
Baru saja nongkrong di kursi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mantan Direktur Perusahaan Listrik Negara (PLN) Dahlan Iskan tiba-tiba menyetrum. Untuk mengurangi kekurangan listrik, katanya, dia menyetujui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang akan dibangun perusahaan Jepang.
Rupanya, dia merasa nyaman dengan angan-angan lamanya, karena ternyata bencana kebocoran PLTN di Fukushima, Jepang, baru-baru ini tidak sampai merenggut nyawa. Agaknya, dia lebih terkesima lagi setelah melihat seorang anggota Parlemen Jepang, belum lama ini, disaksikan para wartawan, dengan sengaja meminum segelas air yang diserok dari pusat bencana untuk menghalau kecemasan dan meyakinkan publik bahwa keadaan sudah aman.
Sampai di situ, logikanya masih bisa diikuti, walau dia lupa pada kenyataan bahwa Jerman, bangsa yang dianggap oleh Jepang sebagai “model manusia” paling adiluhung di seantero jagat, sudah bersiap-siap menutup PLTN mereka. Dan, (ini yang paling penting untuk dipertanyakan!) terasa pula Dahlan sedang mempermainkan rasa keadilan ketika dia mengatakan bahwa karena pertimbangan keamanan, maka pusat pembangkit tenaga nuklir itu tidak akan dibangun di Pulau Jawa, tetapi di pulau yang lain.
“Anak buaye main kerete. Enak di die suse di kite,” kata orang Betawi. Jadi, yang enak untuk orang-orang di Jawa, yang susah (tetaplah) orang seberang. Keuntungan dari pembangkit tenaga itu nanti tentulah akan mengalir ke Jawa (ke Jakarta!) yang memiliki kebutuhan listrik besar. Sementara kalau terjadi bencana, orang dari pulau yang dipilihlah yang akan menanggung derita.
Nuklir? Tahukah Dahlan Iskan peringkat orang Indonesia dalam hal kecermatan? Ingatkah dia laboratorium nuklir percontohan yang terletak dekat pemukiman yang sedang bangkit, Bumi Serpong Damai, yang dikenal sebagai BSD City di Tangerang, Banten, bocor beberapa waktu yang lalu? Yang ecek-ecek saja sudah repot. Kecermatan? Apa yang terjadi dengan jembatan di Tenggarong, Kalimantan Timur? Mengurus jadwal perjalanan kereta api di Jakarta saja sudah mirip menghadapi bencana berabenya!
Ketika masih bekerja sebagai wartawan Majalah TEMPO, Jakarta, Dahlan Iskan dikenal sebagai wartawan dengan pendekatan penuh empati pada subyek (manusia) yang dia garap. Saya masih ingat, dialah yang berdiri di “anjungan” majalah terpandang itu ketika meliput, dengan seksama dan menyentuh, tenggelamnya kapal TAMPOMAS II di perairan Masalembo, dekat Laut Jawa, sekitar tiga puluh tahun yang lampau.
Memang, ibarat laut, tak selamanya air mengalir tenang. Dahlan juga begitu. Kariernya melambung. Sikapnya berubah. Membuat orang tercengang, juga gemas.
Belum lama ini, misalnya, dia menurunkan serial tulisan di halaman depan Jawa Pos, koran yang dia pimpin dengan sukses, di mana dia memberikan apresiasi terhadap tulisan tokoh utama Peristiwa Madiun, Sumarsono. Kontan kalangan anti-Komunis yang buta dan tuli terhadap sejarah dan perbedaan pendapat naik darah. Mereka melancarkan aksi di depan kantor koran itu di Surabaya, Jawa Timur, dan menuntut supaya tulisan tadi dicabut! Tapi Dahlan Iskan bukan orang yang bisa digertak. Dia teguh di anjungan. Kukuh pada apa yang telah dia tulis.
Yang menarik dari episode keteguhan hati Dahlan Iskan dalam melawan komunisto-phobia itu adalah bahwa orang-orang yang penuh rasa humor, sambil melonjor, dengan cemerlang melansir kelakar “analitis” yang membikin pembaca terpingkal-pingkal. Dikatakan, Dahlan Iskan menjadi “kiri” belakangan ini karena donor untuk pencangkokan hatinya di Tiongkok dulu “adalah seorang anggota Partai Komunis Tiongkok, karena itulah dia jadi begitu kiri….”
Dia tergila-gila dengan proyek listrik tenaga nuklir sekarang ini jangan-jangan lantaran bisikan kehendak hati yang lain itu…?
(34)
Comments with Facebook