Home Geopolitik Mbah Maridjan, Paradoks Sang Loyalis
0

Mbah Maridjan, Paradoks Sang Loyalis

0
Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi. Foto: wordpress.

Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ditemukan tewas akibat semburan awan panas Gunung Merapi. Pria ini memang tak punya niat untuk hengkang dari daerah tersebut. Seketika, ia menjadi contoh dari orang yang memegang amanah, sekaligus pembangkang manajemen modern.

Pria yang juga bernama Penewu Suraksohargo ini ditemukan oleh tim evakuasi Yogyakarta pada Rabu (27/10), pukul 05.00 WIB, di rumahnya. Ia ditemukan tewas dalam keadaan bersujud. Kabar tewasnya pria berusia 83 tahun ini sontak menyedot perhatian publik. Sedari 2006 ia sudah dikenal dengan keyakinannya yang berbeda dengan pandangan-pandangan modern mengenai alam.

Mbah Maridjan memang seorang loyalis yang dapat diandalkan. Ia terlanjur sudah mendapat perintah dari Raja Ngajogjakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, untuk menjaga gunung yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat itu. Dan perintah itu tak dapat dibatalkan oleh siapapun.

Dalam logika atau mitologi Jawa, tugas Mbah Maridjan memang penting. Sebab, Gunung Merapi sendiri diyakini sebagai pusat kerajaan makhluk halus yang terhubung di antara sumbu imajiner dan garis spiritual, yakni Laut Kidul, Panggung Krapyak, Keraton Ngajogjakarta, Tugu Pal Putih, dan Gunung Merapi. Garis ini melambangkan proses hidup manusia, mulai lahir hingga menghadap Tuhan.

Menurut Mbah Maridjan, sebagaimana tertulis di situs resmi Pemerintah Provinsi Yogyakarta, Merapi itu dikuasai oleh Empu Rama dan Empu Permadi. Sebelum adanya manusia, keadaan dunia disebutkan miring, tidak stabil. Lalu, Batara Guru memerintahkan kedua empu tersebut untuk membuat keris sebagai pusaka tanah Jawa agar dunia stabil.

Namun, belum lagi keris selesai, Dewa memindahkan G. Jamurdipa yang semula berada di Laut Selatan ke Pulau Jawa, yakni di utara Kota Yogyakarta saat ini. Karena tak mau memindahkan kegiatannya, kedua empu dan dewa terlibat perang. Pemenangnya adalah kedua empu.

Tapi Batara Guru malah menghukum kedua empu dengan memerintahkan Batara Bayu untuk meniup G. Jamurdipa. Alhasil, G. Jamurdipa terbang diterpa angin besar ke arah utara dan jatuh tepat di atas perapian sehingga mengubur mati Empi Rama dan Empu Permadi.

Meski demikian, kedua empu diyakini tidaklah mati, tetapi hanya berubah wujud dan akhirnya menguasai keraton makhluk halus (Gunung Merapi). Sejak itu, arwah keduanya disebut memimpin kerajaan di gunung tersebut.

Masyarakat Keraton Merapi adalah komunitas arwah yang saat hidup di dunia melakukan perbuatan baik. Tapi, jika melakukan perbuatan jelek, arwahnya takkan diterima di Keraton Merapi. Mereka yang arwahnya tidak diterima, biasanya, diyakini akan melanglangbuana lalu hinggap di batu besar atau jembatan, dan menjadi penunggu tempat tersebut.

Di tempat dan wacana semacam inilah Mbah Maridjan hadir. Ia yang mendapat tugas dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Ngajogjakarta pada 1970 dan kemudian diberi nama baru: Mas Penewu Suraksohargo, yang artinya adalah penjaga gunung. Ia masih menjadi wakil juru kunci ketika itu, dengan ayahnya sendiri yang menjadi juru kunci.

Jabatan Juru Kunci Gunung Merapi lantas ia pegang pada 3 Maret 1982, setelah ayahnya wafat. Pada pekerjaannya, ia menunjukkan dedikasi yang begitu tinggi. Ia memiliki loyalitas pada sultan yang teramat dalam. Berkali-kali Gunung Merapi menampakkan gelagat hendak meletus, ia tetap di posisinya. Puncaknya adalah pada 2006, ketika Gunung Merapi betul-betul sudah menampakkan diri akan meletus.

Ketika itu, Gubernur Yogyakarta sekaligus Raja Keraton Ngajogjakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, sudah memintanya pindah. Tapi ia tetap tak mau. Ia menganggap yang memberi perintah adalah gubernur, bukan sultan. Karenanya, perintah Sri Sultan Hamengkubuwono IX tak dapat dikhianati.

Tindakan Mbah Maridjan yang tak mau pindah ini tentu merepotkan tim penanggulangan bencana. Ada standar prosedur operasi yang terganggu dengan pandangan pria itu. Terlebih, penduduk lebih mempercayainya ketimbang pemerintah. Pemerintah akhirnya memang tak berhasil mengevakuasi seluruh penduduk dari ancaman meletusnya Gunung Merapi. Tapi, perkiraan ahli dari pemerintah memang meleset. Mbah Maridjan benar. Gunung Merapi tak jadi meletus pada 2006.

Kini ceritanya menjadi berbeda. Entah tahu atau tidak Gunung Merapi akan meletus, hanya Mbah Maridjan yang tahu. Yang jelas, ia tetap tidak meninggalkan apa yang harus dijaganya. Apapun resikonya, ia lebih tampak memilih gugur dalam tugas ketimbang berpaling dari perintah sultan.

TM. Dhani Iqbal TM. Dhani Iqbal lahir di Medan, Sumatera Utara. Menulis sejumlah esai, feature, dan cerpen di sejumlah media massa, juga beberapa buku: "Sabda Dari Persemayaman" (novel), "Matinya Rating Televisi - Ilusi Sebuah Netralitas", dan "Prahara Metodis". Melewati karir jurnalistik di beberapa media massa berklaim nasional, baik cetak, televisi, dan online, di Jakarta, dengan konsentrasi sosial, politik, dan kultur. Kini berjibaku di media LenteraTimur.com.

Comments with Facebook

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *