
Sanggar itu tak besar, tapi sungguh megah di mata saya. Talempong, sitar, rebana, gamelan, jimbe, tifa, bangulanujapi, sasando, dan ratusan alat musik tradisi ada di sana. Dalam diam saya mematuti beragam warisan tradisi itu. Dan sulit untuk menepis pertanyaan yang mendadak hinggap: kenapa musik Indonesia kini justru terdengar seragam dan terjerembab oleh musik Barat.
Membayangan bahwa kesemua alat musik di sanggar itu berasal dari daerah dan suku yang berbeda-beda, mengingatkan kita kembali pada betapa raya dan kayanya Indonesia. Perburuan terhadap alat-alat musik tradisi ini bukan soal gampang. Sanggar itu seakan menceritakan sendiri kisah mengenai idealisme dan kesetiaan terhadap cita-cita yang didukung dengan kesabaran dan kerja keras dalam mewarisi sebuah tradisi. Hal yang semestinya mudah jika bangsa ini tidak terlalu jauh tercerabut dari akar budayanya.
Adalah seorang Uyung, 39 tahun, yang berada di balik sejarah sanggar tersebut. Lelaki bernama asli Henri Surya Panguji kelahiran 19 Januari 1971 ini telah lama jatuh cinta pada instrumen musik etnik Indonesia. Karena rasa cintanya, ia mulai mengumpulkan alat-alat musik tradisi tersebut di kediamannya di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat.
Agar dapat menyebarluaskan kecintaan terhadap seni tradisi, Uyung pun mendirikan Komunitas Mahagenta di sana. Komunitas inilah yang menjadi rumah hangat bagi mereka yang ingin bergerak dalam upaya pelestarian alat musik tradisi. Puluhan anak muda pun satu persatu merapat ke dalam komunitas Mahagenta. Meski mereka datang dari berbagai latarbelakang, namun cita-cita mereka senada: mengeksplorasi musik tradisi negeri sendiri.
Nama ‘Mahagenta’ berasal dari kata ‘maha’ yang berarti ‘besar’ dan ‘genta’ yang bermakna ‘lonceng’ atau ‘bel’. Dengan lonceng besarnya ini, Uyung tak putus berupaya menggaungkan keunikan sejumlah alat musik dari seluruh tanah air. Tak hanya unik di piranti, keunikan pun tersaji dalam konsep-konsep pertunjukan Mahagenta yang kerap menampilkan nuansa kawin-mawin irama tradisi Timur dan Barat dalam satu garis musik.
Kegiatan mencipta, mengkomposisikan lagu, mensintesakan beragam bunyi dari Sabang hingga Merauke, serta menggabung tradisi dan kekinian, membuat Mahagenta dikenal hingga ke mancanegara. Mereka sempat diundang tampil di beberapa negara, seperti Hongaria, Spanyol, Malaysia, dan Singapura.
Untuk benar-benar mengumandangkan cita-cita besar musik mereka, produktivitas dan konsistensi Mahagenta dalam mengapresiasi musik pada unsur lokalitas dilakukan melalui segala cara. Selain menggelar konser, menjadi pengisi acara di berbagai kesempatan dan berbagai media, komunitas ini juga kerap menggelar apresiasi musik di sekolah-sekolah di Jakarta. Selain itu, Mahagenta juga kerap melakukan pameran-pameran alat tradisional di beberapa tempat (saksikan penampilan Mahagenta di sini)
Pada 2010 ini, Mahagenta akan mementaskan karya fenomenal Victor Hugo, yaitu “Les Miserables” yang akan dibungkus dengan sentuhan pentatonik perkusi tradisional. Guzheng, seruling, didgeridoo, drumset, timpani, dan gambang, adalah sebagian dari alat musik yang dipadukan untuk membentuk warna tradisional–modern dalam komposisi lagu-lagu yang akan dibawakan. Nada-nada opera juga akan diperkaya dengan menambahkan warna vokal tradisional Minang, Jawa, Sunda, dan warna vokal daerah lainnya.

Pagelaran Konser Tunggal Mahagenta, yang juga terkait dengan ulang tahun kelompok ini, akan dilaksanakan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 6 November 2010 pukul 20.00 WIB. Penggalan demi penggalan karya musikal dari Les Miserables akan disusun sedemikian rupa dari sudut estetik dan dari beragam warna etnik.
Berikut adalah wawancara LenteraTimur.com dengan Uyung di tengah suasana persiapan konser tunggal tersebut.
Kapan Mahagenta berdiri dan mengapa Anda mendirikan Mahagenta?
