Home Featured Susur Galur Melayu Bugis
3

Susur Galur Melayu Bugis

3
Sampul buku “Tuhfat al-Nafis” karya Raja Ali Haji. Gambar: Wikipedia.

Awal Terbentuknya Keserumpunan Melayu Bugis
Sumber sejarah Melayu yang dikarang oleh Leonard Andaya menunjukkan bahwa Melayu diawali oleh munculnya Kerajaan Sriwijaya yang kemudian berkembang menjadi pusat kekuasaan Malaka dan Johor.[i] Pada 1699, Johor mengalami krisis yang sangat besar, dimana Sultan Mahmud terbunuh oleh suatu komplotan yang dipimpin oleh pasukan raja kecil. Dengan kematian Mahmud, “Habislah silsilah Raja Maklum (Malaka)”.

Sejak itu dinasti raja-raja Malaka, keturunan langsung dari Raja Zulkarnaen dan Sri Tri Buana, berakhir. Dinasti Bendahara/rajak kecil lantas meneruskan kemajuan ekonomi Johor tersebut. Akan tetapi, kerusuhan demi kerusuhan terjadi. Situasi ini kemudian membuat kerajaan Melayu itu tak berdaya. Kelemahan dalam bidang keamanan di Semenanjung mengakibatkan dua kelompok pedagang di Semenanjung, yaitu Bugis dari Sulawesi Selatan[ii] dan  Minangkabau dari Sumatera, masuk. Selama abad XVIII, Bugis dan Minang masuk dalam politik kekuasaan tanah Melayu.[iii]

Dalam hikayat, masuknya Bugis di tanah Johor hanya disebutkan dalam angka tahun 1134 Hijriah atau 1721-22 Masehi, yakni pada masa Raja Sulaiman dianggap sebagai penguasa oleh Kelana (Daeng Marewah) dan Daeng Menampuk serta orang-orang Bugis. Ketika Sultan Sulaiman Bader Alamsyah menjadi penguasa, Daeng Menampuk, disamping raja tua dengan gelar Sultan Ibrahim dan Kelana Jaya Putra yang menyandang nama Daeng Marewah, diberi gelar Sultan Aldin Syah Raja Muda.

Hal ini jelas menunjukan bahwa ada dua pimpinan Bugis, yakni Kelana Jaya putra (Daeng Marewah) dan Daeng Menampuk, yang lebih sesuai dengan apa yang kita kenal dari sumber Belanda daripada gambaran Tuhfat yang ditulis oleh Raja Ali Haji. Kedua pimpinan itu menerika gelar sultan (bukan hanya Daeng Marewah seperti halnya Tuhfat – dan juga hikayat negeri Johor pro Bugis), dimana Daeng Menampuk sebagai Raja Tua dan Daeng Marewah sebagai Raja Muda. Kontrak asli antara orang Bugis dan orang Melayu, seperti yang ditemukan dalam arsip VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie, atau perserikatan perusahaan dagang India-Timur Belanda), menegaskan bahwa raja muda dan raja tua bersama-sama mengangkat Sulaiman dan keduanya diangkat sebagai sultan karena mereka memulihkan dia dalam pemerintahan atas semua Saleter (orang Selat atau orang laut) dan wilayah Johor serta Pahang (naskah Belanda mengatakan bahwa dirinya dan bukan mereka; saya menduga Raja Muda dan Raja tua yang dimaksudkan bukan hanya raja tua seperti yang disebut oleh kontrak baru pada tahun 1735 tentang Yang Dipertuan Muda dengan Raja Tua. Mereka adalah kedua orang yang memulihkan Paduka Sri Sultan Sulaiman di Kerajaan Johor dan Pahang). Masuknya pengaruh Bugis dalam struktur kekuasaan Johor diduga menjudi penguat terbentuknya keserumpunan antara Melayu dan Bugis.

Menurut Andaya, keterlibatan orang-orang Bugis dan Minangkabau di Melayu menghancurkan ikatan politik tradisional Johor. Orang Minangkabau dari Siak menaklukan Johor pada 1718, yang dipimpin oleh seorang pangeran kharismatik, raja kecil dari  Sultan Mahmud. Setelah keberhasilan penyerangan itu, dia menggantikan ayahnya dan menempatkan sang perampas tahta pada posisi sebelum 1699 sebagai bendahara; kemudian dia menyuruh bendahara itu dibunuh. Putra bendahara yakni Raja Sulaiman pun meminta bantuan dari kelompok orang Bugis yang tinggal di daerah Linggi dan Selangor.

Pada 1721, orang-orang Bugis berhasil mengusir raja kecil dan sekutu Minangkabaunya, dan mengangkat Sulaiman sebagai Sultan, dan sebaliknya, menganugerahi jasa-jasanya dengan posisi tinggi atas jasa-jasanya, yakni Yang Dipertuan Termuda (raja yang berkuasa) sebagai yang paling penting.

Pada 1722, perkembangan di Riau bisa dikatakan hampir dikuasai pengaruh  Bugis. Seorang perwira Belanda yang menulis pada pertengahan abad XVIII menggambarkan Raja Sulaiman sebagai “boneka yang menari-menari mengikuti perintah Yang Tuan Muda yang digerakkan oleh  para pengikut Bugisnya”. Setelah 1750, meningkatnya ketegangan di Riau yang disebabkan oleh peningkatan secara pesat kekuatan Bugis mengakibatkan perang saudara. Meskipun kelompok Melayu bertekad mengambil langkah untuk membuat persekutuan dengan VOC, kebangkitan kekuatan Bugis tidak bisa dihentikan. Bugis jelas memenangkan perang (melawan Belanda dan Melayu), dan setelah 1760, kekuasaan Bugis semakin sulit di bendung.

Konsep dasar Tuhfat adalah bahwa orang Bugis menyelamatkan Johor dari tangan raja kecil dari tahun 1721, dan mereka dianugerahi atas jasa itu dengan kekuasaan memerintah di Johor. Struktur kekuasaan baru secara resmi diterima dalam kontrak tertulis antara orang Bugis dan Melayu. Mereka tetap berhasil mempertahankan Riau dalam seluruh perang besar melawan raja kecil antara tahun 1722 dan 1737, dan menjadikan Johor sebagai negara yang maju.

Kehidupan di Johor, menurut Tuhfat, merupakan surga perdamaian. Tapi orang-orang Melayu membenci nasib mereka yang kehilangan kekuasaan. Orang-orang Melayu kemudian bukan hanya memberontak melawan Bugis, tetapi juga melawan sultan mereka sendiri (Tuhfat mengambil alih perspektif ini dari sejarah raja-raja Riau). Tuhfat mengakui bahwa sultan Sulaiman selalu tetap setia pada kontrak, bersyukur karena dia dilindungi oleh orang Bugis dan juga karena orang Bugis selalu menyukai daging dan darahnya sendiri dan menyukai anggota keluarganya.

Dalam naskah tradisional Melayu, khususnya karya Tuhfat Al Nafis, dapat diperoleh informasi  bahwa negeri “Bugis adalah suatu wilayah politik yang diperintah oleh kekuasaan yang tunggal. Kekuasaan tunggal itu membawahi berbagai wanua. Hal itu ditemukan jika kita melacak informasi silsilah tokoh sejarah masyarakat Bugis Makassar, baik di  Semenanjung maupun di  di Sulawesi Selatan.

Akan tetapi, sebagai “historian”, penyelusuran silsilah para tokoh pastilah sulit dilakukan. Mengapa? Hal ini disebabkan oleh lontarak dan hikayat-hikayat tanah Melayu yang menjadi sumber penulisan sejarah Bugis Melayu hanya menyebutkan seorang aktor sejarah dengan menggunakan gelar yang  simbolis.

Aktor yang ditampilkan dalam lontarak, misalnya, ada kalanya muncul dengan dua atau tiga gelar yang simbolis. Gelar itu muncul berkaitan erat dengan peristiwa penting yang terjadi dalam hidupnya. Karena mendapatkan peristwa penting, maka dia mendapat nama lima gelar, bahkan sampai kuburannya pun diberikan nama gelar. Selain itu, kesulitan juga muncul karena nama tokoh dengan angka tahun tulisannya meloncat-loncat sehingga keutuhan tokoh secara kronologis sulit diceritakan.

Sebagai contoh, kita lihat silsilah yang dibuat oleh Raja Ali Haji, bahwa orang Bugis itu berasal dari Putri Balkis, khususnya turun dari lima orang bersaudara yang telah berjaya dalam sejarah Melayu. Hal itu dapat disimak pada cerita di bawah ini:

Keturunan Putri Balkis bernama Siti Malangkai, yaitu raja perempuan jadi raja di tanah Bugis  seyilang. Adapun Siti Malangkai bernama Datu Palingei dan itu beranakkan Patoto, dan ia itu beranakkan Batara Guru, dan ia itu beranakan Batara Lato dan ia beranakkan Sawerigading  dan ia itu beranakkan Lagaligo, dan ia itu beranakkan Tata dan ia itu beranakkan Sawong ri Wara La Talakka. Dan ia itu beranakkan Siyajangi Korana, dan ia itu beranakkan Batara Ri Toja Mallajangngi Lopi Bali, dan ia itu beranakkan To Tenri Ala Mallajangngi Olara’na, dan ia itu beranakkan Lari Mappa matinroe ri Wara dan ia itu beranakkan To Wangkaha Matinroe Mallangkai dan ia itu beranakkan La Panyewi Mallopi ri Allae dan ia itu beranakkan La padolang Mallajangge ri Wara Lalangnge dan itu beranakkan Sasong Rewo nanno ri kiritiwi dan ia itu To Kasawo ri yoso dan itu beranakkan Towangkaha Matinro mallangkai dan beranakkan To Pamadan Matinro di La rompopng…. Lamaddusalat maka iatu mula-mula masuk Islam yaitu cucunya datu ri Luwu  dan cucunya juga datu di Soppeng Cucunya juga  Arung Bentengpola. Lamaddusalat itu  beranakkan Opu Tenri Borang Daeng Rilaka. Ia beranak lima orang laki-laki seibu. Anak yang pertama bernama Daeng Parani, anak kedua bernama Daeng Manambung, dan anaknya yang ketiga bernama Marewa, dan anaknya yang keempat bernama Daeng Cella, dan anaknya yang kelima bernama Daeng Kamase”.[iv]

Dari sumber yang terdapat dalam silsilah Melayu Bugis, diperoleh informasi tentang sebab musabab terjadinya  perantauan lima Opu bersaudara ke Semenanjung Melayu. Seperti yang diungkapkan dalam sumber, sangat sulit ditebak periode kapan dan tokohnya yang diceritakan tidak berkesinambungan. Begitu pula cerita yang ditemukan dari versi Bugis yang kita dapatkan dalam naskah-naskah di Sulawesi Selatan, yang terjemahannya kurang lebih sebagai  berikut:

“Suatu hari Opu yang kelima bersaudara itu duduk di rumah Sauraja Arungpone di Makassar, dilihatnya ada seorang laki-laki keluar dari dapur istana membawa sepuntung siri, maka ditanyalah anak laki-laki itu oleh Opu Daeng Parani. Hai laki-laki, dari mana engkau itu dan apa yang engkau bawa itu. Laki-laki itu tidak menyahut dan seraya berlari dan dikejarlah pergi menuju anak raja Mangkasara yang menantinya di luar kota. Dan anak raja Makassar itu pun bertanya apakah gerangan yang terjadi ini, maka Opu berlima itupun dekat kepada raja Mengkasar itu. Lalu ditikamnya anak raja itu oleh Daeng Parani dengan kerisnya bernama “Tanjug Lada”. Maka matilah anak raja mengkasar itu…. Syahdan, tiada beberapa lama Opu Daeng Rilakka duduk di negeri Bone, maka ia pun pergilah menghadap Arung Pone, dan Arung Pone berkata, adapun yang  seperti adinda sekalian ini jika ada ampun karunia, maka adinda hendak bermohon pergi mengembara mengadu tuan ke sebelah barat. Mudah-mudahan dengan pertolong rabbulaalamin supaya boleh menjadi masyhur nama raja-raja Bugis di tempat itu.

