Home Featured Kegelisahan Seorang Jusuf Kalla

Kegelisahan Seorang Jusuf Kalla

4
Jusuf Kalla. Foto: Feri Latief.

“Lebih baik kau keluar saja dari sekolahmu itu. Daripada kau belajar bahasa Inggris, lebih baik kuajarkan kau bahasa Bugis.”

Demikian ucap Jusuf Kalla kepada sang cucu yang belajar di sekolah bertaraf internasional. Pernyataan tersebut merupakan salah satu bagian dari pidatonya dalam acara “Sutan Takdir Alisjahbana Memorial Lecture” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa, 27 Juli 2010.

Persoalan bahasa memang menjadi salah satu fokus mantan wakil presiden ini. Baginya, bahasa menunjukkan identitas suatu bangsa. Atas alasan ini pula, ia mengaku terkejut ketika melihat cucu mantan Presiden Habibie yang tidak berbahasa Indonesia saat diwawancarai oleh media.

“Jika cucu seorang (mantan) presiden tidak bisa bicara bahasa Indonesia,” kata Kalla, “bagaimana logika berpikirnya?”

Sikap Kalla ini sebetulnya bertolak belakang dengan perilaku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Publik masih ingat, hanya berselang sehari dari peringatan Hari Sumpah Pemuda pada 2009 lalu, dimana salah satu sumpahnya adalah mengenai bahasa, presiden ini justru memilih istilah asing, National Summit, untuk sebuah hajatan nasional. Padahal, bahasa Indonesia bukannya tak memiliki padanan. Tentu orang bertanya, kenapa tidak memilih “Rembuk Nasional”, “Musyawarah Nasional”, atau yang lainnya.

Dan tak hanya dengan Yudhoyono, pemikiran Kalla ini, mau tak mau, juga rasanya menjadi tak pas dengan acara “Memorial Lecture”, tempat ia berpidato. Dengan logika Kalla, seharusnya Akademi Jakarta, yang menjadi penyelenggara acara ini, tetap mempertahankan nama Indonesia, yakni “Kuliah Kenangan”. Apalagi, hajatan perhormatan terhadap Sutan Takdir Alisjahbana ini merupakan kali ketiga, dimana sebelumnya sudah menggunakan nama “Kuliah Kenangan”.

Bagi Kalla, Indonesia memang tengah dihinggapi oleh persoalan psikologis negatif. Ada perasaan umum bahwa orang Indonesia adalah orang yang selalu ketinggalan, selalu kalah, bahkan menjadi pecundang ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa lain.

Perasaan semacam itu juga tampak di bidang sepakbola. Kata Kalla, semua orang masih ingat ketika pada 1956 Indonesia menahan imbang Uni Soviet.

“Imbang saja kita masih ingat. Padahal sudah lima puluh tahun (lebih). Bagaimana kalau menang? Tentu kita akan mengingatnya selama satu abad,” seloroh Kalla.

Kalla menilai, Indonesia tidak pernah bisa maksimal dan berhasil dalam membangun bangsa. Padahal, Indonesia begitu kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang jumlahnya lebih dari 230 juta orang.

“Tapi martabat yang tinggi tidak bisa datang dengan hanya mengandalkan potensi-potensi alam tersebut. Bahkan, sumber daya alam yang kita miliki bukan hanya semakin berkurang, tetapi juga gagal mendatangkan manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat karena tidak dikelola dengan baik dan dijual murah. Bahkan diperlakukan seperti mengelola manufacture,” kata Kalla.

Persoalah kehormatan bangsa ada dirasakannya saat berkunjung ke negara-negara lain, khususnya Asia dan Afrika. Di negara-negara itu, Kalla mendengar nama Sukarno, salah satu proklamator Indonesia, selalu disebut. Dan ia bangga karenannya. Tapi, kenapa Sukarno dapat hidup dalam kenangan bersama (collective memory) mereka?

“Itu karena keberpihakannya kepada negara-negara lemah. Tidak seperti kita kini, yang memihak pada negara kuat. Apalagi kalau digertak,” tegas Kalla.

Keberpihakan terhadap yang lemah itu kemudian membuat Kalla, dalam pengakuannya, meminta menteri luar negeri Indonesia untuk abstain di Perserikatan Bangsa-Bangsa ketika ada forum yang membahas tentang nuklir Iran. Begitu juga soal sikapnya terhadap perusahaan-perusahaan asing yang ingin menguasai pertambangan Indonesia.