Mahagenta berdiri tanggal 11 November 1996. Saya mendirikan Mahagenta karena ada keinginan untuk melestarikan alat-alat musik tradisional Indonesia. Di samping itu, saya ingin membuat beberapa pertunjukan terkait seni pertujukan yang memihak pada tradisi Indonesia.
Sebelum 14 tahun yang lalu, apa yang Anda lakukan untuk kemudian baru tergerak membentuk sebuah komunitas?
Yang saya lakukan saat itu hanya mempelajari musik tradisi konvensional saja. Pada waktu itu saya hanya sebatas mendengar, tapi belum menjadi praktisi. Saat itu saya juga masih sekolah. Setelah lulus baru kemudian menyusun kekuatan terlebih dahulu sebelum mulai melakukan sesuatu.
Apakah ada latar belakang masa kecil yang menginspirasi berdirinya Mahagenta?
Waktu kecil saya sering berpindah-pindah ke banyak daerah di seluruh Indonesia. Sekolah saya sering pindah ke Kalimantan, Aceh, Medan, dan beberapa kota lain. Banyak pengalaman yang didapatkan di setiap kota tersebut. Saya sering bersentuhan langsung dengan beberapa kesenian di kota-kota itu. Baru ketika tamat SMA-lah saya mulai menggeluti alat musik tradisi dengan memberanikan diri membuat beberapa pertunjukan.
Kenapa Anda memilih musik? Apakah ada cita-cita yang lebih besar, seperti mengembangkan tradisi Indonesia secara keseluruhan, misalnya?
Sebenernya cita-cita kesana ada. Cuma kalau saat ini saya ungkapkan rasanya saya seperti mimpi di dalam mimpi. Walau bagaimana pun juga, kemajuan sebuah teknologi saat ini kebanyakan sulit sekali disaring. Sementara perkembangan tradisi juga harus sesegera mungkin dilakukan. Kedua hal ini membutuhkan mediator. Untuk itu saya memilih musik. Mungkin dari sini peran media juga dapat membantu agar inspirasi mengembangkan seni tradisi lain juga harus segera dikembangkan oleh mereka yang bergerak di industri.
Dalam proses mempelajari alat musik tradisi, seperti apa pendekatan yang dilakukan ke masyarakat adat?
Pendekatan dilakukan langsung on the spot. Begitu saya melihat alat musik tradisi mereka dimainkan, saya terjun langsung untuk terlibat dan akhirnya ikut main. Tak butuh proses panjang untuk bisa bergabung dengan mereka. Mereka sangat terbuka.
Bagaimana cara Anda merekrut anggota untuk Mahagenta?
Sebenernya tidak ada yang formal dari proses masuknya seseorang ke dalam Mahagenta. Jika pada saat separuh jalan proses persiapan produksi pagelaran dirasa ada lini pemain yang kurang, melalui jaringan yang ada, saya biasa mengontak langsung seniman-seniman daerah. Terkadang jaringan juga datang melalui teman-teman sesama penggemar musik tradisi. Bahkan banyak juga yang setelah melihat penampilan kami di panggung, langsung datang ke kami dan menyatakan keinginannya untuk bergabung.

Ketika membawakan alat-alat musik tradisi, adakah salah satu alat dari satu daerah yang menjadi dominan dan diterima dengan lebih baik oleh masyarakat?
Hampir sebagian besar alat musik tradisi itu diterima dengan baik. Ketika kita mengolaborasikan semuanya, kebanyakan masyarakat luas menyukainya. Apalagi personil di Mahagenta relatif masih berusia muda. Akhirnya ketika mengaransemen musik dengan kekinian, tinggal kita atur saja bagaimana caranya musik tradisi ini menjadi suatu kebutuhan yang juga mendasar untuk para pendengar kita.
Secara personal, alat musik dari daerah mana yang menurut Anda paling unik?
Sulit saya menjawab itu. Untuk saya, semuanya memiliki satu keunikan dan kekuatan yang menakjubkan. Saya merasakan bahwa banyak sekali teknologi masa lalu, kearifan lokal, yang justru tak terjangkau dengan teknologi sekarang.
Ada strategi khusus untuk dapat mengadaptasi alat musik tradisi agar dapat diterima dengan masyarakat Indonesia saat ini?
Ya. Strategi itu memang sangat diperlukan. Akhirnya apa yang kita sampaikan ke masyarakat luas sekarang ini harus dikemas dalam sesuatu yang lebih modern. Semua elemen masyarakat harus disentuh. Misalnya saja dengan membuat aransement yang menghentak agar disukai anak muda. Kemudian juga dengan mencoba membawakan beberapa nomor-nomor lagu yang terkenal saat dari kelompok-kelompok band atau artis-artis saat ini.