Dari mitologi di atas, kita dapat berkesimpulan bahwa keberangkatan lima Opu ke Semenanjung Melayu tidak lepas dari  hiruk pikuk suasana politik antara Kerajaan Gowa dan Bone yang memperebutkan hegemoni politik di Sulawesi Selatan pada abad ke-17, yang mengakibatkan munculnya emigran Bugis di Semenanjung Melayu.

Selama periode 1720 – 1735, posisi raja tua sama seperti posisi raja muda. Ketika pada tahun 1725 sebuah perjanjian ditandatangani antara raja Johor dan Minangkabau, Johor menerima tiga salinan; salinan pertama bagi sultan Sulaiman, salinan kedua bagi Sultan Ibrahim (raja tua Daeng Menampuk), dan salinan ketiga bagi Sultan Aladin. Sampai 1735 (ketika raja tua meninggal), peringatan menyebut tentang raja tua dan raja muda sebagai pimpinan Johor.

Sungguh menarik untuk dilihat versi Bugis untuk peringatan, yakni Hikayat Negeri Johor tidak membuang kepemimpinan negeri ganda ini namun lebih menyukai konsep raja muda dan raja tua sebagai penyebutan lain. Raja tua juga bisa bekerja terlepas dari raja muda. Misalnya pada 1726 – 1727, ketika dia berangkat ke Trengganu untuk melantik Tuan Zainal Abidin sebagai sultan. Dua tahun kemudian dia memberikan ijin bagi perkawinan seorang bangsawan Bugis yang penting, Daeng Mateko. Pada 1732, setelah Daeng Mateko berperang dengan Raja Muda di Selangor, dia tiba di Riau untuk melamar istrinya. Dia menyampaikan kepada raja tua yang menolaknya. Ini bisa ditafsirkan bahwa raja tua dan muda diberi peringatan.

Pada 1734, Sultan Sulaiman meminta ijin kepada raja tua dan raja muda untuk berangkat ke Kelantan. Raja tua sendiri memberikan izin itu. Seperti yang dikatakan, Tuhfat menolak pandangan bahwa raja tua memiliki posisi yang sama seperti Yang Dipertuan Muda. Tuhfat memberikan perhatian pada penggunaan gelar resmi “Yang Dipertuan Muda”, sementara hikayat lain menggunakan Raja Muda. Raja muda menunjukan kepatuhan atau setidaknya melengkapi raja tua; kontrak Bugis-Melayu resmi tahun 1722 menyebut raja muda dan berkata bahwa Raja Sulaiman dikukuhkan sebagai raja Johor oleh Raja tua dan raja muda.

Namun dengan membaca cermat, kita mengetahui bahwa Tuhfat, meskipun hanya secara tersirat, di beberapa tempat menunjukan raja telah memiliki posisi khusus. Pada penjelasan dengan tiga salinan dengan Minangkabau tahun 1726, raja tua disebut ‘Matowa’, sebuah kata Bugis yang berarti ‘tua’ namun juga berarti ‘kepala’ atau ‘pimpinan’. Pada salah satu halaman terakhir Tuhfat, dimana penurunan Sultan Mahmud (1857) dikisahkan, kita mengetahui bahwa Sultan Mahmud berunding dengan Raja Ahmad yang merupakan keturunan raja tua Daeng Menampuk Matowa, dan dengan demikian keturunan raja tua Bugis yang menjadi matowa dari lima orang raja Bugis bersaudara.

Kita masih belum bisa mengetahui secara pasti bab apa yang dimaksud posisi Matowa. Namun, petunjuk menyampaikan bahwa dia adalah atasan atau gurunya (12). Tidak perlu diragukan lagi bahwa selama hidupnya raja tua Bugis pertama yakni Daeng Menampuk, dan raja muda harus berbagi kepemimpinan di Johor. Kedua perdana menterinya adalah orang Bugis, namun berdasarkan ketegangan yang terjadi antara Daeng Marewah dan Daeng Menampuk sebelum 1722 dan dengan memperhatikan pengabaikan Tuhfat tentang raja tua, hampir tidak mungkin jika kekuasaan Bugis sangat meresap seperti halnya Tuhfat dan seperti yang ditunjukan oleh Tuhfat dan historiografi modern.

Raja tua Daeng Menampuk meninggal pada tahun 1735; penggantinya, Encik Abdullah, hanya meninggal satu tahun setelah dia dilantik. Namun, buku peringatan menunjukan bahwa ketika dia dijadikan raja tua, pemerintahan dialihkan dari raja muda kepada raja tua. Ini tidak dipertegas oleh sumber Bugis. Hanya saja, dalam hikayat negeri Johor, kematiannya dilaporkan dalam suatu ungkapan yang sangat panjang (lebih panjang daripada mengenai kematian Daeng Marewah dan Daeng Celah), yang bisa menjadi petunjuk akan posisinya yang tinggi.

Posisi Abdullah kemudian digantikan oleh Encik Musuk (kemenakan Daeng Menampuk), dimana hikayat hanya mengisahkan bahwa dia wafat pada 1746. Gubernur Malaka melaporkan pada 1741, bahwa dia sangat bangga pada saat itu dan disebut sebagai raja Riau. Posisi raja tua dengan demikian nampaknya tetap merupakan tokoh yang berpengaruh.

