“Spanyol yang dibantai dengan kejam oleh kekuatan militer Perancis melahirkan Picasso dan Goya dengan karya-karya mereka yang monumental. Meksiko yang bangkit berlawan sebagai bangsa juga melambungkan nama besar Diego Rivera. Darah dan cita-cita melahirkan karya-karya besar. Tetapi, tidak di sini, Indonesia! Dengan kekecualian “Ronggeng Dukuh Paruk”, novel Ahmad Tohari, dan trilogi celeng karya pelukis Djoko Pekik, peristiwa-peristiwa berdarah 1965-1966 yang menelan korban ratusan ribu orang yang tak bersalah tidak menghasilkan apa-apa untuk dikenang sejarah bangsa ini. Seni musik tidak. Tari mana pula ada. Film juga tidak! Karena film “Pengkhianatan G30S/PKI”, sudah buruk, cuma berisi kebohongan untuk melanggengkan kekuasaan Suharto.
Karya seni sudah ditakdirkan untuk selalu memihak pada korban. Ketika terjadi pembantaian 1965-1966, Taufiq Ismail dengan sadar (sampai sekarang!) tidak memberikan empati pada yang dibinasakan. Tak mengapa. Karena memang itulah pilihan hidupnya. Larik puisi-puisinya tidak dengan lantang menyambut tampilnya Jenderal Suharto untuk memimpin panggung Orde Baru, namun terasa dia meletakkan harapan besar pada rezim militer yang sedang merangkak naik ketika itu, dengan dukungan mahasiswa.
Malang, Taufiq terjerumus ke dalam jurang yang pernah dia kutuk: puisi-puisi pamflet. Melalui puisinya, dia menghujat apa yang dia cap sebagai “tirani” Orde Lama dan Soekarno. Namun, genre puisi yang dia gunakan justru genre yang sejak lama dikembangkan oleh seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dalam menyenandungkan perjuangan mereka. “Bahkan di sana-sini bisa kita tangkap suasana dan derap irama yang sama, seperti di dalam sajak Klara Akustia”, tulis penyair-kritikus Subagio Sastrowardoyo dalam buku Bakat Alam dan Intelektualisme.
Subagio menguraikan dengan menyandingkan puisi-puisi Taufiq Ismail dengan penyair Lekra, antara lain Klara Akustia. Dia malah menyimpulkan, “… sajak-sajak perlawanan itu pada umumnya amat meragukan nilainya”. Sajak perlawanan di sini maksudnya adalah puisi-puisi Taufiq cs, yang oleh sementara kalangan dikategorikan sebagai pelopor “Angkatan 66” dalam sastra Indonesia modern. Alhasil, takdir bahwa sastra yang selalu memihak pada korban, yang dengan sadar ditampik Taufiq, dengan memihak pada penindas, ternyata hanya menghasilkan epigonisme.
Jatuhnya korban dalam penumpasan yang masif, namun tidak memberikan ilham bagi para seniman untuk melahirkan karya besar merupakan sebuah kutukan! Dan ketakutan, yang disebarkan oleh rezim militer Soeharto, telah berhasil mengunci hati dan ingatan para seniman pada kekejian yang pernah menimpa bangsa ini.
Sastrawan Inggris kelahiran Pakistan, Tariq Ali, ketika bertemu muka dengan para sastrawan Indonesia di Jakarta, belum lama ini, mengatakan, “Kalau Anda berdiam diri terhadap kekejaman yang telah terjadi, maka Anda membenarkan apa yang telah dilakukan rezim”.
Begitu berhasilnya hantu yang disebarkan oleh rezim militer yang berkuasa, sehingga seorang “budayawan muda berbakat” kelihatannya dengan sengaja melupakan peristiwa pedih yang dia alami sendiri. Ketika berusia empat tahun, ayahnya “digiring tentara ke atas truk dan tak pernah pulang lagi”. Namun, tak sepatah kata pun tentang peristiwa itu yang pernah dimunculkan sang budayawan dalam tulisannya yang bertebaran di banyak media, dan dalam banyak kesempatan. Kekejaman demi kekejaman hanya tinggal dalam pesta amnesia di negeri ini.