Selama menggeluti dunia musik tradisi, apakah ada godaan untuk bermusik di “jalur umum” saja?
Dari dulu sampai sekarang godaan itu terus ada. Tapi karena memang ada niat yang sudah mengakar, saya menganggap bahwa semua bukan godaan. Saya hanya perlu melakukan apa yang harus saya lakukan.
Bagaimana Anda memandang musik-musik yang sekarang marak di pasaran?
Saya memandang bahwa setiap musik memang memiliki kekhasan dan cirinya sendiri. Namun sayang, musik sekarang lemah di banyak unsur, terutama dari segi orisinalitas. Tingkat keindahan secara kompositoris atau pun tingkat kerumitan juga berbeda jauh dengan musik tradisi yang saya geluti. Sementara untuk sebuah hiburan, unsur-unsur itu diperlukan.
Selain fungsi hiburan, apakah ada fungsi lain yang Anda rasakan dari musik tradisi?
Yang saya rasakan paling pokok dari musik tradisi adalah fungsinya untuk menjalin interaksi sosial. Dan ini pun sangat saya rasakan dalam komunitas Mahagenta sendiri.
Kendala apa saja yang dirasakan dalam upaya pelestarian musik tradisi di Mahagenta?
Ada banyak kendala. Yang pertama dan yang paling tragis adalah jarangnya anak muda yang mau bergabung. Mereka lebih suka ke musik modern. Kendala yang kedua, kita tidak memiliki bahan acuan tentang musik tradisi yang bisa dikolaborasikan dengan musik-musik masa kini.
Selama ini Mahagenta didukung oleh pihak mana saja ?
Kami jarang mendapat dukungan. Bahkan dukungan yang sifatnya nyata sampai saat ini tidak pernah ada yang saya terima. Jika pun ada dukungan, dukungan tersebut hanya datang dari sesama penggemar tradisi saja. Dan dukungan itu selalu bersifat personal. Ironisnya lagi, dukungan tersebut kebanyakan dari mereka yang justru warga asing, bukan warga Indonesia sendiri.
Seperti apa harapan Anda terhadap musik Indonesia ke depan?
Saya berharap bahwa elemen-elemen musik tradisional Indonesia dapat menjadi suatu kebutuhan di masyarakat luas. Sebagai contoh, mungkin minimal di setiap rumah memiliki hiasan berupa alat musik tradisional. Intinya, ada tradisi yang memenuhi semua aksen kehidupan kita.
Apakah untuk itu Anda memiliki masukan di tingkat regulasi?
Ya. Jika saya menjadi pemerintah, saya akan membuat regulasi yang mewajibkan penyelenggaraan kesenian musik tradisi di setiap hotel, restoran, tempat-tempat hiburan, dan sebagainya, minimal satu kali satu minggu.
Menyambut 14 tahun usia Mahagenta, mungkin Anda bisa menceritakan sedikit tentang konsep konser tunggal yang akan digelar?
Untuk konser tunggal ini, Mahagenta akan menampilkan kekayaan musik Indonesia dengan mengangkat satu naskah novel sastra dari Perancis, Les Miserables. Harapan saya, konser ini akan mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa musik tradisional juga mampu membawakan karya-karya dunia yang fenomenal dengan mudah dicerna.

Apakah konsep menerjemahkan karya dunia dengan sentuhan tradisi Indonesia ini memang akan menjadi gaya Mahagenta?
Ya. Saya memang sengaja mengangkat karya dunia itu. Di satu konser musik sebelumnya, di tahun 2008, Mahagenta membawakan konser musik The Phanthom of The Opera. Ini adalah sebuah success story lain untuk Mahagenta karena di seluruh dunia, baru Mahagentalah yang pertama kali memainkan opera legendaris itu dengan alat musik tradisional.
Berapa lama Anda mempersiapkan konser tunggal ini?
Kita sudah melewati proses 1,5 tahun untuk mempersiapkan konser yang sekarang ini. Melalui konser ini, saya berharap Mahagenta akan kembali membuktikan predikatnya, bahwa musik Indonesia yang sesungguhnya hanya ada di Mahagenta.
Terakhir, kenapa Anda memilih nama Mahagenta?
Nama itu saya pilih karena saya punya cita-cita yang besar. Jika cita-cita saya kecil, mungkin namanya menjadi mini bel saja, hehehe….
Comments with Facebook
@Rozzi : bener, Rozzi… sanggar kami di Kemanggisan 🙂 mampir ya kapan2.. 🙂
Mahagenta yang basecamp-nya di Kemanggisan ini yah….