Selama 1750-an, putra Daeng Menampuk, yakni Encik Andak, menjadi raja tua. Meskipun karier politiknya yang lama berada di luar jangkauan buku peringatan makalah ini, beberapa pernyataan mengenai kehidupannya mungkin sangat menarik. Raja tua Encik Andak disebut-sebut dalam tiga kisah yang berbeda pada Tuhfat. Dengan menyebutkan sebab-sebab perang saudara Melayu-Bugis pada 1745 – 1760, Tuhfat memberitahukan bahwa ada tiga sudut pandang; pandangan Bugis (yakni Sultan Sulaiman, pandangan Melayu dan pandatuan raja tua Encik Andak); ”Raja tua, putra Daeng Menampuk, memiliki ibu seorang bangsa Melayu, jadi sikapnya mendua. Kadang-kadang dia memihak kepada kelompok Melayu dan kadang-kadang dia mendukung Sultan Sulaiman”. Ini semua dikatakan oleh Tuhfat mengenai raja tua; kita hanya bisa menambahkan bahwa sumber Belanda mempertegas kedua keturunan ini.

Tuhfat menyebut raja tua Encik Andak lagi pada 1767 ketika Riau terancam oleh serbuan Sultan Mansyur dari Trengganu bersama dengan Raja Ismail dari Siak. Diketahui bahwa bukan hanya raja Melayu itu yang merencanakan untuk mencegah para penyerang, namun bahwa juga raja tua telah menahan raja Bugis dan meledakan gudang peluru yang dipertuan muda. Penyerbuan itu gagal, namun raja tua dibuang dari Riau dengan kata-kata:

“Bagaimana engkau ingin menghancurkan jiwaku? Aku merasa bahwa engkau dan aku selalu bersengketa, dan sejauh ini kukatakan bahwa meskipun kita berdua adalah keturunan Bugis. Saat ini kepercayaan saya kepadamu telah luntur dan keyakinan saya kepadamu telah lenyap. Saya tidak bisa memberikan kepercayaan kepadamu sedikitpun.”

Peranan terakhir yang dimainkan oleh raja tua Encik Andak terjadi pada tahun 1784 – 1785, setelah Riau ditaklukan oleh armada laut Belanda. Meskipun Belanda memulihkan Sultan Mahmud sebagai penguasa Melayu yang sah di Johor, raja tua berusaha untuk merebut kepemimpinan de fakto, meskipun ada keputusan Belanda bahwa tidak ada  menteri Bugis yang boleh berkuasa di Riau lagi. Jelas raja tua pura-pura mengaku sebagai orang Melayu dan sebenarnya dia umumnya dianggap demikian.

Sebagai kesimpulan, nampak bahwa selama abad ke-18, raja tua Bugis bersaing atau bahkan menentang posisi berkuasa Yang Dipertuan Muda dan dia sangat dekat dengan kelompok Melayu. Dalam Tuhfat, raja tua diabaikan atau dianggap sebagai pengkhianat setelah 1750. Gambaran ini banyak mendukung ide umum mengenai keterikatan erat antara orang Bugis Johor dibawah kepemimpinan Yang Dipertuan Muda.

Kedatangan Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
Bardasarkan sumber-sumber yang telah ditemukan, dapat dikatakan bahwa gelombang emigran orang-orang Bugis Makassar ke Semenanjung Melayu melalui tiga periode. Pertama, berlangsung pada masa sebelum kawasan Sulawesi Selatan memasuki proses Islamisasi. Mereka itu sudah tersebar di berbagai tempat Semenanjung, Sumatera, Malaka, dan Kalimantan yang menghubungkan kawasan-kawasan itu dengan rute  perdagangan dengan Pusat Melaka.

Kelompok Bugis pada masa itu belum membentuk dirinya dalam suatu kekuatan militer. Mereka umumnya masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil sebagai pedagang antarpulau dan sebagai nelayan. Itulah sebabnya mereka pada umumnya tinggal di kawasan pantai. Mereka dapat dikatakan sebagai kelompok the sea men atau orang laut.

Gelombang kedua terjadi pada masa proses Islamisasi sedang berlangsung di Sulawesi Selatan. Masa berlangsung Islamisasi itu berkaitan erat dengan gerakan politik yang dilancarkan Kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya untuk menundukkan kawasan-kawasan yang belum masuk Islam. Dan sampai Islam diterima masyarakat setempat, konflik politik juga masih berlangsung.

Gelombang ketiga berlangsung setelah Kerajaan Gowa dan Wajo jatuh ke tangan VOC. Masa ini merupakan periode yang paling banyak terjadi perpindahan orang-orang Bugis Makassar ke Semenanjung. Perpindahan yang terjadi dalam gelombang ini berbentuk kelompok yang besar. Mereka tidak saja terdiri dari  masyarakat lapisan bawah, tetapi dapat dikatakan terdiri dari  semua lapisan sosial.

Dari ketiga gelombang yang disebutkan di atas, gelombang terakhir inilah yang paling menarik. Faktor perpindahan ini berkaitan erat dengan akibat langsung dari peperangan  yang terjadi di kawasan Sulawesi Selatan. Orang-orang Bugis Makassar yang termasuk ke dalam gelombang yang terakhir ini dipimpin langsung oleh kelompok bangsawan. Dengan sisa-sisa kekuatan militer dan kekayaan yang mereka miliki, kelompok bangsawan ini mengikuti pengikut-pengikutnya atau rakyat yang meninggalkan kampung halamannya untuk merantau dengan tujuan utamanya untuk melanjutkan perjuangan melawan kekuasaan Belanda. Perjuangan dalam melawan kekuasaan Belanda itu dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan melakukan gangguan pada rute perdagangan atau pelayaran Belanda di Selat Makassar, pantai Ambon, Selat Malaka, pantai Kalimantan yang strategis, dan Kepulauan Riau. Tindakan mereka dikaitkan dengan “bajak laut”.