Kesadaran tak bisa dibungkam. Dan tak semua orang tenggelam dalam pasar malam pelupaan akan sejarah. Dalam jumlah kecil, ada yang merangkak, mengingat-ingat apa yang pernah mendera bangsanya ini di berbagai daerah. Sejumlah novel, cerita pendek, puisi, dan memoir yang ditulis dengan latar peristiwa 1965-1966 satu demi satu terbit, dan penulisnya mempertaruhkan diri untuk dicap, dan harus menelan stigma sebagai pembela korban.
Cerita pendek “Ayah” berikut ini, yang ditulis oleh Geger D Praha dari Mataram, salah satu di antaranya.”
(Martin Aleida)
——————————————————

Hari menjelang magrib. Tetapi, karena di kedua sisi jalan setapak dekat pekuburan desa itu berdiri pohon-pohon besar, suasana sekitar jadi tampak remang-remang, seperti di dalam hutan rimba. Namun, masih terlihat jelas ruas batang dan dahan pohon buwuh yang kulit batangnya mengelupas dan memutih terbungkus jamur benang, hingga tampak seperti lukisan wanita telanjang yang berdiri anggun, atau mirip kepulan asap yang membubung tinggi ke udara dalam cahaya senja yang makin temaram.
Aku yang berada dalam gendongan Ibu merasakan suasana sore itu seperti di dalam dongeng atau mimpi. Tapi, entah di mana, aku lupa. Aku hanya merasa terasing dan sepi. Bola mataku berputar-putar liar seperti gundu, menggelinding ke sana ke mari antara pucuk-pucuk pohon yang tampak membiru dalam warna senja yang makin suram dan ditandai tarian kepak sayap kelelawar yang terbang simpang siur di antara dahan-dahan.
Kelelawar, makhluk terbang menyusui, yang kepalanya mirip tikus itu, menggiring ingatanku pada sepotong kenangan di halaman rumah Nenek di kaki gunung Rinjani, dengan dua batang pohon jambu air dan sebatang pohon belimbing, sehingga saban sore di atas atap genteng berlumut rumah Nenek akan berdatangan ratusan kelelawar yang mengincar buah jambu dan belimbing, yang sebentar-sebentar akan memperdengarkan bunyi kelepuk buah jambu yang jatuh di halaman atau atap genteng yang tertutup sampah daun kering.
Seekor burung putih sebesar induk ayam terbang dari puncak pohon beringin yang berakar lebat mirip jenggot pedande[1], membuyarkan ingatanku pada kepingan kenangan di rumah Nenek yang dingin seperti es mambo, dan kini mendamparkan kembali kesadaranku pada gendongan Ibu yang tengah membawaku menyusuri jalan setapak sambil menjunjung bakul di samping pekuburan desa. Burung putih itu terbang berputar-putar sejenak di atas pohon palo yang cabangnya membentuk huruf “Y” di pucuk bukit Tongtong yang tengah mengepulkan asap dari kampung nelayan, lalu terbang lurus ke barat, seakan mengikuti selajur serat sinar matahari yang menerobos keluar dari celah awan kelabu, dan semakin mengerucut, hingga mirip kumbang tai yang nemplok di cermin, lantas menghilang, seperti masuk ke dalam kawah awan yang memancarkan sinar matahari berwarna kemilau.
Aroma kembang jepun dari pekuburan yang mengambang dalam hawa magrib yang lembab akibat angin dingin yang berhembus dari laut utara terasa menusuk-nusuk hidung. Udara dingin membuat aku menyusupkan wajah ke belahan buah dada Ibu yang besar dan bulat terbungkus baju kebaya kain brokat kuning bersulam burung srigunting, yang permukaannya kasar oleh serat-serat benang emas, namun membuatku merasa nyaman dan tenteram dalam kehangatan kasihnya.
Sebagai bocah umur tiga tahun yang baru disapih, aku tak lagi mengonsumsi Air Susu Ibu (ASI), tapi mulai diperkenalkan pada makanan orang dewasa, seperti nasi dan lauk-pauk, juga jenis makanan pedas. Diputusnya ASI secara mendadak itu tentu saja membuatku meradang dan ngambek selama berhari-hari, serta selalu menangis di malam hari saat akan tidur atau terbangun tengah malam.
Aku masih melekatkan wajah di dada Ibu, ketika telingaku mendengar suara anak kucing mengeong-ngeong, yang membuatku langsung menegakkan kepala, menengok ke sana ke mari, mencari-cari arah datangnya suara. Persis di belakang tumit Ibu, yang tengah berjalan di bawah deretan pohon lamtoro, seekor anak kucing hitam membuntuti langkah kami. Ia berlari-lari kecil sambil mengeong. Aku langsung meronta-ronta minta turun dari gendongan, ingin menangkap anak kucing hitam yang tampak lucu dengan segores warna putih di pucuk telinga kiri dan ujung moncongnya yang mungil mirip mulut penyanyi gambus keliling Sumarni Abadi, yang foto hitam-putihnya terpampang di pintu kamar kos abang sulungku, Rasyid, yang kini sedang menuntut ilmu di Sekolah Guru Bantu di Kota Praya.
Seperti yang selalu dilakukan Ibu pada setiap awal bulan, beliau akan datang ke Kota Praya, menjenguk abangku, untuk mengantarkan beras, lauk-pauk, seperti ikan asin, telur asin, biji kacang tanah, minyak sayur, sambal terasi, kue kering, dan lain-lain, untuk bekal sebulan. Dan setiap kali berpergian—karena masih kecil dan akan selalu menangis jika ditinggal pergi—aku akan selalu diajaknya. Biasanya kami berangkat pagi, dan pulang di sore hari. Pengalaman ke kota dengan naik dokar dan bis Damri itu selalu membuat cemburu dua orang kakak perempuanku, Erni dan Rahmi. Sehingga setiap pulang dari kota, begitu lepas dari gendongan, aku akan langsung dihujaninya dengan berbagai pertanyaan mengenai seputar pengalaman naik bis Damri, yang biasanya hanya akan kujawab dengan anggukan atau gelengan kepala, kendati tidak memahami maksud pertanyaannya.
“Seperti apa rasanya naik bis Damri? Enak ya?” begitu biasanya pertanyaan yang dilontarkan kedua kakak perempuanku.
Ibu marah-marah padaku karena meronta-ronta minta turun dari gendongan.
“Itu bukan kucing beneran, Rasman. Siluman!” kata Ibu, menakut-nakutiku, agar tidak mendesak minta turun. “Mungkin Tu Selak[2]? Lihat saja rupa bulunya yang aneh. Beda dengan kucing biasa!” ujarnya.
Tetapi, sebagai bocah yang belum mengerti soal ilmu hitam dan makhluk halus, tentu saja aku tidak paham dengan kata-kata Ibu. Bagiku binatang yang kini tengah membuntuti langkah kami dari belakang itu tidak lebih dari kucing biasa seperti yang juga terdapat di rumah kami, sehingga tak sedikit pun menimbulkan rasa takut di benakku. Aku benar-benar tak paham dengan maksud Ibu ketika mengatakan bahwa binatang kecil itu adalah anak kucing siluman atau penjelmaan Tu Selak, yang pada masa-masa itu memang masih banyak terdapat di daerah bagian pinggiran pulau Lombok, yang secara sosial-ekonomi masih berada di bawah garis kemiskinan setelah ratusan tahun dijajah Bali dan Belanda.
Tu Selak, makhluk jadi-jadian akibat salah ngelmu pada seorang dukun itu, jika sedang kumat atau kesurupan akan mengeluarkan cahaya kehijau-kehijauan dari pelipis atau bulu alisnya yang telah diolesi minyak penawar[3] yang terbuat dari biji zaitun. Mereka akan keluar dari rumahnya di malam hari saat turun gerimis untuk menjilat-jilat tanah di sekitar mata air di tengah ladang atau persawahan. Tu Selak laki-laki dan perempuan akan berkumpul dekat mata air dalam keadaan telanjang bulat, berkalung kain kafan bekas. Bau amis tanah yang tertimpa gerimis akan membuat mereka kumat dan kesurupan.
Perihal Tu Selak ini bukan cerita bohong atau mitos, tetapi pathology-social[4] yang telah dibuktikan oleh banyak orang, termasuk antropolog Eropa, Susan Barber, yang pada tahun 1970-an, bersama sasakolog[5] Kardiman Said, melakukan riset di beberapa desa di pulau Lombok, hingga Said sendiri nyaris terbunuh dalam sebuah insiden di kampung X, karena misi penelitian rahasia itu dibocorkan oleh seseorang yang batal dilibatkan dalam proyek riset tersebut.
Berdasarkan naskah lontar kuno berjudul Keropakan[6] Tu Selak dan beberapa sumber lisan, dimulailah penelitian berbahaya dengan taruhan nyawa itu, karena hendak membongkar sebuah borok sosial berusia ribuan tahun, yang berasal dari warisan tradisi agama Magic (Majusi). Kendati riset itu tidak mencapai target—karena sulitnya mendekati para responden atau pihak-pihak yang diduga sebagai (maaf!) Tu Selak. Tetapi, dari data-data lapangan yang berhasil dihimpun selama tiga tahun lebih, akhirnya dapat disimpulkan, bahwa Tu Selak memang benar-benar ada. Kendati untuk ukuran sebuah karya ilmiah di bidang penelitian, kedua peneliti merasa tidak puas, karena putusnya benang merah ke akar masalahnya secara genealogis. Kalau para pewaris ilmu selak adalah murni berasal dari mereka yang keliru memilih dukun tempat berguru, tetapi tidak ditemukan data atau informasi memadai yang memberi titik terang sekitar latar belakang atau asal usul kelahiran “sang empu”, yang kemudian menjadi “mahaguru” pertama para Tu Selak. Sebagai ilmuan dan peneliti, kegagalan itulah yang membuat Susan Barber patah arang, sehingga pulang ke Inggris dengan tangan hampa, tanpa membawa koper dan berkas penelitiannya, yang hingga kini masih menumpuk di gudang sebuah kantor Lembaga Swadaya Masyarakat di Nusa Tenggara Barat.
Tetapi, mungkin karena pada masa itu usiaku masih terlalu dini untuk dapat memahami hal-hal yang tidak begitu jelas seperti siluman dan hantu, sedikit pun aku tidak merasa takut mendengar kata-kata Ibu. Di mataku anak kucing hitam itu justru terkesan lucu dan jenaka.
Karena takut oleh anak kucing yang dikiranya makhluk jadi-jadian itu, Ibu mempercepat langkahnya, hingga dalam hitungan detik kami telah keluar dari halaman pekuburan yang mulai gelap itu. Kini dengan napas terengah-engah, setelah berjalan setengah berlari, Ibu terduduk di atas gundukan tanah di pematang. Sementara kucing kecil yang membuat Ibu ketakutan itu, sudah menghilang di balik semak-semak. Tak terdengar lagi suara ngeongnya yang lirih seperti bunyi derit engsel pintu rumah kami di kaki bukit Tongtong yang kini mirip seperti kandang ayam dalam sepuhan cahaya bulan limau yang mulai mengambang naik di atas pematang yang ditumbuhi rumput gajah setinggi badan orang dewasa.
Kami tengah memandang takjub pada “bola lampu” raksasa berwarna kuning emas yang menerangi sebagian permukaan bumi malam itu, ketika rombongan awan mendung yang bergerak bagai segerombolan kuda hitam mendadak menerjang bulan dari arah utara, hingga seketika pemandangan menjadi gelap gulita. Dalam waktu hampir bersamaan mendadak terdengar bunyi kentongan, baskom, ember, panci, rantang, dan kaleng, yang ditabuh bertalu-talu, hingga terasa seluruh permukaan bumi seolah dipenuhi suara tabuhan. Terdengar ingar bingar.
“Bulan tertutup awan, disangka gerhana!”Ibu mencemooh orang-orang yang memukul kentongan itu. Karena seperti biasa, jika terjadi gerhana bulan atau matahari, orang-orang di kampung kami akan memukul benda-benda bersuara nyaring, maksudnya agar Raksasa Butakala yang menelan bulan segera memuntahkan kembali bulan yang kini masih nyangkut di kerongkongannya. Hehehe…! Begitulah cerita Nenekku di kaki gunung Rinjani, yang kini tentu sedang ikut memukul panci atau rantang di bawah pohon jambu di halaman rumahnya.
Tetapi aneh, bunyi tabuhan bertalu-talu itu terdengar makin mendekat. Selain itu terdengar juga suara orang bereteriak-teriak marah dan jerit tangis orang minta tolong, yang berbaur jadi satu.
“Tangkap! Tangkap!”
“Bunuh! Bunuh!”
“Ikat! Jerat lehernya!”
“Kafir laknat! Komunis!”
“Gorok…! Gorokk…!”
“Jangan! Jangan bunuh Ayah saya…!” cegah seorang bocah perempuan sambil terisak.
“Langsung bakar saja hidup-hidup, PKI laknat ini!”
“Jangan! Kasihan ayah saya!” mohon bocah itu.
“Masak nabi difitnah kawin cerai!”
“Tahu rasa kamu, anjing komunis! Agama kamu hina!”
“Kubur dia hidup-hidup!”
“Ceburkan ke kali!”
“Jangan! Kasihan ayah saya, jangan dibunuh!”
Selain bunyi tabuhan benda-benda bersuara nyaring dan suara manusia, kini mulai tampak juga sejumlah nyala obor dan sorot lampu senter yang berarak dan berkelebat di antara batang-batang rumpun betung, menuruni lereng bukit ke arah timur, lalu berbelok ke selatan sebelum mencapai pinggir sungai yang jembatan kayunya rusak, dibakar sekelompok orang tak dikenal.
“Seret dia!”
“Nyangkut!”
“Tarik!”
“Nyangkut di akar….”
“Tarik saja! Biar mampuss!”
Boeghh…! Batu sebesar buah kelapa mendarat di kepalanya.
“Ayaaah…! Ayaaah…!” bocah itu berusaha meraih kaki ayahnya yang sedang diseret dengan seutas tambang yang menjerat lehernya.
Puuiiihh…! Seseorang meludahi mukanya.
“Ayaaah…!”
“Tebas lehernya, biar putus!”
Suara-suara itu terdengar makin beringas dan tumpang-tindih di udara yang juga disesaki anai-anai yang mengikuti nyala obor.
Boeghh…!!! Sebuah benda tumpul membentur tengkuk laki-laki kurus mirip memedi sawah itu.
“Jangan! Jangan bunuh ayah saya…!” mohon bocah itu, memelas.
Kini aku dan ibu baru tersadar, bahwa yang punya suara itu adalah Erni dan Rahmi.
Air mata ibu langsung terjun di ubun-ubunku yang botak mirip buah melon, disusul lolongan tangisnya yang menyayat.
“Tolooong…! Jangan bunuh ayah saya!” mohonnya sia-sia, karena ayah kami sudah jadi mayat.
Tapi tak ada yang mendengar. Karena malam itu, semua orang berubah jadi anjing!
***
Bugenville 15, Mataram, 2010
Jejak Ziarahku Untukmu…
Comments with Facebook