Salihara dan Lokalitas Jakarta

Suara-suara marah terdengar lantang di depan gerbang Salihara. Jumlahnya puluhan orang, terdiri dari Forum Betawi Rembug (FBR), Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), dan Front Pembela Islam (FPI). Saat itu, Jumat (4/5) malam, di dalam gedung sedang ada diskusi dengan pembicara Irshad Manji, seorang feminis asal Kanada. Massa yang marah meminta diskusi tersebut dihentikan dan pembicara diusir.
Kedatangan para pemrotes membuat diskusi berhenti. Peserta diskusi pun berpencar, sebagian berkerumun di tempat lain. Pada sejumlah peserta yang keluar dan berdiri di pelataran, polisi meminta agar mereka masuk kembali ke dalam atau akan diantarkan ke luar. Di pelataran yang sama, sejumlah wartawan pun diminta oleh polisi agar dapat menjaga diri.
Nuansa ketegangan mendadak tercipta di lokasi itu. Seiring waktu, jumlah pemrotes terus bertambah. Informasi pun sempat simpang siur.
“Banyak bule di dalam. Ada homo dan lesbian mau dikawinin,” kata salah seorang pemrotes.
Kabar yang sampai pada pemrotes memang berbeda dengan kenyataan di dalam gedung. Di dalam, yang terjadi adalah diskusi mengenai buku Allah, Liberty and Love yang ditulis oleh Irshad Manji. Irshad Manji sendiri adalah sosok kontroversial karena dia tak ragu menyatakan diri sebagai lesbian. Akan tetapi, konteks pada diskusi bukunya malam itu adalah mengenai pemikirannya tentang Islam.
Hanya saja, pemrotes tetap tidak mau tahu. Sosok lesbian yang melekat pada pembicara lebih dijadikan alasan untuk melakukan protes ketimbang yang lain.
“Saya orang kampung sini asli, Pasar Minggu. Saya gak mau kampung saya dikotorin. Karena pengotoran ini menyebabkan murkanya Allah. Kita gak mau. Ini pembawa sial bagi kampung kami. Orang yang berzina saja Allah sudah laknat, apalagi perempuan dengan perempuan, laki dengan laki,” ujar Novel, warga Pasar Minggu yang juga Sekretaris Front Pembela Islam DKI Jakarta.
Tapi, kampung Pasar Minggu, Jakarta, yang dimaksud Novel ternyata dimaknai oleh peserta diskusi sebagai sebuah ruang bebas.
“Ini masyarakat Jakarta yang datang dari berbagai macam latarbelakang. Kita tidak melihat itunya (peserta diskusi yang datang dari komunitas gay dan lesbian-red). Mau agama, mau seksual, mau apa… kita tidak melihat itu. Ini plural banget.” ujar salah seorang peserta diskusi.
Sementara itu, pemilik Salihara, Goenawan Mohamad, mengatakan bahwa pihaknya tidak tahu jika ada penduduk asli atau warga yang menolak adanya diskusi buku tersebut.
“Sebelumnya belum pernah ada pemberitahuan bahwa warga berkeberatan. Baru setelah polisi datang, kami baru tahu ada warga yang menolak,” ujar Goenawan yang juga penyair dari Batang, Jawa Tengah.
Secara administrasi, gedung Salihara masuk dalam wilayah administrasi Rukun Tetangga RT 14 Kelurahan Pasar Minggu. Hanya saja, Ketua RT 14, Jayadi, mengaku tidak pernah diberitahukan jika Komunitas Salihara akan menggelar pertunjukan, diskusi, atau kegiatan berkesenian. Salihara, menurut Jayadi, justru selalu memberitahukan agenda kegiatannya kepada Ketua RT 11 yang sebetulnya tidak mewilayahi gedung tersebut.
“Kecuali awal-awal pembangunan gedung Salihara, kami diberitahukan. Setelah itu gak ada lagi. Mungkin karena saya gak masuk dalam organisasi semacam Forkabi,” ungkap Jayadi yang mengaku asli Betawi.
Bahkan Jayadi pun tak tahu menahu perihal pembubaran diskusi dan peluncuran buku di gedung Salihara. Dia baru tahu kejadian tersebut pada siang harinya, Sabtu (5/5). Sebab, dia sudah terbiasa dengan aktivitas di Salihara yang membuat jalanan menjadi macet.
“Saya kira keramaian semalam hanya kegiatan seperti biasa yang terjadi di Salihara. Eh, gak tahunya ada peristiwa penyerangan. Padahal ini wilayah saya,” ujar Jayadi.
Pembubaran diskusi yang sebetulnya dilakukan oleh polisi atas desakan pemrotes ini tak pelak membuat peserta bingung.
“Orang yang ingin belajar, mengetahui hal-hal baru, kemudian kita ingin sharing (berbagi-red) pengalaman, tapi kemudian dari polisi bilang bahwa ada sekelompok warga yang tidak terima, kemudian mereka menuntut agar ini dibubarkan, itu memperlihatkan bahwa polisi tidak melihat apa keinginan-keinginan kami. Bahkan mereka menyuruh kami pulang dengan paksa tadi,” ujar salah seorang peserta diskusi.
Menurut peserta diskusi, Polisi Pasar Minggu sempat masuk begitu saja ke ruang diskusi ketika acara tengah berlangsung. Polisi itu berdiri dan memberitahukan bahwa organisasi-organisasi Islam, masyarakat, tidak menerima diskusi ini dilakukan.
“Dan kita dibubarkan. Jadi yang meminta dibubarkan memang kapolsek (Kepala Kepolisian Sektor Pasar Minggu-red) itu. Kalau tiba-tiba dibubarkan, kan kita gimana gitu… Kita sangat kecewa dengan kapolsek itu,” kata seorang peserta diskusi.
Penduduk asli
Goenawan Mohamad mengatakan bahwa kejadian ini membuat pihaknya kehilangan hak. Hak yang dimaksud adalah hak untuk berbicara, hak untuk mendengarkan orang, dan hak untuk berkumpul. Kalaupun alasannya karena orang asing, menurutnya itu tidak relevan.
“Kami kan (sebelumnya) bikin acara dengan Anwar Ibrahim (dari Malaysia-red), dengan Adonis dari Syuriah, dengan Aminah Wadud (dari Amerika Serikat-red)… dengan siapa lagi ya… Banyak. Tidak pernah terjadi (pelarangan-red). Di sini sering sekali ada pertemuan. Peluncuran buku sudah biasa. Katanya orang asing tidak boleh… Anwar Ibrahim orang asing,” kata Goenawan membandingkan.
Akan tetapi, hak yang dimaksud oleh Goenawan itu, pada konteks ini, berpunggungan dengan perspektif pemrotes yang berasal dari Betawi.
“Yang pasti kami mau bersih kampung kami ini dari hal sedemikian itu,” ujar Novel.
Etnis Betawi adalah penduduk asli, tuan rumah yang menjadi minoritas di negerinya sendiri. Saat ini, dari berbagai sumber, disebutkan bahwa jumlah etnis Betawi di Jakarta adalah sekitar dua persen. Selebihnya adalah orang dari berbagai bangsa atau etnis di Kepulauan Melayu yang datang akibat pemusatan anggaran, politik, dan kebudayaan yang dilakukan Indonesia di Jakarta.
Terkait dengan konstelasi penduduk asli dan pendatang, Profesor Mardjono Reksodiputro, Sekretaris Komisi Hukum Nasional, pernah mengatakan kepada LenteraTimur.com bahwa Indonesia sebetulnya tidak bisa disandingkan dengan Amerika. Ia lebih tepat jika dibayangkan dengan Eropa.
“Indonesia tidak bisa diandaikan dengan Amerika Serikat, melting polt (tempat percampuran-red). Tapi Indonesia semestinya diandaikan dengan Eropa. Itu multikulturalisme,” ujar Mardjono, Jumat (27/4), di Jakarta.
Penduduk Indonesia memang bukan pendatang yang kemudian mendiami wilayah-wilayah yang ada di Indonesia. Indonesia terbangun dari berbagai macam negara, umumnya berbentuk kerajaan, atau komunitas dari beragam latarbelakang yang sudah lebih dahulu ada ketimbang negara. Karena itu, pluralisme saja memang tidak cukup. Indonesia juga membutuhkan multikulturalisme.
Dalam konteks ini, keinginan orang Betawi, jika benar aksi Jumat malam itu mewakili Betawi di Pasar Minggu, berbenturan dengan hak warga negara untuk berkumpul dan berpendapat. Akan tetapi, dengan hadirnya kekerasan berupa pemaksaan, bahkan membuat keselamatan orang terancam, telah menunjukkan bahwa negara gagal dalam mengkomunikasikan antara keinginan orang asli dan pendatang.
TM. Dhani Iqbal/Christopel Paino/Arif Budiman
Comments with Facebook