Nelayan Tak Berdermaga

Pagi itu, di akhir Juni 2011, detak kehidupan di Desa Payangan, Kecamatan Ambulu, Jawa Timur, masih tetap sama. Beberapa nelayan duduk di sebuah warung sambil menikmati rokok klobot dan kopi pahit. Sementara para ibu sedang sibuk menata nampan bambu yang berisi terasi untuk kemudian dijemur. Sesekali pikap dan motor hilir mudik membawa joran serta jala nelayan.
Dedi Fidianto, 27 tahun, salah seorang nelayan muda, nampak duduk terpaku memandang pantai. Tatapannya kosong meski sedari tadi ia tertawa bersama kawan-kawannya. Sudah seminggu ini ia tak melaut. Ia tak lagi punya uang untuk makan sementara hutang sudah terlalu banyak di warung.
Sebagai nelayan, Dedi tak takut mati. Itu sudah resiko pekerjaan. Namun, ia adalah tulang punggung keluarga.
“Ini lagi musim angin timur, kalau nekat melaut bisa kelelep. Kalau saya mati, keluarga saya siapa yang kasih makan?” ujar Dedi retoris.
Akan tetapi Dedi harus nekat. Jikapun hari ini angin timur masih tetap ada, ia akan tetap melaut, apapun alasannya.
“Kalau nggak melaut saya nggak makan, sedang adik juga mau masuk sekolah,” katanya parau.
Dedi masih tetap memandang ke arah laut yang bergemuruh. Angin membuat debur ombak di pantai Seruni Desa Payangan itu semakin meninggi. Ombak yang tingginya hampir mencapai tiga meter itu mampu menenggelamkan sebuah kapal kecil.
Saat itu, Dedi tak sendiri. Ada tujuh orang lain yang duduk ngopi bersamanya. Pagi itu, sambil menikmati pisang goreng hangat dan kopi pahit, para nelayan muda itu tengah suntuk memikirkan nasib yang tak jelas.
“Sudah sejak lahir kami jadi nelayan, tak punya bakat lain,” kata Dedi tiba-tiba.
Dengungan setuju serta merta menyeruak di antara kawan-kawan Dedi. Potret masyarakat di Desa Payangan memang tak begitu baik. Sebagian besar penduduknya putus sekolah. Keterbatasan biaya dan keinginan membantu orangtua adalah alasan yang paling banyak diutarakan.
Sejak lulus Sekolah Dasar (SD), Dedi merantau di Blitar, Jawa Timur, untuk menjadi nelayan. Bukan karena tak ingin melanjutkan sekolah, tetapi ia punya keterbatasan pilihan.
“Bapak ibu saya enggak tahu. Saya bilang mau mondok (pesantren-red). Pulang-pulang saya sudah jadi nelayan,” katanya sambil tertawa.
“Sekarang adik saya yang sekolah. Semoga bisa sampai SMA (Sekolah Menengah Atas-red). Karena di keluarga saya semuanya lulusan SD,” katanya haru.
Dedi memang ingin agar adiknya bisa sekolah di Sekolah Teknik Mesin (STM) dan belajar tentang mesin. Menurutnya itu lebih aman daripada melaut.
Ihwal bekerja menjadi nelayan, pemuda Desa Payangan lain turut mengatakan hal serupa seperti Dedi.
“Ini kerjaan dari bapak saya, sudah turun temurun dari nenek moyang,” kata Imam Solihin.
Menurut Imam, ada dua jenis nelayan yang ada di Desa Payangan, yakni nelayan yang bekerja dengan pemilik kapal besar dan nelayan yang secara mandiri bekerja dengan kapal-kapal kecil. Keduanya jenis nelayan ini masing-masing memiliki resiko.
“Kalau kapal besar masih bisa melaut, tapi makan solar banyak,” ujar Imam yang juga pemilik kapal besar ini lesu.
Di Desa Payangan, tercatat ada sekitar 35 kapal besar dan tiga ratus kapal kecil yang biasa melaju di laut. Sebagian dari kapal besar tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang.
”Kapal besar punya saya ini warisan dari kakek,” kata Imam.
Mahalnya sebuah kapal besar dan juga biaya perawatan yang cukup tinggi membuat banyak nelayan lebih memilih jadi awak saja. Sebab, jika sudah memasuki angin barat, praktis para nelayan tak lagi bisa melaut. Sementara perawatan harus terus dilakukan.
Persoalan yang ditimbulkan oleh alam ini sebetulnya bukannya tak bisa disiasati. Para nelayan menganggap bahwa pelawangan atau dermaga adalah solusi. Dengan dermaga mereka bisa bersandar.
“Kalau ada pelawangannya enak, musim apapun kita bisa melaut,” kata Dedi mantap.
Selama ini, para nelayan harus bersandar di pantai Papuma yang jaraknya mencapai dua kilometer dari Desa Kayangan. Dan itu menghabiskan biaya.
