Mentawai, Tertatih dan Tampak Sendirian

“Ale sateteumai, saukuimai, anaikai pananaba. Anai kusabakai leleu. Bui masisibagamai, belek butetloina, mugaugaukai senek, mulamaukai seteteumu. Belek batak pangurepkai aikok bibiletmui. Sakit pugaugaumai sakit loinak. Mugaugau kai senek peuguaka kan, tubumai lorakkan loinak.”
(Wahai nenek moyang kami, kami mau membuka ladang, kami mau membabat hutan ini. Jangan marah bila kayu ditumbangkan. Bila kami ribut, berteriak di sini dan menanam tanaman, izinkan kami memberikan kekayaan kami, potongan kain, sebagai pengganti kayu yang ditumbangkan. Oleh karena itu menjauhlah nenek moyang agar tidak tertimpa pohon tumbang).
25 Oktober 2010. Tsunami datang lagi menyapa Indonesia. Dengan kekuatan 7,3 Skala Richter, ia menyapu wilayah pantai Pagai Selatan, Pagai Utara, dan Pulau Sipora, di Mentawai, Sumatera Barat. Tak kurang dari 15 dusun rusak dengan tujuh dusun rusak parah. Dua diantaranya adalah yang terburuk: Dusun Munthe Baru-Baru dan sebuah kampung lain di Desa Balerasok.
Tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa. Jenazah-jenazah tersebar di beberapa kampung di tiga desa, yakni Desa Batumonga, Malokapak, Sinakak, dan Desa Silabu. Tak hanya ini. Masih ada penduduk lain di pulau Siruso, Siopasaberu, dan Siopasigoriso yang tak luput dari intaian tsunami.
Eksotika Mentawai
Sebelum tsunami, Mentawai memiliki banyak pulau indah berpasir kuning gading. Ombaknya sangat ideal untuk olahraga berselancar. Sebagai kawasan bernilai wisata, ia mulai dikenal pada pertengahan 1990, ketika secara tak sengaja seorang peselancar dari Australia menemukan bahwa ombak Mentawai begitu baik. Sejak saat itulah Mentawai ramai dikunjungi oleh turis. Bahkan, ombak di Mentawai disebut-sebut sebagai surga ketiga bagi para peselancar.
Sementara itu, enam puluh persen kekayaan alam Mentawai termasuk kategori endemik langka. Contohnya adalah Siamang Kerdil. Karena keberagaman flora dan faunanya, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) pun menerapkan Siberut, yang juga berada di Mentawai, sebagai taman biosfer.
Karakter dan sejarah masyarakat Mentawai pun tak kalah menarik untuk disimak. Orang-orang Mentawai diperkirakan telah menempati pulau itu sejak tahun 200 Sebelum Masehi. Mereka bermigrasi dari utara melalui Pulau Siberut kemudian bergerak ke selatan menuju Sipora dan Pulau Pagai. Dan dari segi bahasa, adat, dan tradisi, Mentawai sangat berbeda dengan Sumatera Barat, provinsi induknya.
Menyatunya Alam, Kebudayaan, dan Spritual
Dalam kesenian, Mentawai memiliki tarian turuk laggai. Tarian tersebut menyimbolkan binatang yang ada di sekitar mereka. Dahulu, tarian ini kerap meramaikan keseharian mereka yang selalu terkait dengan alam. Mereka menyatu dengan lingkungan dan memiliki kearifan tersendiri sebagai sistem merawat lingkungan. Kepercayaan ini diwariskan oleh nenek moyang mereka melalui kepercayaan Arat Sabulungan, kepercayaan kepada roh-roh gaib.
Orang Mentawai mempercayai bahwa seluruh mahluk dan benda di alam semesta ini memiliki jiwa (kina). Alam semesta juga dipenuhi roh (simagere). Agar harmoni tercipta, hubungan kina dan simagere ini ini harus dijaga agar tetap manis. Masyarakat Mentawai percaya, hutan, sungai, gunung, perbukitan, hutan, laut, rawa, dan sebagainya, dijaga oleh lakokaina yang memiliki peran mendatangkan sekaligus menahan rezeki. Dalam tradisi membuka ladang, tersebutlah mantera yang mengawali tulisan ini hadir untuk meminta izin pada lakokaina. Ada tradisi untuk memegang adab dan kesantunan terhadap alam. Hal ini sungguh jauh berbeda dengan kondisi saat ini, dimana pembalakan hutan begitu marak dan dilakukan tanpa perhitungan dan nilai-nilai yang mengakar.
Ketika media serta agama-agama dari negeri lain masuk ke pedalaman Mentawai dan berinteraksi langsung dengan berbagai etnis lainnya, masyarakat Mentawai menemukan pemahaman berbeda mengenai alam. Kepercayaan pada Arat Sabulungan yang erat dengan fungsi dan peranan kerei (pemimpin spiritual) pun lambat laun terlupakan. Mentawai, atau Bumi Sikkerei, sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, mulai tercerabut dari budayanya.
Kerei kini berfungsi tak lebih sebagai obyek wisata di Mentawai. Padahal, kerei yang sesungguhnya dipilih oleh Taikamanua (penguasa langit), bukan oleh rimata (kepala keluarga) atau sikebukkat uma (kepala suku) belaka. Taikamanua adalah penguasa tertinggi alam semesta yang terdiri dari tiga bagian, yakni dunia bawah, dunia tengah, dan dunia atas.
Mentawai Tak Disiasati
Kepulauan yang dikenal sebagai “Galapagos Indonesia” ini telah menjadi daerah kabupaten sejak 4 Oktober 1999. Namun, di tahun ke-11, Mentawai masih tertatih-tatih. Alam Mentawai sangat kaya dan subur, namun ia cenderung lemah dalam ketahanan pangan lokal. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan makanan dari Padang maupun Bengkulu dan persoalan infrastruktur.