Sejak kedatangan orang-orang Melayu di kerajaan Makassar (Kerajaan Gowa), peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan sosial budaya. Peranan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa, misalnya, menyebabkan Raja Gowa ke-XII, Mangarai Daeng Pamatte Karaeng Tunijallo, membangun sebuah masjid di Kampung Mangallekana untuk kepentingan para saudagar Melayu agar betah tinggal di Makassar, sekalipun dia sendiri belum beragama Islam. Adanya perkampungan para saudagara Melayu itu membuat struktur kekuasaan Kerajaan Gowa dibantu juga oleh orang-orang Melayu, yang memegang peranan penting di Istana Kerajaan Gowa. Hal ini dapat ditemukan dalam untaian kalimat sebagai berikut:

“Kamilah orang-orang Melayu yang mengajar anak negeri duduk berhadap-hadapan dalam pertemuan adat, mengajar menggunakan keris panjang yang disebut tatarapang, tata cara berpakaian dan berbagai hiasan untuk para anak bangsawan”[v]

Dalam periode 1546 – 1565, pada masa raja Gowa ke-10, seorang keturunan Melayu berdarah campuran Bajo yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang, yang juga dikenal dengan nama I Daeng Ri Mangallekana, diangkat sebagai Sahbandar ke-II Kerajaan Gowa. Sejak saat itu, secara turun temurun jabatan Sahbandar berturut-turut dipegang oleh orang Melayu sampai dengan Sahbandar Ince Husein, Sahbandar terakhir tahun 1669, ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC.

Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana yang dijabat pula oleh orang-orang Melayu, yakni Incik Amin. Incik Amin merupakan juru tulis istana yang terakhir dan amat terkenal di zaman kebesaran Kerajaan Gowa, di zaman Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke XVI (1653 – 1669). Sebuah karya tulisnya yang amat indah berjudul Syair Perang Makassar yang mengisahkan saat-saat terakhir Kerajaan Gowa tahun 1669.

Salah satu sumbangan utama orang-orang Melayu di kawasan yang kini disebut Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi, ialah upayanya dalam menyebarkan agama Islam dan penyebaran kebudayaan Melayu. Pada 1632, rombongan migran Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh seorang bangsawan Melayu dari Patani bernama Datuk Maharajalela.[vi] Turut serta dengannya kemanakannya suami istri yang bergelar Datuk Paduka Raja bersama istrinya yang bergelar Putri Senapati. Raja Gowa memberinya tempat di sebelah selatan Somba Opu, ibukota Kerajaan Gowa, karena di sana telah berdiri perkampungan Melayu asal Patani. Sejak saat itu, Salajo diganti menjadi kampung Patani, hingga sekarang.

Tidak dapat diketahui tahunnya secara pasti kapan orang-orang Melayu Patani dan Minangkabau bermukim di Salajo, satu daerah pesisiran Negeri Makassar. Dari beberapa sumber lokal diketahui bahwa orang-orang Melayu mungkin sudah bermukim di Salajo sekitar tahun 1512, tak lama setelah keruntuhan Malaka di tahun 1511.

Datuk Leang Abdul Kadir bersama istrinya, Tuan Fatimah, dikenal sebagai cikal bakal keluarga Melayu asal Patani di Salajo. Sedang Datuk Makkota bersama istrinya, Tuan Sitti, adalah cikal bakal keluarga Melayu Minangkabau dari Pagaruyung di Salajo. Merekalah generasi pertama migran Melayu di Salajo, sebuah perkampungan di Kerajaan Sanrobone, daerah bawahan Kerajaan Gowa.

Pada generasi keII Masyarakat Melayu di Salanjo lahir dari perkawinan antara orang-orang Melayu Minangkabau. Ikatan ini ditandai dengan perkawinan Tuan Aminah, Putri Datuk Leang Abdul Kadir dengan Tuan Rajja Putra Datuk Makotta, Generasi keIII masyarakat Melayu Salajo ditandai dengan penggunaan titulaturIncek” Ali, “Incek” Talli, “Incek” Hasan, dan sebagainya. Dan sejak saat itulah titulatur Incek digunakan oleh orang-orang keturunan Melayu terpandang. Generasi keIV terjadi perkawinan campuran antara Dara Incek keturunan Melayu di Salajo dengan orang Bajo (“Turijene” bahasa Makassar) yang ditandai dengan perkawinan Incek Tija, PutriIncekAli, cucu tuan Rajja/Tuan Aminah dengan seorang tokoh masyarakat Bajo di Sanrobone yang dikenal dengan nama Lolo Bajo. Perkawinan melahirkan generasi keV masyarakat Melayu campuran Bajo di Salajo dan Sanrobone. Generasi yang lahir dari campuran darah Melayu-Bajo dikenal dengan penggunaan titulatur Kare di depan nama diri seperti: Kare Bali, KareTongngi, Kare Ponto, Kare Muntu”, dan seterusnya. Dan sejak saat itu titulatur Kare dikenal dalam sistem kemasyarakatan Makassar”.[vii]

Barulah kemudian pada generasi selanjutnya, ketika terjadi perkawinan campuran antara para keturunan “Kare” dengan para bangsawan lokal, Bugis melahirkan generasi baru Bugis Makassar keturunan Melayu atau generasi baru Melayu keturunan Bugis yang dikenal sebagai golongan “Tumadeceng” (Bugis) “Tomabaji” (Makassar) dengan menggunakan nama Pa’daengan, seperti I Minallang Daeng Kenna, I Nali Daeng Tonji, I Yoho Daeng Siang.

