuah kisah. Dalam kenangannya terhadap almarhum Asmara Nababan, Usman menceritakan bahwa Komisi Penyelidik Kasus Timor-Timur pernah dituduh sebagai antek Yahudi oleh kelompok Front Pembela Islam.

Pada saat pemeriksaan jenderal-jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diduga terlibat, almarhum Asmara Nababan dan almarhum Munir menghampiri Habib Rizik yang sedang melakukan doa.

“Saya berdoa untuk jenderal-jendera Islam yang sedang diperiksa di dalam,” ujar Sang Habib. Padahal, kata Usman, saat itu pemeriksaan berlangsung untuk jenderal-jenderal yang bukan Islam.

Menurut Usman, kisah itu menunjukkan adanya kebencian membabi-buta terhadap mereka yang berbeda. Kepekaan atas nilai-nilai kemanusiaan, naluri dasar yang sudah ada sebelum agama diturunkan, seakan lenyap entah kemana.

Farkha Ciciek, salah sorang narasumber dalam dialog itu menyatakan kerinduan akan kembalinya romantisme multikultur di negeri ini.

“Saya telah hidup dalam keberagaman sedari kecil. Dan banyak pula keluarga-keluarga di Indonesia ini terbangun dari berbagai suku seperti keluarga saya. Jadi sadarilah, jika Indonesia pecah, akan banyak hati yang ikut pecah.”

Nyaris seluruh peserta dialog menyayangkan kecenderungan negara yang kerap absen ketika dihadapkan pada permasalahan-permasalahan daerah. Ada pembiaran dari negara yang menciptakan kerusakan lingkungan, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan spiritual yang luar biasa parah hampir di seluruh daerah.

Aliansi yang menggagas acara ini pun mencoba membuka peluang momentum kebangkitan masyarakat sipil untuk dapat mempengaruhi setiap kebijakan publik yang memihak pada mereka yang termarjinalkan.

“Hasil rekomendasi dari Konsolidasi Nasional ini akan menjadi masukan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam membuat kebijakan publik,” ujar Nia Sjarifudin, Sekretaris Jenderal Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika.

Ken Miryam Vivekananda Fadlil Ken Miryam Vivekananda Fadlil adalah mantan pengajar di Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Kebudayaan Universitas Indonesia. Kini, pemerhati kearifan lokal untuk pendidikan anak usia dini ini menjadi staf redaksi LenteraTimur.com di Jakarta sekaligus ketua divisi pendidikan Perkumpulan Lentera Timur.

Comments with Facebook

Comment(3)

  1. Makanya jangan komentar en perang melulu tapi ngga baca sejarah hubungan internasional….baca dong hasil KMB 1949 yang asli…..disitu jelas semua wilayah Hindia Belanda kecuali Papua masuk NKRI ato Indonesia…nah disitu juga disebutkan setelah setahun akan dibahas kembali wilayah Papua apakah akan jadi milik Indonesia atau Belanda meskipun Belanda ngeyel yang mengakibatkan Sukarno make jalur diplomasi dan menang…..dari situ aja udah jelas rakyat papua sendiri ngga pernah dianggep sama dunia internasional untuk merdeka sendiri…..yang ada cuman dua pilihan jadi wilayah Belanda or jadi wilayah NKRI..emang rakyat Papua berjuang pas jaman belanda untuk membebaskan diri dan merdeka sendiri? jadi jangan salahin Indonesia wong tanpa Indonesia menangin papua kemerdekaan papua tetep ngga diakuin kok sama dunia internasional (kalio ngelihat logika Australia yang nganggep Aborigin itu baru diakuin tahun 1970 an sebagai manusia maka asumsi saya bangsa Papua juga kayaknya tidak diakui sebagai manusia oleh inggris dan belanda sampai dengan tahun segitu satu2nya yang diakuin kayak PNG adalah utk alasan politik membendung kekuatan Indonesia dan Sukarno bukan utk alasan kemanusiaan)….yang ada juga kalo ngga Indonesia yang ngebebasin papua….papua masih jadi koloni belanda toh… ato apa emang lebih seneng jadi koloni Belanda trus jadi commonwealth Belanda? mau ngikut jadi PNG ato suriname? Seolah2 Belanda ngga bakal ekspolitasi kawasan tembaga pura aje…kalo ngga Indonesia ya pasti Belanda yang ngeruk. Cuman tetep aja papua ngga bakal dimerdekain soalnya ada emasnya ama Belanda…nggak kayak PNG ato Suriname yang miskin. Kalo masalah pelanggaran HAM sudahlah saudara2 kita yang lain juga menderita sama kok kayak di papua kayak di Aceh dll…itu memang salah pemerintah…tapi toh pemerintah Indonesia berusaha memperbaiki…ngga kayak pemerintah barat yang tidak menggubris…hanya mengeruk…dan nyalahin pemerintah Indonesia yang sudah berusaha memperbaiki keadaan. Trus jangan nyalahin sejarah deh…kayak Papua bakal bisa mandiri aja tanpa Indonesia…yang ada juga jadi Timor Leste…merdeka tapi miskin. Kalo ngga percaya..liat negara sebangsa melanesia…ada ngga yang maju…kalo ada mungkin bangsa Indonesia yang harus belajar…kalo ngga…ya berarti sebaliknya. Peace

  2. ide tentang Indonesia memang disusupkan belakangan, seperti sebuah aneksasi ide. tiba2 mereka muncul dengan semangat yang seakan2 sama dgn yang dimiliki bangsa lain di luar jawa sumatera.

    1. Saudara, sebetulnya, INDONESIA itu apa sesungguhnya? Negara, bukan. Bangsa, bukan. Lalu Indonesia itu apa sesungguhnya? Dari mana datangnya Indonesia itu? Dan untuk apa dimaksudkan dengan Indonesia itu? Selama ini, tidak ada anjuran atau keterangan yang jelas yang datangnya dari Sukarno sebagai pembentuk dan pendiri Indonesia itu untuk di maklumi apa maknanya, membuat semua orang buta menjelaskan apa sesungguhnya itu Indonesia. Jawa, kita tau,Sumateran kita tau, Maluku kita tau, Papua kita tau, Kalimantan kita tau, NTB kita tau, NTT kita tau, Sulawesi kita tau, semuanya kita tau, tapi Indonesia itu apa yang anda tau? Itukan hanya satu ISTILAH MISTERIUS yang belum pernah terungkap maknanya. Lalu bagaimana sampai Indo Nesia misterius itu, dipaksa untuk diakui sebagai bangsa dan negara? Lalu akibatnya, rakyatlah yang menjadi korban kebiadan dan keganasan para penguasa secara sewenang wenang memaksa siapa saja untuk mengakui Indonesia itu bangsaku dan negaraku. Tapi apakah saudara tidak merasa bersalah kalu memaksa orang lain seenaknya saja untuk mengakui dirinya itu Indonesia? Setelah itu dibuatlah UUD 1945 dan KUHPRI 1958 seperti dekritnya Sukarno pada tanggal 5 juli 1959 di Jakarta. Akibatnya semua orang dihukum dan dituduh bersalah dengan penggunaan hukum dan undang undang kepalsuan dan ilegal itu. UUD 1945 dan KUHPRI 1958 adalah taktik Sukarno dalam membela kejahatan dan penipuannya dalam membentuk NKRI secara serampangan. Lalu semua itu saudara katakan bahwa, NKRI itu negara merdeka dan berdaulat? Itu namanya tipu diri dan menipu orang lain. NKRI adalah bukti nyata dari pemerintahnya ikut terlibat dalam berbagai Persekongkolan Kejahatan Berat International ( Complot-Theorie) dan Vriendjes Politiek (nepotisme).

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *