Home Featured Surakarta: Republik Terus Menguji Kesabaran Kami

Surakarta: Republik Terus Menguji Kesabaran Kami

5
Peta Surakarta. Gambar-gambar/foto-foto: Dokumentasi Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

“Dari zaman kemerdekaan hingga saat ini, Nagari Kasunanan Surakarta diterlantarkan, diperlakukan bak anak tiri. Sejarah kami dihilangkan, digelapkan dari halaman kitab perjalanan republik ini. Apakah republik ini sengaja menyobek kebenaran dari halaman sejarah? Apakah takut jika status keistimewaan Surakarta kembali ada dan akan menjadi lebih besar darinya?”

Pidato singkat namun berapi-api dari Kanjeng Raden Haryo Sena Negara itu disambut dengan riuh tepuk tangan dan teriakan ‘merdeka’. Suara-suara itu bergema di Pendapa Pagelaran Keraton Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah, Minggu (28/10).

Saat itu, hadir sekitar 1200 abdi dalem Keraton Nagari Kasunanan Surakarta. Para abdi dalem ini datang dari berbagai wilayah, seperti masyarakat adat lereng Merapi dan pesisir pantai selatan serta berbagai utusan masyarakat di tujuh kabupaten Jawa Tengah, yaitu Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, dan Sragen.

Mereka berkumpul untuk mewujudkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa, sebagaimana yang pernah mereka peroleh dahulu. Dan pertemuan malam itu bukanlah yang pertama kali. Upaya ini relatif sudah dilakukan sejak lama, yang didahului oleh sebuah deklarasi pada 14 Desember 2010, dua tahun lalu, dengan mengambil lokasi di dekat gapura perbatasan Surakarta dan Yogyakarta.

Akan tetapi, deklarasi tersebut tidak mendapat ekspos yang massif dan meluas dari media massa, baik milik pemerintah pun swasta. Kondisinya sangat berbanding terbalik dengan Yogyakarta, yang ketika “berkonflik” dengan Indonesia terkait status keistimewaannya, gegap gempitanya diliput dan disebarluaskan oleh perusahaan-perusahaan suratkabar dan perusahaan-perusahaan televisi-televisi berfrekuensi publik yang bersiaran nasional. Sementara, Surakarta tak mendapat perlakuan dan porsi yang setara.

Setelah “tiarap” selama dua tahun, wacana Daerah Istimewa Surakarta kembali menggelinding. Kali ini, mereka menetapkan Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum Keraton Nagari Kasunanan Surakarta. Dalam pertemuan itu, Yusril pun mengaku siap untuk melakukan judicial review pasal 18 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah, yang selama ini dianggap menjadi sumber penangguhan pengembalian status Daerah Istimewa Surakarta.

“Dalam Pasal 18 UUD 1945 dikatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang khusus, yang asli, satuan-satuan pemerintahan yang lebih dulu ada dari pada republik ini. Dalam arti daerah-daerah tersebut memiliki sifat istimewa. Saya meyakini, bahwa seorang raja, seorang sultan, itu memiliki kekuatan untuk mengendalikan ekonomi, mempunyai kekuatan secara politik dalam melakukan kontrak antar negara, memiliki sebuah kendali dalam beberapa hal yang tidak dimiliki oleh seorang presiden,” kata Yusril, Minggu (28/10), di sela-sela acara.

Dengan mengenakan busana adat Jawa lengkap, Yusril menguraikan bahwa status keistimewaan itu terkait dengan sejarah yang dialami oleh Nagari Surakarta. Dan apa yang dituntut oleh negeri ini dinilainya sah secara historikal maupun hukum, dan itu diakui oleh konstitusi.

Yuzril Ihza Mahendrra berpidato di depan putra-putri Paku Buwono XII, pemangku adat, dan abdi dalem, yang berjumlah sekitar 1200 orang.

Dalam kacamata Yusril, dalam masa Hindia (India) Belanda, Kerajaan Surakarta berkali-kali melakukan penandatanganan kesepakatan dengan Kerajaan Belanda. Ketika kontrak ditandatangani, Paku Buwono tidaklah mewakili dirinya sendiri, melainkan sebagai kepala negara dari Kerajaan Surakarta. Demikian pula dengan Kerajaan Belanda. Jadi, menurut Yusril, kontrak yang dilakukan dengan Belanda, pun pendudukan Jepang, adalah kontrak antara dua negara. Karena itu, dalam masa pra-Indonesia, sultan di negaranya memiliki kekuatan yang signifikan.

“Ketika sekutu datang, ketika pasukan Hindia (India) Belanda datang membonceng NICA, saya tidak percaya bahwa Soekarno dan Hatta mempunyai kekuatan untuk melawan mereka. Jadi, raja dan sultan dari negara-negara tua itulah yang menolong mereka, memberikan bantuan senjata dan pasukannya. Negara-negara tua itulah yang membentuk republik ini, bukan sebaliknya,” ucap Yusril.

Yusril kemudian merujuk pada sejumlah isi perdebatan di lembaga buatan Jepang, Dokuritsu Junbi Cosakai  (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI) – badan yang dibentuk bersamaan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang, Hirohito. Di situ tertera pendapat Soepomo, salah seorang peserta, yang mengatakan bahwa daerah-daerah, kesultanan-kesultanan, kerajaan-kerajaan, yang sudah mempunyai sistem pemerintahan sendiri, haruslah diakui oleh republik, dan wilayahnya dikembalikan seperti sedia kala.

“Jika pasal 18 UUD 1945 itu dikaji lebih dalam, di Indonesia ini terdapat lebih dari 250 wilayah yang sebelumnya memiliki pemerintahan asli, bentuk pemerintahan yang lebih tua daripada pemerintahan negara ini. Semisal, Nagari Kasunanan Surakarta, Kesultanan Langkat, Siak Sri Indrapura, Minangkabau, Deli, Serdang, kedatukan-kedatukan, marga-marga di Palembang, dan masyarakat adat lainnya. Jadi, mengapa pemerintahan negara ini hanya memberikan hak keistimewaan pada dua wilayah, Aceh dan Yogyakarta saja? Padahal, ketika dua hari setelah BPUPKI dibubarkan dan PPKI dibentuk, dalam sidangnya dikatakan bahwa kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan akan tetap berada pada bentuknya semula,” ujar Yusril.

PPKI yang dimaksud adalah Dokuritsu Junbi Inkai, atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, lembaga yang juga dibuat Jepang. Dan sejarah Surakarta menjadi Daerah Istimewa bermula pada rapat ini. Saat itu, Dokuritsu Junbi Inkai menetapkan wilayah Republik Indonesia dibagi atas delapan provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, dan Sumatera, dengan dua Daerah Istimewa, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Penetapan PPKI pada 19 Agustus 1945 tak terlepas dari adanya surat dari Kasunanan Surakarta, sehari sebelumnya. Pada 18 Agustus 1945, Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegara VIII menyampaikan kawat dan ucapan selamat atas kemerdekaan Indonesia, yang diikuti maklumat resmi dukungan berdiri di belakang Republik Indonesia pada 1 September 1945, yang intinya berisi:
1. Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia;
2. Hubungan Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.

Atas dasar maklumat Paku Buwono XII itulah maka Presiden Soekarno, pada 19 Agustus 1945, memberikan piagam kedudukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegara VIII sebagai Kepala Daerah Istimewa. Isi piagam tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kepada Paku Buwono XII
Kami, PRESIDEN REPOEBLIK Indonesia, menetapkan:
Ingkang Sinohoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing Ngalogo,
Abdurrahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII ing Soerakarta Hadiningrat.
Pada kedoedoekannja dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan
akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan daerah
Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia.

Djakarta, 19 Agoestoes 1945
Presiden Repoeblik Indonesia
Ttd
Ir. Soekarno

2. Kepada Mangkoenegara VIII
Kami, PRESIDEN REPOEBLIK Indonesia, menetapkan:
Kandjeng Goesti Pangeran Adipati Arjo Mangkoenagoro, Ingkang Kaping VIII.
Pada kedoedoekannja dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan
akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan daerah
Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia.

Djakarta, 19 Agoestoes 1945
Presiden Repoeblik Indonesia
Ttd
Ir. Soekarno

Dengan piagam tersebut, maka Daerah Istimewa Surakarta (DIS) pun resmi berdiri. Di dalam Negara Republik Indonesia (NRI), provinsi ini terdiri atas daerah Istimewa Kasunanan dan Daerah Istimewa Mangkunegara, dan diperintah secara bersama oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Surakarta, Susuhunan, dan Mangkunegara. Penetapan status istmewa ini dilakukan oleh Presiden NRI sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegara yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari NRI.

Akan tetapi, jalan cerita kemudian berbelok. Pada Oktober 1945, muncul dan berhembus gerakan anti-kerajaan di Surakarta. Gerakan ini, yang salah seorang pimpinannya disebut-sebut adalah Tan Malaka, bertujuan untuk menghapus Daerah Istimewa Surakarta serta membubarkan Kasunanan dan Mangkunegaran. Mereka merampas tanah-tanah pertanian yang dikuasai Mangkunegara dan Susuhunan untuk kemudian dibagi-bagikan sesuai dengan landreform golongan komunis.

Lambang Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Kekerasan dan pembantaian manusia pun muncul. Petinggi-petinggi negara Surakarta atau Daerah Istimewa Surakarta diincar. Pada 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem (perdana menteri) Kasunanan Nagari Kasunanan Surakarta, KRMH Sosrodiningrat, diculik dan dibunuh oleh gerakan ini. Maret 1946, Pepatih Dalem yang baru, KRMT Yudonegoro, juga diculik dan dibunuh. April 1946, sembilan pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.

Tak selesai di situ, gerakan anti-kerajaan ini juga melakukan penculikan di berbagai wilayah yang dikuasai KRT Reksonegoro, yang menjabat sebagai Bupati Boyolali. RT Condronegoro yang menjabat sebagai Bupati Anom Boyolali diculik. Penculikan terjadi pada Wakil Bupati Klaten, RT Pringgonegoro. Dan pada 28 Juni 1946, Perdana Menteri NRI, Sjahrir, yang sedang bermalam di Kota Surakarta dalam rangka perjalanan pulang dari kunjungan kerja ke Banyuwangi, Jawa Timur, mengaku telah pula mengalami penculikan dan percobaan pembunuhan.

Pada saat yang sama, 1946 awal, terjadi juga penyerangan terhadap daerah pesisir pantai utara Jawa, seperti Brebes, Tegal, dan Pemalang. Sementara itu, Bali dan Depok juga tak luput dari penyerangan di waktu yang sama ini, termasuk negara-negara di Sumatera Timur, yang berakibat pada tewasnya sultan-sultan dan keluarganya, petinggi-petinggi, cerdik pandai, dan rakyat biasa.

Menghadapi situasi tersebut, KGPAA Mangkunegara VIII kemudian mengeluarkan maklumat pada 20 Maret 1946. Maklumat itu berisi bahwa pemerintah Mangkunegara akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap golongan orang-orang yang:

menjiarkan berita ataoe melakoekan perboeatan-perboeatan yang dapat mengelisahkan ataoe mengatjaoekan masjarakat.

menjiarkan berita ataoe melakoekan perboeatan dengan maksoed mengadakan perpetjahan dalam masyarakat.

– menghambat oesaha dalam menjempoernakan pertahanan negara.

Maklumat Mangkunegara VIII tersebut pada akhirnya memang tidak dapat mengurangi intimidasi dari gerakan tersebut terhadap pihak kerajaan. Gerakan anti-kerajaan justru kian lama kian kuat setelah Kepolisian Surakarta menyatakan lepas dari Pemerintahan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara. Kepolisian menyatakan posisinya berdiri sebagai bagian dari keanggotaan Kepolisian NRI.

Hal yang dilakukan oleh kepolisian daerah Surakarta tersebut kemudian diikuti oleh instansi-instansi lain. Akibatnya, kekuatan kerajaan semakin berkurang dan lemah. Belum lagi dengan masuknya kekuatan yang berasal dari pihak oposisi, yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan (PP) ke Surakarta. Organisasi tersebut semakin memperkeruh dan mengacaukan situasi. Oposisi ini masuk setelah ibu kota NRI berada Yogyakarta.

Kerajaan semakin tersudut setelah para bangsawannya segera berpindah kutub. Rumah-rumah mereka dijadikan tempat pertemuan politik dengan komandan-komandan gerilya sehingga terus menggembosi kerajaan. Di antara para bangsawan revolusioner itu adalah Mr. Sumodiningrat, orang yang mungkin menjadi pengganti putra mahkota seandainya ayahnya, P. Kusumoyudo, yang diangkat menjadi pengganti Paku Buwono X.

Karena kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan terus terjadi dan tak terkendali, Pemerintah Surakarta meminta kepada Pemerintah Pusat Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta untuk mengambil tindakan. Serangkaian pembicaraan pun digelar antara Wakil Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta yang dipimpin KRMH. Woerjaningrat dengan Perdana Menteri NRI, Syahrir, di Gedung Bank Indonesia, Surakarta. Dari pembahasan dan pembicaraan tersebut, disepakati bahwa untuk mengatasi kekacauan, sebagai wakil pemerintah Daerah Istimewa Surakarta, Woerjaningrat mengusulkan agar jalannya Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta diambil alih pemerintah Pusat. Jika situasinya sudah aman, akan dikembalikan lagi.

“Dalam suratnya kepada Paku Buwono XII dan Mangkunegoro VII, Presiden Soekarno mengatakan apabila jika keadaan sudah tentram dan terkendali, maka status keistimewaan Surakarta akan saya kembalikan. Isi surat itulah yang kami pegang sampai saat ini. Berkali-kali kami meminta hak kami secara baik-baik kepada republik ini, namun berkali-kali juga Republik ini mengingkari,” kata Kanjeng Raden Haryo Sena Negara.

Deklarasi Perjuangan Pengembalian Daerah Istimewa Surakarta, 14 Desember 2010, di depan Candi Prambanan, Klaten, yang merupakan wilayah perbatasan Surakarta dan Yogyakarta.

Akhirnya, pada 16 Juni 1946, Pemerintah NRI pun mencabut dan membekukan status keistimewaan Surakarta. Dan sebagai realisasi dari usulan Woerjaningrat, Pemerintah NRI pun mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tanggal 15 Juli 1946 Tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta. Dalam pasal dua Penetapan Pemerintah tersebut, dinyatakan bahwa sebelum bentuk susunan Pemerintah Daerah Kasunanan dan Mangkunegara ditetapkan dengan Undang-Undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu merupakan Karesidenan, dikepalai oleh seorang residen yang memimpin segenap pamong praja dan polisi, serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang residen di Jawa dan Madura.

Akan tetapi, NRI lupa pada janjinya. Yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia setelah itu justru membubarkan Daerah Istimewa Surakarta dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran. Dan keraton pun diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa saja.

“Berkali-kali kami meminta hak kami secara baik-baik kepada republik ini, namun berkali-kali juga republik ini mengingkari. Jangankan sebuah kepedulian, hanya suatu pemberitaan saja dari republik ini tak pernah ada. Republik ini sama sekali tidak peduli dan terus mengulur waktu yang menguji kesabaran kami,” ucap Kanjeng Raden Haryo Sena Negara.

Sebagai kuasa hukum, Yusril menegaskan agar pemerintah Indonesia jangan terburu-buru membaca apa yang dilakukan Kerajaan Surakarta untuk melakukan judicial review sebagai suatu tindakan pemberontakan atau makar.

“Kami tidak ingin melangkah untuk membentuk sebuah negara. Apakah kami akan menuju monarki ataukah negara federal, kami sendiri belum berpikir sampai ke arah sana. Yang akan kami perjuangkan saat ini adalah Surakarta hanya menagih apa yang menjadi haknya. Dimaksudkan juga agar negara ini tak lupa pada sejarahnya,” tegas Yusril.

Wahyu Indro Sasongko Wahyu Indro Sasongko adalah kontributor tetap LenteraTimur.com. Saat ini berdomisili di Solo, Jawa Tengah.

Comments with Facebook

Comment(5)

  1. saya wong ngawi walo dulu ikut surakarta…lebih cinta kpd jatim…..ikuti jatim sebuah propinsi besar yg g ada kab/kota yg mau keluar dr jatim …hidup jatim

  2. semasa republik lahir blm punya wilayah.. Terus pengakuan nagari kasunanan surakarta hadiningrat sebagai wilayah republik.. Tanpa itu republik hanya sebuah negara tanpa wilayah.. Maka kembalikan hak kami..

  3. Memang betul Mas W. Mujiono bhw sebagian Imogiri (Bantul), sebagian Ngawen (Gn. Kidul) & sebagian Kotagede (Kodya Jogja) dulunya masuk wilayah Kasunanan Surakarta. Tetapi sekarang, kalau harus gabung ke DIS (jika DIS kembali ada).. ya ma’af-ma’af saja. DIY jauh lebih berwibawa di mata masyarakat luar drpd DIS. Jadi, saya yg orang Imogiri tetap pilih DIY.

  4. Perkenankan kami sampaikan bahwa menurut cerita ayah kami bahwa Daerah Istimewa Surakarta (DIS) wilayahnya selain eks Karesidenan Surakarta ada sebagian Imogiri (Bantul) dan Ngawen (Gunung Kidul). Bila penetapan DIS dikabulkan oleh MK, apakah wilayah itu masuk DIS.

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *