Mencairkan Bekunya Keistimewaan Surakarta

Negara-negara lama yang kini disebut daerah seperti mulai bangun dari tidurnya. Surakarta adalah salah satunya. Ia menuntut kembali keistimewaannya, yang dahulu dibekukan, dalam relasinya dengan negara Indonesia.
Negeri raya bernama Indonesia memang dikerangka oleh negara-negara berbentuk kerajaan yang dahulu memiliki kedaulatannya sendiri-sendiri. Kerajaan-kerajaan itu kemudian memutuskan bersatu, berjuang bersama untuk memukul mundur penjajah. Perkara mengapa sejarah kedaulatan kerajaan-kerajaan itu kini melenyap, tak banyak yang tahu. Mungkin hanya jika bertandang ke sejumlah daerah jejak itu dapat diraba; betapapun daerah tersebut kini menjadi suram.
Dua hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memang hanya membagi wilayah Republik Indonesia atas delapan provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, dan Sumatera. Sementara itu, dua daerah pun diberi status istimewa; Surakarta dan Yogyakarta.
Sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945, Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII dari Kerajaan Surakarta Hadiningrat memang telah menyampaikan kawat berisi ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, Surakarta menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan republik.
“Mengapa Surakarta yang pertama? Karena sejarahnya, para pejabat Kasunanan Mangkunegaran banyak duduk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia-red)) maupun PPKI (Panitia Persiapan Persiapan Kemerdekaan Indonesia-red), misalnya ketua Wardjiman Widyodiningrat, Soepomo, Notonegoro, Wongsonegoro, Suryohadijoyo. Hampir tiga puluh persen anggota BPUPKI dan PPKI berasal dari Solo,” demikian jelas Kusno S. Utomo, staf peneliti Badan Persiapan Pengembalian Status Daerah Istimewa Surakarta, di Surakarta, Jawa Tengah, kepada LenteraTimur.com, Selasa (25/1).
Ucapan selamat yang diberikan oleh Surakarta itu berbuntut sepucuk maklumat yang dikeluarkan pada 1 September 1945. Isi maklumat menjelaskan bahwa Negera Surakarta yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia. Maklumat itu juga menegaskan bahwa hubungan Negera Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia adalah bersifat langsung.
Atas dasar maklumat itu, Presiden Soekarno memberikan piagam kedudukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII sebagai Kepala Daerah Istimewa. Surakarta mendapatkan piagam ini terlebih dahulu dibanding Yogyakarta, yang baru menyatakan bergabung dengan republik pada 5 September 1945.
Mengenai asal pertamakali status istimewa itu lahir, Kusno pun memberi penjelasan. Negeri Surakarta Hadiningrat pada masa pendudukan Belanda mempunyai status sebagai zelfbesturende landschappen dan berubah nama menjadi koti pada masa pendudukan Jepang. Istilah asing yang diberikan oleh Belanda dan Jepang tersebut merujuk pada satu makna yang sama, yakni istimewa.
“Yang mengenalkan daerah istimewa itu memang Belanda dan Jepang. Jadi konsep daerah istimewa itu bukan buatan kita, tapi buatan penjajah, yang lalu kemudian dipertahankan,” ungkap Kusno.
Adanya pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan piagam kedudukan yang dikeluarkan Presiden Republik Indonesia membuat Surakarta dan Yogyakarta memiliki otonomi yang setara dengan tiga provinsi di Jawa; Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kedudukan penguasa dari dua negeri tersebut setingkat dengan Gubernur. Ia berposisi langsung di bawah Pemerintah Pusat.
Namun, belum satu tahun usia kemerdekaan, muncul gejolak politik: revolusi sosial. Ini gerakan keras yang mengusung kampanye antimonarki dan feodalisme di Surakarta.
“Pada tahun 1946, Surakarta menjadi basis oposisi dari pemerintah RI yang berkedudukan di Yogya,” tutur Kusno.
Gerakan ini menuntut dicabutnya hak-hak khusus yang dimiliki Kasunanan Surakarta. Kelompok ini juga berupaya mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai monarki untuk kemudian dibagikan pada para petani. Massa mencopot jabatan bupati-bupati di Daerah Istimewa Surakarta yang masih kerabat keraton. Revolusi sosial yang penuh darah di Sumatera dan kawasan lain yang merenggut nyawa para bangsawan Melayu membayangi Surakarta.
Menghadapi situasi tersebut, Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta meminta Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Yogyakarta mengambil tindakan.
“Pada tanggal 22-23 Mei 1946, di Bank Indonesia Surakarta dilakukan pertemuan antara pejabat Daerah Istimewa Surakarta dengan pemerintah RI,” kisah Kusno.
Serangkaian pembicaraan antara Wakil Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta yang dipimpin KRMH Woerjaningrat dengan Perdana Menteri Syahrir pun menghasilkan satu langkah strategis. Berdasarkan usul Woerjaningrat, jalannya Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta untuk sementara diambil alih oleh pemerintah pusat. Jika situasi sudah aman, pemerintahan akan dikembalikan lagi ke tangan kerajaan.
Sebagai realisasi dari usulan Woerjaningrat yang juga tokoh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.16/SD Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta.
“PP (Penetapan Pemerintah-red) itu kertas aslinya kami yakin masih ada, dipegang oleh pemerintah, di Setneg (Sekretariat Negara-red),” ujar Kusno.
Dalam penetapan tersebut, pada pasal kedua, dinyatakan bahwa sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-Undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang sebagai Karesidenan. Karesidenan dikepalai oleh seorang residen yang memimpin segenap pegawai pamong praja dan polisi.
Karesidenan Surakarta ini kemudian membawahi Kotamadya Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali. Terbentuknya Karesidenan Surakarta, yang diikuti berdirinya Pemerintahan Daerah Kotamadya Surakarta, secara otomatis menghapus kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara. Status daerah istimewa pun tak lagi disandang.
“Diktum kedua PP mengisyaratkan janji pemerintah pusat untuk membentuk Undang-Undang bagi Daerah Istimewa Surakarta. Namun, sampai sekarang Surakarta belum dibuatkan Undang-Undang. Padahal, PP ditandatangani langsung oleh Presiden Soekarno,” tukas Kusno.
Kini, rakyat Surakarta pun mengingat kembali janji pemerintah pusat tersebut.
14 Desember 2010 lalu, ‘Keistimewaan Surakarta’ dicetuskan kembali secara sepihak oleh perwakilan masyarakat tujuh kabupaten di Jawa Tengah; Surakarta, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, dan Sragen. Deklarasi yang berlokasi di sebelah selatan komplek situs Candi Prambanan, tepatnya di dekat gapura perbatasan Yogyakarta dengan Surakarta, ini bertujuan untuk mengingatkan semua pihak agar status daerah istimewa dikembalikan pada Surakarta. Publik diajak menyigi sejarah, bahwa daerah istimewa bukan hanya Yogyakarta, tetapi juga Surakarta.
Kusno lebih lanjut mengungkapkan bahwa ke depan, apabila Surakarta kembali menjadi daerah istimewa, maka seluruh anggaran akan ditanggung oleh daerah sendiri atau dengan kata lain harus mandiri secara penuh. Jika dalam keistimewaan Yogyakarta raja atau pemimpin kerajaan juga merupakan kepala daerah, maka dalam konsep keistimewaan Daerah Istimewa Surakarta, kepala daerah tetap dipilih dari masyarakat. Jadi, akan ada dua kepemimpinan yang akan mengatur jalannya pemerintahan Surakarta.
“Kita akan sesuaikan bentuk penyelenggaraan pemerintahan dengan kondisi masyarakat. Pemerintah mesti mengabdi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Surakarta. Surakarta akan lebih otonom. Untuk kepala daerah, kami akan melakukan mekanisme demokrasi,” papar Kusno.
Kusno pun menjelaskan bahwa sejak 2007, diskursus keistimewaan Surakarta ini sudah mulai marak, mendahului ramainya isu soal keistimewaan Yogya.
“Mengenai keistimewaan Yogya, kami juga mendukung. Ini amanat konstitusi, kok. Siapa pun yang mengahalangi daerah istimewa adalah melawan konstitusi. Untuk memperjuangkan keistimewaan Surakarta, maka kami membentuk Badan Persiapan Usaha Keistimewaan Surakarta dan Badan Persiapan Pengembalian Status Daerah Istimewa Surakarta,” kata Kusno.
Sejak dideklarasikannya Badan Persiapan Pengembalian Status Daerah Istimewa Surakarta di Yogyakarta pada 15 Desember 2009, berbagai kajian mulai dilakukan secara matang. Pos-pos komando di tujuh kabupaten/kota se-Surakarta pun sudah dibentuk.
“Poskonya (pos komando-red) dari mulai tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa bahkan dusun. Posko-posko di daerah ini akan mendapatkan sosialisasi tentang landasan hukum, sejarah, yuridis,dan pentingnya Surakarta menjadi provinsi,” ujar Kusno.
Upaya menagih janji pemerintah pusat untuk membentuk undang-undang keistimewaan ini, menurut Kusno, hanya didasarkan pada sejarah dan janji konstitusi.
“Dari sisi yuridis maupun historis, Surakarta adalah daerah istimewa. Status daerah istimewa itu dijamin konstitusi. Jadi kami bukan menuntut lahirnya keistimewaan, tapi mencairkan kembali keistimewaan yang dulu sempat dibekukan,” tegas Kusno.
Perjuangan rakyat Surakarta ini juga akan mengambil jalur yuridis. Mereka akan mengajukan uji materil untuk menggugat Undang-Undang tentang pembentukan Jawa Tengah ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
“Penggabungan Surakarta ke Jawa Tengah merupakan pelanggaran atas pasal 18 UUD 1945. Uji materil sedang kami persiapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Target kami, dalam satu tahun kami akan siapkan amunisi-amunisi. Kami tidak ingin berandai-andai upaya kami akan gagal karena landasan yuridis cukup kuat. Kami yakin akan berhasil. Tidak ada angan-angan itu gagal,” yakin Kusno.
Comments with Facebook
Melihat perilaku oarang-orang keraton saya jadi benci,dan saya tidak percaya dia mampu mengemban amanah