“Kita harus tegas (membela kepentingan nasional),” begitu ujar Kalla.

Kepatuhan pada negara kuat, seperti pada negara-negara Barat, juga terkadang membuat Indonesia dilenakan. Menurut Kalla, selama ini kita percaya saja ketika mereka (Barat) mengatakan sudah berdemokrasi ratusan tahun. Padahal, Amerika, misalnya, bisa berdiri sama tinggi dengan kulit hitam baru pada 1960-an. Begitu pula dengan negara-negara Eropa.

“Kalau sudah ratusan tahun, tentu mereka tidak menjajah kita. Mana ada negara demokrasi menjajah negara lain,” heran Kalla.

Dalam perspektif martabat bangsa, Kalla, yang ketika itu mengenakan pakaian batik, juga menyoroti sikap sebagian orang Indonesia yang marah-marah ketika kebudayaannya dimainkan oleh Malaysia. Padahal, itu justru menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil melakukan penetrasi kebudayaan terhadap dunia. Bagi Kalla, kemarahan itu menunjukkan kelainan berpikir.

“Ini adalah hegemoni budaya bangsa kita, sehingga ada bangsa atau negara lain yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengambil alih atau meniru seni budaya kita,” tukas Kalla.

Kalla kemudian mencontohkan sikap China dan Arab yang tak emosional meski tarian naga atau tarian Arab kerap dimainkan di Indonesia.

Kalla juga merasa prihatin bahwa ketika ada orang Indonesia ke luar negeri, orang kerap mengidentifikasikannya sebagai warga negara lain hanya gara-gara memiliki postur tubuh yang mirip. Identifikasinya selalu Malaysia dan Philipina. Indonesia sendiri ada di urutan ketiga setelah kedua negara tersebut.

“Kita harus bisa jadi nomor satu,” tegas Kalla.

Dalam kesempatan yang sama, Kalla juga menyinggung dunia ilmu pengetahuan Indonesia. Saat berkunjung ke pusat penelitian gula di Jawa, ia sempat heran. Sebab, tempat itu justru jauh dari kesan sedang digunakan secara aktif untuk penelitian.

“Ini museum atau pusat penelitian? Kalau museum kan selalu melihat ke masa lalu. Kalau pusat penelitian, selalu melihat ke masa depan. Jika begini kondisinya, ini adalah museum gula, bukan pusat penelitian gula,” simpul Kalla.

Bukan Kalla namanya jika tak mampu membuat orang tersenyum, bahkan tertawa. Namun, malam itu ada seorang peserta yang protes kenapa ia pidato menggunakan teks sehingga mengurangi spontanitasnya yang khas.

“Tadi istri saya juga sempat khawatir. Dia takut saya salah kalau pakai teks. Biasanya saya tak pakai teks. Tapi karena judul acaranya kuliah kenangan, terpaksa saya berbicara dengan teks. Jika tidak ada teksnya, apa yang bisa dikenang?” kata Kalla yang disambut tawa hadirin. “Tapi minta maaf. Tadi seharusnya teks ini hanya panduan saja. Minta maaf.”

Malam itu, Kalla menunjukkan bahwa Indonesia memang memiliki masalah serius pada persoalan martabat. Ia memberi penekanan bahwa orang yang tidak memiliki harapan adalah orang yang tidak memiliki martabat. Dan martabat hanya dapat digenggam oleh mereka yang memiliki imajinasi, mimpi, dan semangat juang.

TM. Dhani Iqbal TM. Dhani Iqbal lahir di Medan, Sumatera Utara. Menulis sejumlah esai, feature, dan cerpen di sejumlah media massa, juga beberapa buku: "Sabda Dari Persemayaman" (novel), "Matinya Rating Televisi - Ilusi Sebuah Netralitas", dan "Prahara Metodis". Melewati karir jurnalistik di beberapa media massa berklaim nasional, baik cetak, televisi, dan online, di Jakarta, dengan konsentrasi sosial, politik, dan kultur. Kini berjibaku di media LenteraTimur.com.

Comments with Facebook

Comment(4)

  1. Bagus sekali artikelnya 🙂 Iqbal tulis terus ya yang menggugah seperti ini, kita butuh cerita negarawan yang menginspirasi seperti ini 🙂

LEAVE YOUR COMMENT

Your email address will not be published. Required fields are marked *