Mentawai memang sulit untuk diakses. Gelombang lautnya terbilang ganas. Badai laut pun sering melanda kepulauan ini. Dan sudah sejak lama Kepulauan Mentawai tercatat sebagai salah satu dari sekian banyak wilayah rawan bencana di Indonesia.
Akan tetapi, karakter alam Mentawai tak membuat pihak berwenang menjadi waspada. Bencana gempa dan tsunami silam di Mentawai tidak dijadikan titik tolak untuk menyusun konsep yang jelas tentang bagaimana seharusnya pembangunan kepulauan yang berbasis bencana. Tidak pula dirancang sistem keterlibatan masyarakat adat untuk merancang model pembangunan yang dapat mencegah jatuhnya korban ketika alam bergerak ekstrim. Alhasil, masyarakat desa dan pulau kini seakan mesti menolong dirinya sendiri. Sulit untuk menghindari kesan adanya penyepelean terhadap dampak bencana dan nyawa manusia.
Abainya pihak berwenang terhadap nyawa manusia tampak menjelang tsunami. Sewaktu gempa, terjadi, Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG) sudah memberikan peringatan bahwa gempa akan disusul dengan tsunami. Namun, tak lama berselang, lembaga otoritas ini mencabut peringatan tersebut, betapapun jarak Pagai dan pusat gempa hanya berjarak 78 kilometer.
Pada saat yang sama, detektor tsunami yang dipasang di laut lepas di sekitar pusat gempa Pagai ternyata tak berfungsi. Alat-alat pantau deformasi kerak bumi dalam struktur Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (INA TEWS) tak mampu melacak gelagat.
Sebetulnya, ada buoy milik Jerman di dekat Pulau Pagai Selatan. Buoy adalah instrumen utama pendeteksi tsunami yang berbentuk mirip dinamo sepeda. Bentuknya silindris dengan perangkat penghasil listrik pada bagian dalamnya. Buoy diapungkan di permukaan laut dengan posisi sebagian tenggelam dan sebagian lagi mengapung. Namun, benda itu tak terhubung dengan Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia. Dan diperlukan puluhan miliar rupiah untuk membuat konstruksi pemasangan perangkat pengukur perubahan muka laut (tide gauge) yang stabil.
Mengingat karakter Mentawai yang sudah diketahui lama, sulit untuk tidak bertanya, apa yang membuat Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika beserta pemerintah tidak mengoptimalkan alat deteksi di Mentawai yang jelas-jelas masuk dalam peta seismik? Dan sulit juga masyarakat tidak dibuat khawatir jika terjadi gempa lagi dari segmen gempa yang sama, karena perkiraan potensi ancaman tsunami hanya mengandalkan kalkulasi badan otoritas tersebut.
Respon Petinggi Negara
Alih-alih mengucapkan simpati, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie justru seperti menyalahkan masyarakat Mentawai. Ia mengatakan bahwa resiko hidup di pesisir adalah terkena tsunami.
“Mentawai itu kan jauh. Itu konsekuensi kita tinggal di pulau,” kata Marzuki di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (27/10), sebagaimana ditulis di berbagai media massa.
Pernyataan yang menghebohkan ini pun menjadi berita yang dimuat di hampir seluruh media di Indonesia. Di situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter, mayarakat beramai-ramai mencela pernyataan tak etis itu. Di kolom komentar di situs detik.com, misalnya, orang beramai-ramai menghujat ketua dewan tesebut.
“Maksudnya gak usah ada nelayan nih? Tahu gak sih ni orang berapa banyak konstituen di pesisir pantai yang milih dia dan partainya? Kenapa orang kayak gini dipilih di Indonesia?” ujar John Loez, di kolom komentar situs tersebut.
Tindakan serupa Marzuki Alie juga muncul dari Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring. Di akun twitter-nya, ia mengatakan bahwa bencana ini adalah azab. Sontak masyarakat beramai-ramai berang dengan pernyataan tersebut, yang mengandaikan masyarakat Mentawai adalah para pendosa.
Ketiadaan sensitivitas diikuti pula oleh kegagapan penanganan Mentawai. Jika dibandingkan Gunung Merapi, upaya tanggap darurat Mentawai terasa lebih lambat. Hal serupa juga ditunjukkan oleh media massa televisi yang memberikan porsi liputan yang lebih besar dan jelas pada bencana Gunung Merapi ketimbang tsunami Mentawai.
Meski demikian, harus diakui bahwa aksesibilitas ke Mentawai memang menjadi persoalan, tidak saja bagi tim penyelamat, tetapi juga wartawan. Akan tetapi, ini menyeret ingatan kita kembali bahwa negara ini memang tidak memberikan perhatian pada pembangunan kawasan pesisir. Indonesia adalah negara kepulauan hanya menjadi jargon belaka.
Akhirnya, mau tak mau, pola peliputan media massa yang mengaku berskala nasional tampak menjadi bias. Begitu pula pola penanganan dan evakuasi erupsi Gunung Merapi yang cenderung terlihat lebih baik ketimbang Mentawai. Dan siapa bisa menjamin bahwa besaran jumlah bantuan yang diberikan masyarakat tidak akan mengikuti ritme sentralistik media, yakni lebih ke bencana Gunung Merapi?
Atau, jangan-jangan, jarak hati pusat negara dan media massa yang mengaku nasional, yang berada di pulau yang sama, telah sama jauhnya dengan jarak ke pulau Bumi Sikkerei?
Comments with Facebook
Semua karena politik….