
Suku Sasak merupakan salah satu komunitas terbesar yang mendiami Pulau Lombok di wilayah Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di pulau yang terkenal dengan Gunung Rinjaninya ini, mereka berbagi tempat dengan komunitas lain, seperti suku Selayar dan Bugis Sulawesi yang mendiami kawasan pesisir.
Selain Sasak, Selayar, dan Bugis Sulawesi, masih ada etnis lain yang menghuni Nusa Tenggara Barat. Seperti Bali Karangasem yang lebih banyak terdapat di Kota Mataram dan Bima dan Sumbawa yang menjadi kelompok etnis terbesar di Pulau Sumbawa.
Menurut sejumlah catatan sejarah, kehidupan suku Sasak lebih banyak diwarnai oleh nilai-nilai Hindu. Namun pada akhir abad 16 sampai awal abad 17, Lombok banyak dipengaruhi oleh Islam. Pengaruh ini datang dari dua arah, yakni Makassar dan Jawa. Pengaruh dari Jawa datang melalui dakwah yang dilakukan oleh salah seorang wali di Jawa, Sunan Giri. Hal ini menyebabkan perubahan keyakinan secara massif, yang membuat Sasak beralih dari Hindu menjadi Islam.

Salah satu hal yang terkenal dari komunitas yang menjunjung tinggi nilai kebudayaannya ini adalah kerajinan tenun ikat. Jenis kerajinan ini merupakan warisan turun temurun dari jaman nenek moyang mereka. Para wisatawan, baik dari dalam maupun mancanegara, sangat meminati tenun ikat ini.
Kerajinan tenun yang dipelajari oleh para perempuan suku Sasak ini merupakan jenis kerajinan tenun tradisional. Mulai dari proses pembuatan benang, pewarnaan, hingga pembuatan kain tenun, semua dilakukan dengan cara lama. Untuk membuat benang yang akan digunakan untuk menenun, mereka menggunakan bahan-bahan alami, seperi serat nanas, serat pisang, kapas, dan kulit kayu. Sedangkan untuk pewarna, mereka menggunakan pewarna alami dari bahan-bahan yang juga alami pula.
Pada awalnya, kerajinan tenun ikat digunakan untuk busana pesta, busana pemimpin adat, maupun busana kaum bangsawan. Namun seiring perkembangan jaman, kedudukan tenun ikat ini meluas menjadi salah satu komoditi dari suku Sasak. Dan selain sebagai mata pencaharian sehari-hari, kegiatan menenun ini juga mereka jadikan sebagai daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke kampung Sade.

Menurut seorang perempuan yang saya temui di perkampungan Sade, salah satu perkampungan suku Sasak terbesar, mereka sudah belajar menenun saat beranjak remaja. Dan ada anggapan, jika perempuan Sasak sudah mahir menenun, maka ia dianggap sudah siap membina rumah tangga. Alasannya, ia dianggap sudah mampu membantu penghasilan suami kelak – yang umumnya bekerja sebagai bercocok tanam.
Karena sudah menjadi tradisi turun temurun, maka bukanlah pemandangan yang aneh jika ada seorang perempuan lanjut usia yang masih giat memintal benang. Di sini, di kampung Sade, kebiasaan tersebut menjadi saksi dari upaya pelestarian kebudayaan nenek moyang agar tak punah dimakan jaman.
Comments with Facebook
Tulisan ini keren banget…. Tenunnya ada jual di Jakarta enggak?
Membaca tulisan ini membuatku ingin pulang ke kampung halaman di Cakranegara, Mataram. Beberapa tahun lalu saya sering mampir ke Desa Sade, membeli sejumlah kain tenun buat oleh-oleh kerabat di Surabaya.
Mudahan, November nanti saya bisa mudik dan dapat mampir kembali ke Sade.
Indonesia emang keren… Salut!!!
Satu bukti lagi yang menunjukkan bahwa Indonesia tak pernah kering dengan hasil budaya dari setiap etnik yang ada.
Sepatutnya hasil budaya yang indah dan bermutu tinggi bisa mensejahterakan pemiliknya.
Jaga dan rawat serta kembangkan hasil budaya ini dan tingkatkan diri agar lebih terampil dalam memasarkan hasilnya.