Di kampung Salajo didapati kuburan  yang sampai saat ini ramai dikunjungi peziarah. Menurutnya kuburan ini merupakan kuburan Tuan Rajja. Masyarakat sekitarnya menyebutnya kuburan “Jawa Patani”. Tak begitu jauh dari Salajo di kampung Balaparang terdapat kompleks pekuburan orang Melayu dimana Datuk Mahkota dan Datuk Leang Abdul Kadir dikuburkan. Datuk Rajja atau Tuan Rajjab dikenal sebagai seorang faqir ulama tasawuf pengajar agama Islam yang amat terkenal di Sanrobone karena kampung Salajo adalah sebuah daerah yang berada di bawah kekuasaan Sanrobone. Dalam naskah silsilah asal keturunan pertama ulama besar Melayu di Negeri Sanrobone milik Ince Abd. Razak Daeng Hyago, disebutkan bahwa pada bulan Rabiul Awal 1020 Hijriah, Datuk Rajja ( Tuan Rajab) mengirim surat ke Patani mengabarkan tentang dirinya yang sudah bermukim di negeri Salajo dan menjadi Guru Mangkasara dan pada Melayu serta sekalian hamba Allah. Berdasarkan atas sumber tersebut dapat dipastikan bahwa Datuk Rajja Witau Tuan Rajab adalah nama diri dari Al Makassari As Sanrobone, seorang ulama tasauf keturunan Melayu yang sudah menulis berbagai buku tasauf dan ilmu fikih sejak tahun 1540. Salah satu manuskrip tasauf hasil karyanya ditemukan di Bira, ditulis di atas kertas papyrus abad ke16. Mikrofilm naskah asli tersebut berada di koleksi Proyek Naskah Universitas Hasanuddin Rol 74 dan no. 5.

Ketika Datuk Maharajalela tiba di Kerajaan Gowa (Makassar), ia tidak hanya disertai oleh keluarga dan para pengikutnya, tetapi bersamanya sebuah Regalia Patani berbentuk bendera Cindai yang bernama “Buluh Perindu”. Datuk Maharajalela kemudian diangkat oleh orang-orang Melayu atas persetujuan dan izin Raja Gowa menjadi ketua segenap orang Melayu, tidak hanya di Kerajaan Gowa tetapi di kawasan yang kini disebut Indonesia Timur dengan sebuah Datuk Ponggawa. Sedang “Bulu perindu” bendera Cindai yang sakral itu menjadi simbol ikatan seluruh orang Melayu di yang kini disebut Indonesia Timur. Sampai dengan abad ke-XX “Buluh Perindu” masih tersimpan di kampung Melayu di Makassar dan konon sekarang disimpan oleh salah seorang keluarga masyarakat Melayu di Makassar.

Mengkritisi Kesaksian Sumber-Sumber Melayu Bugis
Penilaian tentang konsep Tuhfat oleh para sejarawan dianggap ambivalen, seperti halnya sifat umum mereka terhadap orang Bugis. Sungguh menarik ditelaah bahwa sejak abad ke-19 orang Bugis di Johor di satu sisi telah disingkirkan sebagai orang-orang luar yang berbahaya yang telah menindas penduduk pribumi Melayu. Tapi di sisi lain, dipuji sebagai para pendukung bahasa murni Melayu. Ambivalen ini ditunjukan dalam ilustrasi Tuhfat, meskipun Tuhfat ditulis oleh pujangga Bugis dari pembenaran atas kekuasaan Bugis di Johor. Di satu sisi, pandangan Tuhfat yang jauh membenarkan tingkah laku Bugis ditolak sebagai hanya sebagai propaganda belaka. Tapi di sisi lain, sejauh melukiskan kondisi bawahan orang Melayu, digunakan untuk membuktikan betapa berkuasanya orang Bugis di Semenanjung.

Berbagai jenis naskah Melayu yang menarik, di antaranya Bowen dengan  menggunakan model genealogi sejarah Melayu. Menurutnya ,penyajian Tuhfat hampir tidak dianalisa secara kritis. Ia menegaskan bahwa Tuhfat dalam membahas naskah-naskah sumbernya sering menggunakan informasi secara rumit. Akibatnya, penyajiannya mengenai struktur istana Johor kurang jelas. Di satu sisi terlalu menekankan peranan Yang Dipertuan Muda Bugis, dan di sisi lain mengubah kembali Sultan Melayu Sulaiman untuk menjadi raja boneka yang ceria.

Sayang sekali kita tidak memiliki hikayat pro Melayu sebagai perbandingan dengan Tuhfat. Akan tetapi, ringkasan sejarah Melayu yang ditulis di Lingga oleh Tengku Muhammad Saleh pada 1930 dan belakangan ditemukan oleh Virginia Matheson, nampaknya merupakan alternatif meskipun menarik sebagai strategi keselamatan budaya dari garis keturunan Lingga.

Ada sebuah buku catatan kecil berbahasa Jerman yang diedit oleh Ernst Ulrich Kratz tahun 1773 dengan judul  Peringatan Sejarah Negeri Johor yang bermula tahun 1699 sampai 1750. Buku ini merupakan buku harian yang ditulis dengan cara yang sangat rumit, dengan kronologi yang tepat dan didasarkan pada sumber arsip sebagai kutipan yang benar dan lengkap dari dua dokumen (sebuah kontrak dengan Minangkabau tahun 1926 dan sebuah surat dari Gubernur di Malaka pada 1745). Kratz telah menyebut peringatan ini sebagai biografi politik Sultan Sulaiman, namun karya ini bisa disusun oleh Bendahara Tun Hassan yang menyusun sebuah syair indah. Bagaimanapun, peringatan ini ditulis dalam sidang istana baru di Riau dan merupakan naskah yang unik. Cukup menarik, persekutuan Bugis-Melayu hanya disentuh dalam beberapa bagian, seperti penahanan orang-orang  Melayu oleh orang Bugis pada 1722. Ketika Sultan Sulaiman berselisih dengan orang Bugis pada 1723, orang Bugis membuat kontrak rahasia. Ketika itu, Daeng Kamboja dan Raja Sayid tidak mau tinggal bersama dengan Sultan Sulaiman. Leonard Andaya mungkin benar menduga bahwa pada saat hikayat ini ditulis pada 1750, suatu pandangan anti-Bugis yang terbuka telah meledak.