“Untuk transpor ke Papuma saja tiap pagi saya harus keluar 50.000 (rupiah), iya kalo dapat ikan. Kalau enggak kan saya tekor,” tambah Imam.
Solusi berupa pembangunan dermaga itu sudah pernah disampaikan kepada pemerintah setempat. Namun, hasilnya nihil.
“Sampai bosen saya, Mas. Apalagi kalau pencalonan bupati. Semuanya sama gombalnya. Sama saja DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-red), ya bupati. Gombal semua,” ungkap Imam geram.
Sejak masa wali kota sampai bupati Jember (Jember ditetapkan menjadi kota madya pada 1976 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1976 tentang Pembentukan Kota Administratif Jember, lalu diubah menjadi kabupaten pada 2003 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2003), tak pernah ada perubahan. Para nelayan di Payangan pun menjadi apolitis. Padahal, jika desa Payangan memiliki dermaga, atau dalam bahasa mereka pelawangan, nasib para nelayan sedikit demi sedikit akan membaik.
“Misalnya ada pelawangan, itu bisa hemat ongkos. Terus ikannya bisa dalam keadaan segar (untuk) dikirim atau dijual,” kata Dedi.
Ikan memang menjadi persoalan gara-gara ketiadaan dermaga. Karena harus menunggu angkutan kota, ikan-ikan yang dijual tak lagi segar. Beberapa bahkan terpaksa dijual sangat murah.
”Kadang malah dibuang karena tak laku,” kata Dedi.
Sebenarnya dermaga itu pernah dibangun pada 2008, yang diikuti oleh pembangunan Balai Pelelangan Ikan (BPI). Hanya saja, karena kualitasnya sangat jelek, dermaga yang ada kemudian hancur diterpa ombak. Kondisi Balai Pelelangan Ikan pun kini sudah separuh hancur. Langit-langitnya rusak. Gedung penunjang di belakangnya malah sudah roboh sama sekali.
“Orang yang bangun itu enggak niat (serius),” Imam menambahkan.
Imam dan Dedi yang pernah bekerja di Banyuwangi sangat kecewa dengan pelayanan dari pemerintah Jember. Keduanya membandingkan antara Jember dengan Banyuwangi. Di Banyuwangi, pemecah ombak dibangun hingga dermaga dan Balai Pelelangan Ikan dapat berjalan baik. Selain itu, di Banyuwangi, dinas perikanan setempat diawasi dan bekerja bersama nelayan.
”Di sini? Boro-boro,” ungkap Dedi dalam logat Madura.
Pembangunan pemecah ombak sangat penting tidak saja untuk kelancaran dermaga dan Balai Pelelangan Ikan, tetapi juga keselamatan kapal. Tanpa itu, kapal yang bersandar mudah dilarung laut, sebagaimana yang pernah terjadi di Desa Payangan.
Berbagai kesulitan yang didera oleh para nelayan membuat mereka marah dan tak berdaya. Tidak ada kebijakan yang mengarah pada upaya memecahkan persoalan. Dalam tiap nada bicaranya, ada kegeraman yang membuncah.
“Kami sudah tak percaya pejabat lagi. Mereka itu hanya janji-janji saja sama orang kecil,” kata Imam.
Kemarahan akibat terpapar kemiskinan menahun membuat para nelayan di sana menjadi keras hati. Tapi, itu bukan berarti membuat mereka menjadi ganas dan keras. Senyum lepas dari Imam dan Dedi masih menyiratkan tenggang rasa yang terpatri dalam. Solidaritas terhadap kawan inilah yang membuat mereka mampu bertahan dalam menghadapi gaharnya ombak hidup.
“Saya pernah mau tenggelam, keracunan, dan terjebak dalam gua. Untungnya mereka ini yang menolong saya,” kata Dedi sambil bercanda.
Tak hanya berbagi saat susah, para nelayan di Desa Payangan kerap kali berbagi kebahagiaan. Jika ada yang sukses melaut, misalnya, biasanya yangbersangkutan akan meminjamkan uang untuk menutup utang temannya yang lain.
“Kami ini saudara tapi bukan dari darah,” sambung Imam.
Ada sebuah pertanyaan yang menggenang di hati para nelayan tadi. Sampai kapan mereka akan saling bergantung satu sama lain. Suatu saat ombak akan semakin keras dan perahu mereka akan hancur. Jika itu terjadi, siapakah yang akan membantu?
“Kami berharap semoga pelawangan itu dibangun. Kalau iya (dibangun), saya yakin ekonomi desa ini naik,” kata Dedi yakin.
Tapi angin timur pagi itu masih keras berhembus. Dedi dan teman-temannya kemudian berdiri. Mereka hendak menyiapkan kapal untuk melaut malam nanti. Ada keharusan untuk nekat beradu nyawa dengan ganasnya ombak.
“Saya lebih takut kelaparan daripada kematian di laut,” kata Dedi singkat.
Comments with Facebook