Naskah sumber lain dari Tuhfat yang kadang-kadang dirujuk juga adalah hikayat Tuhfat. Hal ini merupakan versi sejarah Melayu yang diperluas, yang mencakup sejarah Siak antara 1699 dan awal abad ke-19. Begitu pula hikayat negeri Johor versi sejarah yang diperluas (sejauh menyangkut pertengahan pertama abad ke-18) merupakan versi Bugis dari buku catatan peringatan; silsilah Melayu dan Bugis (tidak ada manuskrip yang terkenal; ada edisi Jawa komplet; silsilah Melayu yang komplit dan silsilah raja-rajanya, serta edisi Rumi tanpa syair seperti silsilah Melayu dan Bugis; terjemahan singkat dibuat oleh Hans Overbeck; silsilah Melayu dan Bugis dan sekalian silsilah raja-rajanya), sebuah naskah pasangan dari Tuhfat yang ditulis oleh pasangan Raja Ali Haji pada 1660-an namun berakhir jauh lebih awal pada 1737; dan karangan Ungku Bussu atau sejarah raja-raja Riau, hikayat pro Bugis dan anti Melayu yang paling terkenal dan berakhir pada awal abad ke-19.

Tuhfat dalam pengantar bukunya mengulas  bahwa  kisah raja-raja Melayu serta Bugis hanya mengulas pola peristiwa-peristiwa yang menyangkut raja-raja Melayu dan Bugis, seperti peristiwa Melayu raja-raja Johor dan wilayah Bugis serta Pulau Perca (Sumatera). Ini sebenarnya merupakan konsep penting Tuhfat; percampuran dua dinasti kerajaan, yakni Melayu dan Bugis menjadi suatu keluarga penguasa yang baru. Tuhfat mengulas bahwa dinasti Bugis dijumpai dengan lima bersaudara yang terkenal yang datang mengembara dari Sulawesi ke Barat (Daeng Parani, Marewah, Macelah, Menambun, dan Kamase). Kedua genealogi itu dan narasinya dimulai dengan lima bersaudara ini. Pengembaraan mereka dari Sulawesi ke Semenanjung Melayu diuraikan secara terperinci.

Sumber-sumber VOC menegaskan peranan penting yang dimainkan oleh lima bersaudara itu, setidaknya Daeng Marewah yang menjadi kepala pemukiman Bugis di Linggi dan Selangor, beberapa saat antara 1705 dan 1715. Namun, mereka juga menunjukan bahwa ada dinasti yang berkonflik dipimpin oleh Daeng Menampuk tidak bisa dikacaukan dengan Daeng Manambun, pendatang Bugis lainnya yang memiliki pengikut sendiri. Ketika orang Linggi diserang oleh Johor pada 1715, dikatakan bahwa Daeng Marewah dan pengikutnya bermukim di tepi selatan sungai Penagi, dan daerah Menampuk serta pasukannya berada di sisi utara.

Setahun kemudian, Malaka menerima utusan dari Linggi yang mewakili Daeng Menampuk dan Daeng Marewah. Namun, dua orang pimpinan ini tidak selalu bekerjasama. Pada 1719, Daeng Marewah bersekutu dengan bendahara Johor yang mengungsi, yang melarikan diri dari serangan raja kecil. Belanda mengetahui bahwa Daeng Menampuk sangat berkenan apabila dia tetap berada di luar kesepakatan itu dan karenanya mulai merampok wilayah bendahara. Tiga tahun kemudian, ketika Raja Kecil diusir dari Riau, Marewah dan Menampuk kembali bekerjasama sebagai panglima armada mereka, namun kembali konflik diantara kedua pimpinan itu pada 1722 yang memaksa Daeng Marewah kembali ke Linggi.

Dalam Tuhfat, Daeng Menampuk hanya disebut beberapa kali sebagai menteri hulu balang (silsilah Melayu dan Bugis); “Adalah orang yang bersama Baginda Opu Daeng berlima beradik itu daripada menteri hulu balangnya anak daeng-daeng yaitu ada tiga orang. Pertama Daeng Manompo, kedua Daeng Masuro dan ketiga Daeng Muntu, melayani ketiga orang bersaudara namun tidak pernah sebagai pimpinan Bugis kedua setelah Daeng Marewah”. Pembaca dengan mudah akan menduga bahwa dia merupakan salah satu dari 40 anggota kelompok daeng yang membentuk generasi berikut yang membentuk pengikut dari lima bersaudara itu.

Pada 1722 Daeng Menampuk diberi posisi yang lebih penting dalam Tuhfat. Pada tahun itu, raja kecil dari Siak dikalahkan oleh orang Bugis. Tuhfat menyampaikan bahwa Raja Sulaiman dilantik sebagai Sultan Yang Dipertuan Besar oleh Daeng Marewah dan saudaranya. Setelah itu,Daeng Marewah menerima tawaran Sulaiman untuk memangku jabatan Yang Dipertuan Muda dan dia juga dilantik. Satu-satunya pangeran Bugis lainnya yang dianugerahi dengan posisi resmi di negara Johor adalah Daeng Menampuk. Menurut Tuhfat; “Yang dipertuan Muda dan Paduka Raja Sulaiman menganugerahkan gelar raja kepada Daeng Menampuk, yakni anggota senior (tua-tua) yang mengatur urusan di bawah Yang Dipertuan Muda”. Jangan dikacaukan dengan sultan tua atau yang dipertuan muda, karena sultan menunjuk pada Yang Dipertuan Besar atau Yang Dipertuan Muda. Penjelasan tambahan pasti mengarah pada peringatan sejarah negeri Johor.

 


[i] Kernial Singh Sandhu, Malaka; The Transformation of a Malay Capital 1400-1980.yang dikutip dalam Barbara Weston Andaya Malaka Under The Dutch 1641-1795 P.1

[ii] Dalam percaturan politik berbagai suku di Asia Tenggara khususnya abad ke-18 orang  Bugis rantau digambarkan   sebagai  “the ruling  class “  dalam mengatur  perompakan di Selat  Malaka dan Maluku yang tujuannya meguasai perdagangan timah dan rempah-rempah. Bahkan  tidak sekedar itu saja orang Bugis rantau dapat mengontrol jalannya  kesinambungan kekuasaan di  Semenagjung Melayu, terutama di Kesultanan Johor. Predikat tersebut membaut aikon orang Bugis dikenal sebagai pemimpin yang pintar, berani, tagas dan jujur ( maccai nawarani magettengngi na malempu). Kalimat tersebut  menjadi standar penilaian secara kwalitatif “kemelayuan” dan “kebugisan”. Untuk  lebih jelasnya lihat makalah A. Rasyid Asba, Seminar Melayu Bugis

[iii] Dalam Traktat London tahun 1824 dijelaskan bahwa  Inggeris  menyerahkan Belanda  untuk menguasai Melayu dan semua pulau yang terletak di  Pelayaran Hindia Timur sampai Cina, suatu langkah politik  yang memecah  kerajaan Johor . Yang tersisa bagi kesultanan Johor hanyalah kepulauan Riau, sementara dua pimpinan Melayu terbesar dari kerajaan besar itu terputus di Pahang dan Johor dari para penguasa mereka yang berada di daerah Riau dan segera menjadikan mereka sultan-sultan merdeka. Ikatan antara penguasa Bugis di Slangor dan diaspora Bugis di Riau juga telah dibatasi. Untul lebih jelasnya lihat  Malaya and its History Hutchinson University Library,tanpa tahun.

[iv] Di kutip dari  Hamid Abdullah, Peranan Militer Bugis pada Abad  ke-18 di Smenangjung  dalam Analisis Kebudayaan, Univ. Dipenogoro Semarang. Tanpa tahun.

[v] Mukhlis Paeni, Makalah Seminar Masyarakat sejarawan Indonesi a “  1998.

[vi] Untuk Keterangan lebih lanjut  lihat Sejarah Keturunan Indonesia Melayu (K.K.I.K.M) Makassar tanpa tahun. Bandingkan dengan Abdurrasak Dg Patunru “Sejarah Gowa” 1976. hal.19-20.

[vii] Mukhlis Paeni, Ibid

 

Bibliografi
Afgaande Engelsche Brieven Kolek si ANRI Bundel Makassar no. 265/1.

Afgaande Engelsche Brieven Kolek si ANRI Bundel Makassar no. 265/2.

Afgaande Engelsche Brieven Kolek si ANRI Bundel Makassar no. 266/1.

Afgaande Engelsche Brieven Kolek si ANRI Bundel Makassar no. 267/1.

Abidin bin Abdul Wahid, Datuk Zainal, Power and Authority in the Melaka Sultanate; the Traditional View”, dalam Kernial Singh Sandhu and Paul Wheatly (ed.). 1983. Melaka; The transformation of A Malay Capital 1400-1980, volume one, Kuala Lumpur, Oxford University Press.

Abdurrahim dan Wolhoff, G.J. Tanpa tahun. Sejarah Gowa, Bingkisan Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Andaya, Leonard Y. 1975. The Kindom of Johor 1641 1728. London: OUP.

Berg, C.C., C. Wessels, H. Terpsra. 1938. Geschiedenis van Nederlandsch Indie, deel ii, Amsterdam, Uitgeversmaatsch.

Berg, C.C., C. Wessels, H. Terpsra. 1938. Geschiedenis van Nederlandsch Indie, deel ii, Amsterdam, Uitgeversmaatsch.

Collik Pujie. 1883. Geschiedenis van Tanete. G.K. Niemen, s. Gravenhage. 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda tahun 1839 1848. Jakarta, Martinus Nijhoff, Leiden.

Cortesao, Armando, 1944. The Sumna Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodrigues, London, Hakluyt Society.

Greg Acciaioli, Networks and Nets; Prinsiples and Processes in Bugis Migration Strategies to Lake Lindu, Central Sulawesi (KITLV, Leiden 2-6 Nopember 1987).

Reid, Anthony. 1983. The Rise of Makassar, Review of Indonesian and Malaysian Affairs (RIMA) Vol. XVII.

——————. 1984. Slaveri, Bondage and Dependency in Southeast Asia, S.Lucia. Australia: University of Queensland Press.

——————-. 1984. The Pre-Colonial Economy of Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic, Studies Vol. XX No. 2 Agustus.

——————-. 1988. Southeast Asian the Age of Commerce, Vol. I: the Land Below the Winds, New Haven & London: Yale University Press.

——————-. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 1680, Jilid I, Jakarta: Yayasan Obor.

——————-. 1993. Southeast Asia in the Age of Commerce, Vol. II. Expansion and Crisis. New Haven & London: Yale University Press.

Report By The Port Survey Team of The United Nations Economic Commission for Asia and  the far East. 1968. The Ports of Makassar, Banjarmasin and Palembang Republik of Indonesia.

Rasyid Asba Prof. Dr. A. Rasyid Asba, MA., adalah Ketua Konsentrasi Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, juga sebagai Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Selain itu Juga Direktur Pusat Kajian Multikultural dan Pengembangan Regional Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Comments with Facebook

Comment(3)

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *